Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo mengukir sejarah dengan menyerahkan kompensasi secara langsung kepada sejumlah korban tindak pidana terorisme masa lalu, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/12).

Ini merupakan kali pertama penyerahan kompensasi kepada korban terorisme disampaikan langsung oleh seorang Kepala Negara. Harapan dan penantian korban terorisme yang selama belasan tahun menunggu kehadiran negara pun terasa menjadi purna.

Jokowi pada saat itu didampingi Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto A Suroyo, menyerahkan kompensasi kepada 215 korban maupun ahli waris korban dari 40 peristiwa terorisme masa lalu sebesar Rp39,205 miliar.

Adapun rinciannya yakin Rp250.000.000 untuk korban meninggal dunia, Rp210.000.000 untuk korban luka berat, Rp115.000.000 untuk korban luka sedang, dan Rp75.000.000 untuk korban luka ringan.

Jumlah itu tentu belum sebanding dengan penderitaan korban selama ini yang harus bertahan hidup di tengah kondisi sulit. Tak hanya menyangkut masalah ekonomi seperti kehilangan pekerjaaan, mereka juga harus memikul trauma psikologis, derita fisik, dan stigma karena kondisi fisik yang dialami pasca peristiwa teror.

Kehadiran negara melalui pemberian kompensasi diharapkan menjadi suntikan semangat baru bagi para korban untuk melanjutkan hidup di masa yang akan datang.

Tanggung jawab negara
Korban tindak pidana terorisme merupakan tanggung jawab negara. Negara wajib hadir untuk memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia kepada korban.

Hal itu diamanatkan UU Nomor 5/2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15/2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.

Jokowi dalam acara penyerahan kompensasi itu menyampaikan bahwa pemerintah melalui LPSK telah berupaya untuk memulihkan para korban terorisme dengan berbagai bentuk.

“Sejak 2018 upaya pemulihan korban dilakukan melalui LPSK dalam bentuk pemberian kompensasi, bantuan medis, dan layanan psikologis, serta rehabilitasi psikososial,” ujar dia.

Pemerintah lalu memperkuat komitmen untuk pemulihan korban terorisme masa lalu itu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35/2020.

Pada PP itu ditegaskan korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak memperoleh kompensasi. Kompensasi tersebut bisa diajukan oleh korban tindak pidana terorisme, keluarga ahli waris, atau kuasanya kepada LPSK.

Sementara itu, Hasto mengatakan bahwa 215 korban yang memperoleh kompensasi merupakan angka sementara dari identifikasi dan inventarisasi yang berhasil dijangkau oleh tim LPSK.

"LPSK memastikan jumlah korban yang mengajukan permohonan kompensasi ke LPSK akan terus bertambah dan akan melalui mekanisme dan prosedur pemeriksaan yang sama. Keputusan LPSK dalam menyegerakan pemberian kompensasi kepada 215 korban telah melalui pertimbangan yang matang dan terukur," ujar dia.

Laksanakan pembayaran kompensasi
Merujuk UU Nomor 5/2018, kompensasi merupakan salah satu komponen yang berhak diterima korban terorisme pada masa lalu.

Salah satu hal istimewa dari Undang-Undang itu adalah munculnya terobosan hukum yang membuka kesempatan bagi korban terorisme masa lalu untuk mendapatkan kompensasi tanpa melalui jalur pengadilan.

Dalam penjelasannya, yang dimaksud korban terorisme masa lalu adalah Korban langsung yang diakibatkan dari tindak pidana terorisme sebelum UU Nomor 5/2018 berlaku ditarik hingga peristiwa bom Bali I pada Oktober 2002.

Aturan yang lebih teknis menjabarkan pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan kepada saksi dan korban sesuai yang diamanatkan dalam UU Nomor 5/2018 diatur dalam PP Nomor 35/2020 yang baru terbit pada Juli 2020.

