Jakarta (ANTARA) - Istilah autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah konsep diagnostik luas yang mencakup sejumlah kompleksitas sosial dan komunikasi, perilaku motorik-sensorik tak biasa yang repetitif.

Gejala ASD terlihat nyata saat bayi, biasanya sebelum usia tiga tahun, dengan onset bertahap atau regresif, yang ditandai dengan kelambatan berbahasa, perubahan keterampilan berkomunikasi dan penarikan sosial.

Meskipun demikian, karena kurangnya pemahaman orang tua dan kepedulian masyarakat, seringkali ASD tak terdiagnosis hingga dewasa.

Diagnosis ASD dapat ditegakkan oleh dokter, psikolog klinis, dan/atau psikiater berdasarkan kriteria DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fifth edition) dari American Psychiatric Association.

Simtomatologi ASD meliputi disabilitas intelektual (mencapai hingga 40 persen kasus), kesulitan berbicara, keterlambatan perkembangan berbahasa (hingga 25 persen kasus), serta beragam gangguan kognitif, termasuk kesulitan fungsi eksekutif, seperti perencanaan dan organisasi, perilaku stereotipik repetitif dan teori defisit pikiran.

Orang dengan ASD memiliki gangguan penyerta (komorbid), seperti epilepsi, depresi, cemas, ADHD (hiperaktif), sulit tidur, gangguan lambung dan saluran pencernaan, gangguan imunologis, serta suka melukai diri-sendiri. Level intelektualitas bervariasi, dari tingkat terbawah hingga superior.

Epidemiologi

Badan Kesehatan Dunia atau WHO (2021) melaporkan 1 dari 270 orang terdiagnosis ASD. Estimasi WHO, prevalensi internasional ASD mencapai 0,76 persen. Angka ini merepresentasikan 16 persen populasi anak di seluruh dunia. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memprediksi sekitar 1,68 persen (1 dari 59) anak-anak berusia 8 tahun di Amerika Serikat didiagnosis ASD.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia memperkirakan penyandang autisme di Indonesia pada Tahun 2018 mencapai 2,4 juta penduduk dengan pertumbuhan kasus baru 500 orang per tahun.

Secara umum, prevalensi ASD diperkirakan 0,19-11,6 per 1.000 penduduk. Hal ini mengacu pada perkiraan ASD sebelumnya, diagnosis berdasarkan kriteria Rutter (1978), usia antara 014 tahun, area geografis Berlin Barat (Jerman).

Data diperoleh dari register klinik universitas dari psikiater anak dan/atau German Society for Autistic Children (1986). Mempertimbangkan kategori diagnostik, prevalensi median ASD diestimasikan 1 per 1.000 penduduk (dari 0,19 per 1000 penduduk di Jerman hingga 7,26 per 1.000 penduduk di Swedia).

Prevalensi ASD di negara Asia menunjukkan keberanekaragaman variabilitas. Angka terendah ditunjukkan negara Iran Tahun 2012 (0,63 per 1.000), lalu Bangladesh Tahun 2018 (0,76 per 1.000), India Tahun 2017 (1,53-2,19 per 1.000), China Tahun 2011 (1,77 per 1.000), China Tahun 2014 (2,75 per 1.000), Nepal Tahun 2018 (3,42 per 1.000), Israel Tahun 2013 (4,80 per 1.000).

Angka tinggi dijumpai di Bangladesh Tahun 2009 (8,42 per 1.000), Sri Lanka Tahun 2009 (10,7 per 1.000), Libanon Tahun 2016 (15,3 per 1.000), Korea Selatan Tahun 2011 (26,4 per 1.000). Di Australia dan Selandia Baru, prevalensi ASD Tahun 2005-2006 sekitar 14,1 per 1.000 penduduk dan meningkat menjadi 25,2 per 1.000 penduduk Tahun 2010-2011.

