Jakarta (ANTARA) - Legenda sepak bola Argentina Diego Maradona pernah mengungkapkan bahwa pahlawannya adalah mendiang pemimpin revolusioner Kuba Fidel Castro.
Dia menganggap Castro "ayah kedua" sampai-sampai wajah sang pemimpin Kuba itu diabadikan menjadi tato di kakinya. Castro pula yang pernah mendesak Maradona agar terjun ke dunia politik.
Maradona yang meninggal dunia dalam usia 60 tahun Rabu kemarin tidak pernah mewujudkan aspirasinya itu tetapi dia memainkan peran dalam memperjuangkan para pemimpin kiri di seluruh Amerika Latin seperti Castro sendiri, Hugo Chavez dari Venezuela dan Evo Morales dari Bolivia. Dia juga turut mempertinggi daya tarik internasional yang lebih luas dari pemimpin kiri ini.
"Semua yang dilakukan Fidel, semua yang Chavez lakukan untuk saya adalah yang terhebat (yang bisa dilakukan)," kata Maradona dalam acara televisi mingguan Chavez pada 2007.
"Saya benci semua yang berasal dari Amerika Serikat. Saya membencinya dengan segenap kekuatan saya."
Maradona, putra seorang pekerja pabrik yang dibesarkan di sebuah kota kumuh di pinggiran Buenos Aires, pertama kali bertemu Castro pada 1987, satu tahun setelah mengantarkan Argentina menjuarai Piala Dunia dan empat tahun sebelum jatuhnya Uni Soviet yang mengantarkan era baru kesulitan ekonomi di Kuba yang komunis.
Persahabatan yang tidak biasa antara pesepakbola yang kerap aneh ini dan sang revolusioner yang gemar membaca itu diperdalam awal abad ini pada saat Maradona menghabiskan empat tahun di Havana demi menghilangkan kecanduan narkotika.
"Bermula dari awal yang begitu sederhana ini, Castro adalah idolanya," kata Alfredo Tedeschi, produser TV Argentina yang kini tinggal di Belgia yang menjadi teman dekat Maradona saat sang wartawan bekerja untuk Reuters di Havana.
"Rasanya seperti dia jatuh cinta (kepada Castro), dan kemudian muncul Chavez, Morales dan yang lainnya," kata Tedeschi, yang sering mengundang pesepakbola itu untuk makan malam barbekyu steak tradisional Argentina.
Tedeschi terkenang saat Maradona mengetuk pintu rumahnya dan mengusulkan untuk melakukan kunjungan mendadak ke Castro. Pemimpin Kuba itu menerima kedua orang tersebut hanya beberapa menit begitu keduanya tiba di Kuba dan segera menuntaskan semua agenda kerjanya yang sibuk, demi menghabiskan waktu tiga jam bersama kedua orang itu, termasuk bermain sepak bola di kantor kepresidenannya.
"Mereka selalu membahas politik - Diego sangat tertarik kepada politik," kata Tedeschi seraya menambahkan bahwa saat itu Castro berjanji untuk membalas kunjungan spontan ini ke rumah Maradona di Havana.
Pada 2005, Maradona mewawancarai Castro dalam sebuah acara TV Argentina. Saat itu menanyakan sikap Castro atas terpilihnya lagi George W. Bush tsebagai presiden Amerika Serikat. Casto menjawab, "Curang. Mafia teroris Miami!"
Karena itu pula Maradona menjadi alat propaganda para pemimpin sayap kiri Amerika Latin, kata Tedeschi.
"Diego adalah jenis orang di mana apapun yang dia katakan akan berdampak," kata Tedeschi. "Dan bagi Fidel, propaganda semacam itu disambut baik."
Seperti ditakdirkan, Maradona meninggal dunia pada tanggal yang sama, 25 November, seperti terjadi pada idolanya itu empat tahun lalu. Castro wafat pada 25 November 2016. Saat itu Maradona mengaku bahwa "menangis sejadi-jadinya."
Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodriguez mencuit di Twitter bahwa "persahabatan Maradona dengan Kuba dan terutama dengan Fidel menjadikan dia bagian dari rakyat negeri ini."
Pengganti Morales dan Chavez, Presiden Venezuela Nicolas Maduro, juga menyampaikan belasungkawa di Twitter. Maradona menyuarakan dukungan kepada Maduro dalam menghadapi sanksi AS terhadap pemerintahannya.
"Dengan kesedihan mendalam di hati saya, saya mengetahui kematian saudara saya, Diego Armando Maradona, orang yang merasa dan berjuang demi kaum miskin, pemain sepak bola terbaik di dunia," tulis Morales yang juga penggemar fanatik sepak bola.
Mantan presiden Bolivia merekrut Maradona untuk bermain melawannya dalam pertandingan amal di La Paz pada 2008 untuk menunjukkan dukungan dia kepada kampanye Bolivia dalam menentang larangan FIFA bermain di dataran tinggi. Larangan itu kemudian dibatalkan.
Dalam satu wawancara dengan surat kabar Argentina Clarin pada 2018, Maradona mengatakan dia akan mempertimbangkan terjun ke dunia politik, mungkin sebagai calon wakil presiden untuk calon presiden Peronist, Cristina Fernandez, pada pemilihan presiden 2019 untuk menggulingkan pemerintah konservatif saat itu.
"Fidel berkata kepada saya bahwa saya harus mengabdikan diri pada politik, dan saya akan berpasangan dengan dia, dengan Cristina," kata Maradona. "Saya menyaksikan rakyat menderita, rakyat yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sampai akhir bulan."
Fernandez yang kini wakil presiden Argentina, memilih jalan lain. Tetapi pada Rabu dia memberikan penghormatan kepada mantan pengagumnya.