Suroyo mengatakan, selain kompensasi untuk korban terorisme masa lalu, hingga saat ini LPSK telah berhasil melaksanakan pembayaran kompensasi bagi 125 orang yang berasal dari 16 peristiwa serangan terorisme selama kurun waktu 2016 sampai dengan Oktober 2020 yang keputusannya merujuk pada keputusan pengadilan.

Peristiwa serangan terorisme yang di maksud antara lain bom Gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur (2016), bom Jalan Thamrin, Jakarta (2016), penyerangan Kantor Polda Sumatera Utara, Sumatera Utara (2017), bom Kampung Melayu, Jakarta (2017), hingga peristiwa terorisme Sibolga, Sumatera Utara (2019).

"Total kompensasi yang dibayarkan mencapai Rp8,294 miliar. Masih terdapat dua peristiwa terorisme dengan sembilan korban di mana kompensasinya telah diputus pengadilan namun masih menunggu pelaksanaan pembayarannya," kata dia.

LPSK pun berharap kompensasi yang diterima oleh para korban dapat dimanfaatkan secara bijaksana serta digunakan untuk memulihkan kondisi sosial ekonomi mereka.

"LPSK juga telah merancang program pendampingan melalui kegiatan pelatihan dan pembekalan keterampilan bagi para korban tindak pidana, khususnya korban terorisme," ujar Suroyo.

Berburu dengan waktu
Semua pihak tentu berharap semakin banyak korban terorisme masa lalu yang mendapatkan kompensasi dari negara. Namun sayangnya Undang-Undang membatasi masa pengajuan permohonan paling lama tiga tahun sejak UU Nomor 5/2018 mulai berlaku.

UU itu berlaku pada 21 Juni 2018 sehingga batas akhir pengajuan permohonan adalah 21 Juni 2021.

Korban terorisme masa lalu yang belum terdaftar di LPSK pun diburu waktu. Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi, mengimbau para korban yang belum terdaftar untuk segera mengajukan permohonan perlindungan sebelum batas waktunya berakhir.

"Kami mengimbau korban terorisme masa lalu agar mengajukan permohonan kepada LPSK untuk mendapatkan hak-haknya," kata dia beberapa waktu lalu.

Korban terorisme yang belum terdaftar bisa langsung datang ke kantor LPSK dengan membawa sejumlah persyaratan, termasuk surat keterangan sebagai korban yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Jika sudah terdaftar, para korban terorisme nantinya akan menerima hak-hak mereka seperti bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, santunan bagi keluarga dalam hal korban meninggal dunia, restitusi, serta kompensasi.

Sementara itu, Suroyo memastikan LPSK akan bekerja sekuat tenaga untuk menjangkau korban terorisme lain yang belum mendapatkan hak kompensasinya, setidaknya sampai Juni 2021 yang menjadi batas akhir penyelesaian kompensasi.

"Oleh karena itu kita punya waktu yang sangat mepet untuk menyelesaikan kompensasi untuk korban tindak pidana masa lalu ini," ujar dia.

Menurut dia, ini bukan tugas yang mudah dan tidak bisa diselesaikan LPSK sendiri. Ia meminta bantuan setiap instansi, mulai dari Detasemen Khusus 88 Antiteror di Kepolisian Indonesia, BNPT, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, hingga Kementerian Keuangan, untuk saling berkoordinasi menuntaskan tugas ini.

Komitmen negara untuk terus melindungi dan memulihkan korban tindak pidana terorisme harus terus mendapat dukungan dari segenap pihak.

Kita semua tentu berharap seluruh korban terorisme masa lalu dapat memperoleh hak-hak mereka tanpa terkecuali sebelum batas waktu permohonan berakhir. Dengan demikian, para penyintas ini dapat melanjutkan kehidupan mereka dan menatap masa dengan dengan lebih optimis. (*)

Pewarta : Fathur Rochman
Editor : Joko Nugroho
Copyright © ANTARA 2024