Berdasarkan data ini, tidaklah mengherankan bila tanggal 2 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kepedulian Autisme Sedunia.

Perspektif Saintifik

Mari kita mencoba memahami ASD berdasarkan sains multiperspektif. Dari paradigma neurosains, efek kombinasi ASD berkaitan dengan nasib sel, neurogenesis, morfogenesis, juga deregulasi fungsi sinaptik dan astrogliosis, berperan penting dalam plastisitas otak, seperti perubahan lintasan pertumbuhan otak, perubahan sitoarsitektur kortikal dan konektivitas otak.

Teori modern tentang perkembangan ASD mengemukakan beberapa hal. Pertama, adanya gangguan konektivitas sistem persarafan (neural), kerusakan sinaptogenesis dan gangguan morfogenesis dendritik.

Kedua, hipotesis migrasi neural mengungkapkan gangguan perpindahan sistem persarafan, yakni proses initial misplacement, selama periode antenatal melumpuhkan maturasi otak.

Ketiga, ketidakseimbangan eksitasi/inhibisi, termasuk representasi informasi sensorik dan proses kognitif. Keseimbangan eksitasi/inhibisi diatur melalui mekanisme homeostatik yang bersifat highly regulated. Maksudnya, sistem persarafan (neurons) dapat berkompensasi atas terjadinya gangguan eksperimental melalui modulasi saluran ion, reseptor, jalur sinyal, dan neurotransmiter.

Studi imunobiomolekuler menunjukkan bahwa jalur sinyal Wnt/beta-catenin merupakan jalur perkembangan utama pada ASD. Famili protein Wnt terdiri dari beberapa molekul yang bertindak sebagai regulator utama morfogenesis embrionik, proses renewal stem cell, homeostasis jaringan, proliferasi seluler.

Pentingnya kaskade sinyal ini ditekankan oleh regulasi dan kompleksitas nan rumit, sebagaimana konservasi revolusionernya.

Biasanya, jalur sinyal Wnt dibagi menjadi dua jalur utama. Pertama, jalur kanonikal (tergantung beta-catenin) dan jalur non-canonical, yang lebih lanjut dibagi lagi menjadi sub-jalur polaritas sel dan ion Ca+2. Beta-catenin adalah protein yang dikode oleh gen CTNNB1 pada manusia, yang dideskripsikan sebagai suatu komponen dari adherent junctions (kompleks protein penghubung) yang terikat ke E-cadherin.

Riset menggunakan hewan transgenik membuktikan peran Wnt pada perkembangan otak normal dan luaran dikarenakan malfungsional potensial otak. CHD8 adalah gen istimewa yang sering bermutasi pada ASD. Gen ini mengkode protein ATP-dependent chromatin remodeler, yang penting sebagai regulator sinyal Wnt. Jelaslah bahwa gangguan sinyal Wnt/beta-catenin berperan penting dalam ASD.

Studi meta analisis mengungkapkan bahwa mutasi gen reelin (RELN) berkontribusi signifikan terhadap risiko ASD. Reelin adalah protein penting yang terlibat di dalam proses migrasi dan pengaturan neuron di bagian otak yang bernama neokorteks.

Perspektif biokimia berhasil mengungkapkan metabolisme glutathione pada pathogenesis (proses perjalanan) ASD. Glutathione atau L-gamma-glutamyl-L-cysteinyl-glycine adalah tripeptide yang berperan penting dalam sinyal seluler dan pertahanan antioksidan. Dijumpai di semua sel-sel mamalia, glutathione merupakan antioksidan endogen yang paling banyak ditemukan di otak.

Perubahan metabolisme glutathione baik pada stadium sintesis maupun partisipasi di dalam proses detoksifikasi akhirnya menghasilkan perkembangan toksisitas xenobiotik, disfungsi mitokondria, stres oksidatif, yang berkorelasi dengan eksitotoksisitas, apoptosis, neuroinflamasi, yang mana semuanya itu saling terkoneksi membentuk siklus patofisiologi (mekanisme terjadinya) ASD.