"Sedih sekali. Sang legenda telah tiada," tulis Fernandez di Twitter. "Kekal selamanya, Diego, kami mencintaimu."
Dia menganggap Castro "ayah kedua" sampai-sampai wajah sang pemimpin Kuba itu diabadikan menjadi tato di kakinya. Castro pula yang pernah mendesak Maradona agar terjun ke dunia politik.
Maradona yang meninggal dunia dalam usia 60 tahun Rabu kemarin tidak pernah mewujudkan aspirasinya itu tetapi dia memainkan peran dalam memperjuangkan para pemimpin kiri di seluruh Amerika Latin seperti Castro sendiri, Hugo Chavez dari Venezuela dan Evo Morales dari Bolivia. Dia juga turut mempertinggi daya tarik internasional yang lebih luas dari pemimpin kiri ini.
"Semua yang dilakukan Fidel, semua yang Chavez lakukan untuk saya adalah yang terhebat (yang bisa dilakukan)," kata Maradona dalam acara televisi mingguan Chavez pada 2007.
"Saya benci semua yang berasal dari Amerika Serikat. Saya membencinya dengan segenap kekuatan saya."
Maradona, putra seorang pekerja pabrik yang dibesarkan di sebuah kota kumuh di pinggiran Buenos Aires, pertama kali bertemu Castro pada 1987, satu tahun setelah mengantarkan Argentina menjuarai Piala Dunia dan empat tahun sebelum jatuhnya Uni Soviet yang mengantarkan era baru kesulitan ekonomi di Kuba yang komunis.
Persahabatan yang tidak biasa antara pesepakbola yang kerap aneh ini dan sang revolusioner yang gemar membaca itu diperdalam awal abad ini pada saat Maradona menghabiskan empat tahun di Havana demi menghilangkan kecanduan narkotika.
"Bermula dari awal yang begitu sederhana ini, Castro adalah idolanya," kata Alfredo Tedeschi, produser TV Argentina yang kini tinggal di Belgia yang menjadi teman dekat Maradona saat sang wartawan bekerja untuk Reuters di Havana.
"Rasanya seperti dia jatuh cinta (kepada Castro), dan kemudian muncul Chavez, Morales dan yang lainnya," kata Tedeschi, yang sering mengundang pesepakbola itu untuk makan malam barbekyu steak tradisional Argentina.
Tedeschi terkenang saat Maradona mengetuk pintu rumahnya dan mengusulkan untuk melakukan kunjungan mendadak ke Castro. Pemimpin Kuba itu menerima kedua orang tersebut hanya beberapa menit begitu keduanya tiba di Kuba dan segera menuntaskan semua agenda kerjanya yang sibuk, demi menghabiskan waktu tiga jam bersama kedua orang itu, termasuk bermain sepak bola di kantor kepresidenannya.
"Mereka selalu membahas politik - Diego sangat tertarik kepada politik," kata Tedeschi seraya menambahkan bahwa saat itu Castro berjanji untuk membalas kunjungan spontan ini ke rumah Maradona di Havana.
Pada 2005, Maradona mewawancarai Castro dalam sebuah acara TV Argentina. Saat itu menanyakan sikap Castro atas terpilihnya lagi George W. Bush tsebagai presiden Amerika Serikat. Casto menjawab, "Curang. Mafia teroris Miami!"
Karena itu pula Maradona menjadi alat propaganda para pemimpin sayap kiri Amerika Latin, kata Tedeschi.
"Diego adalah jenis orang di mana apapun yang dia katakan akan berdampak," kata Tedeschi. "Dan bagi Fidel, propaganda semacam itu disambut baik."
Seperti ditakdirkan, Maradona meninggal dunia pada tanggal yang sama, 25 November, seperti terjadi pada idolanya itu empat tahun lalu. Castro wafat pada 25 November 2016. Saat itu Maradona mengaku bahwa "menangis sejadi-jadinya."
Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodriguez mencuit di Twitter bahwa "persahabatan Maradona dengan Kuba dan terutama dengan Fidel menjadikan dia bagian dari rakyat negeri ini."
Pengganti Morales dan Chavez, Presiden Venezuela Nicolas Maduro, juga menyampaikan belasungkawa di Twitter. Maradona menyuarakan dukungan kepada Maduro dalam menghadapi sanksi AS terhadap pemerintahannya.
"Dengan kesedihan mendalam di hati saya, saya mengetahui kematian saudara saya, Diego Armando Maradona, orang yang merasa dan berjuang demi kaum miskin, pemain sepak bola terbaik di dunia," tulis Morales yang juga penggemar fanatik sepak bola.
Mantan presiden Bolivia merekrut Maradona untuk bermain melawannya dalam pertandingan amal di La Paz pada 2008 untuk menunjukkan dukungan dia kepada kampanye Bolivia dalam menentang larangan FIFA bermain di dataran tinggi. Larangan itu kemudian dibatalkan.
Dalam satu wawancara dengan surat kabar Argentina Clarin pada 2018, Maradona mengatakan dia akan mempertimbangkan terjun ke dunia politik, mungkin sebagai calon wakil presiden untuk calon presiden Peronist, Cristina Fernandez, pada pemilihan presiden 2019 untuk menggulingkan pemerintah konservatif saat itu.
"Fidel berkata kepada saya bahwa saya harus mengabdikan diri pada politik, dan saya akan berpasangan dengan dia, dengan Cristina," kata Maradona. "Saya menyaksikan rakyat menderita, rakyat yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sampai akhir bulan."
Fernandez yang kini wakil presiden Argentina, memilih jalan lain. Tetapi pada Rabu dia memberikan penghormatan kepada mantan pengagumnya.
"Sedih sekali. Sang legenda telah tiada," tulis Fernandez di Twitter. "Kekal selamanya, Diego, kami mencintaimu."