Komponen tambahan dari jalur antioksidatif, seperti regulator apoptosis BCL2, superoksida dismutase, peroksidase glutathione, serta brain-derived neurotrophic factor (BDNF), dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi kadar serum protein Shh (Sonic hedgehog).

Solusi

Tatalaksana dan manajemen ASD amatlah individual, berfokus pada terapi perilaku dan edukasi. Bila target gejala ASD adalah hiperaktivitas, impulsif, inatensi, distraktibilitas, maka opsi medikasi psikotropik dapat berupa psikostimulan (metilfenidat, deksmetilfenidat, garam amfetamin campuran, lisdexamfetamine, dextroamphetamine), golongan SNRI (atomoxetine), golongan agonis alpha-2-adrenergik (clonidine, guanfacine), dan golongan antipsikotik atipikal generasi kedua (aripiprazole, risperidone). Bila target gejala ASD berupa iritabilitas dan perilaku disruptif berat (tantrum, frustasi, distres, marah, mengamuk, melukai diri sendiri, agitasi, agresi, dsb), maka dokter akan merekomendasikan obat dari golongan antipsikotik atipikal generasi kedua (aripiprazole, risperidone), golongan agonis alpha-2-adrenergik (clonidine, guanfacine), golongan SSRI (fluvoxamine, citalopram), golongan stabilizer mood antikonvulsan (asam valproat dan natrium divalproat).

Bila target gejala ASD adalah perilaku repetitif, termasuk kompulsi, rigiditas, perilaku motorik berulang (stereotipi), maka perlu dipertimbangkan pemberian obat dari golongan antipsikotik atipikal, antikonvulsan, SSRI. Untuk target gejala ASD berupa cemas dan depresi, maka terapi yang perlu diberikan adalah obat golongan SSRI, alpha-adrenergik, dan antipsikotik atipikal generasi kedua.

Intervensi farmakologis juga mempertimbangkan kondisi psikiatris komorbid dari pasien ASD. Pedoman tatalaksana ASD ini berdasarkan petunjuk yang dikembangkan oleh tim ahli dari American Academy of Pedicatrics tahun 2020.

Komitmen Global

Kolaborasi riset ASD sebaiknya ditujukan ke beberapa area fundamental, misalnya deteksi dini, penyebab dasar (faktor biologi), faktor genetik dan lingkungan, terapi dan intervensi, pelayanan dan sains implementasi, surveilans epidemiologi dan infrastruktur.

World Health Assembly ke-67 di bulan Mei 2014 mengadopsi resolusi bertajuk "Upaya komprehensif dan terkoordinasi untuk pengelolaan ASD" yang didukung lebih dari 60 negara.

Sementara itu, beberapa upaya WHO (2021) lebih berfokus kepada kebijakan untuk mendiseminasikan pedoman atau panduan tentang kebijakan dan rencana aksi yang menangani autisme dalam kerangka kesehatan, kesehatan mental, serta dan disabilitas yang lebih luas; menyediakan lingkungan yang inklusif-kondusif bagi penyandang autisme dan disabilitas perkembangan lainnya; memperkuat kemampuan pengasuh dan tenaga kesehatan untuk memberikan perawatan yang tepat dan efektif untuk orang dengan autisme; dan meneguhkan komitmen pemerintah agar segera merealisasikan upaya peningkatan kualitas hidup penyandang autisme.

*) dr Dito Anurogo MSc adalah dokter rakyat di Kampus Desa Indonesia, mahasiswa S3 IPCTRM Taipei Medical University Taiwan, dosen FKIK Universitas Muhammadiyah Makassar, penulis puluhan buku di antaranya The Art of Medicine dan The Miracle of Medicine

Pewarta : dr. Dito Anurogo, MSc *)
Editor : Joko Nugroho
Copyright © ANTARA 2024