Padang (ANTARA) - Pesta demokrasi lokal alias Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia, termasuk Sumatera Barat tinggal menghitung hari. Akan ada dua kota yang akan melaksanakan pemilihan pasangan wali kota, 11 kabupaten yang akan melaksanakan pemilihan pasangan bupati, ditambah dengan pemilihan pasangan gubernur untuk provinsi.
Aura dan suhu Pilkada serentak di Sumbar itu sejak beberapa bulan belakangan sudah mulai kian terasa. Tema Pilkada menjadi "trending topic" yang tak kalah hangatnya dengan update data penyebaran Covid-19 di Subar yang juga meningkat. Sampai-sampai pertanyaan "Sia nan ka dipiliah bisuak?" sudah lumrah terdengar mulai dari masjid, kelompok tani, komunitas anak muda, kadai kopi, bahkan sampai ke kantor-kantor pemerintah.
Kenapa Pilkada selalu menjadi topik yang sexy di lingkungan kantor pemerintah yang notabene isi kantor tersebut adalah pagawai atau sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 disebut dengan Aparatur Sipil Negara (ASN)? Yang sesuai aturan seharusnya netral?
Netralitas ASN adalah persoalan klasik, namun tetap aktual setiap kali menjelang Pilkada. Persoalannya adalah bagaimana menjamin netralitas ASN yang akan berpartisipasi dalam perhelatan pilkada, sementara posisinya adalah penghuni kapal birokrasi yang nantinya akan di nahkodai oleh Kepala Daerah terpilih?
Dalam tataran teori menurut GWF Hegel (1770-1831) seorang filsuf idealis Jerman, dikatakan, sebagai perantara kepentingan khusus dengan kepentingan umum, antara kepentingan sosial dan politik masyarakat dengan pemerintah, birokrasi seharusnya netral.
Senada dengan teori Maximilian Weber (1864-1920) dalam karyanya yang terkenal Politik Sebagai Panggilan, mengatakan bahwa birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik atau diposisikan sebagai kekuatan yang netral, dan netralitas birokrasi harus mengutamakan kepentingan rakyat dan negara dibanding kepentingan yang lainnya. Maka bisa kita pahami bahwa netralitas birokrasi yang dimaksud oleh dua ahli diatas, Hegel dan Weber adalah netralitas ASN yang berada di dalam birokrasi itu sendiri.
Jika kita pinjam istilah yang diambil dari bahasa Jerman "Das sein versus Das Sollen", Das Sein adalah sebuah realita yang telah terjadi, Das Sollen adalah apa yang sebaiknya dilakukan yaitu sebuah impian dan harapan, singkatnya dapat disimpulkan kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Sejatinya antara teori netralitas ASN dalam tataran ideal dengan praktek netralitas ASN yang sangat situasional dan kondisional sudah pasti sangat "senjang".
Beberapa kali mometum pembacaan ikrar netralitas ASN pun diselenggarakan di Sumbar atas dasar Surat Edaran Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Nomor B-2708/KASN/9/2020 yang menghimbau Pemerintah Daerah yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 agar menggelar Apel Ikrar Bersama Gerakan Nasional Netralitas ASN pada Pilkada Serentak Tahun 2020. Namun, apakah itu ampuh?
Netralitas ASN dalam segala bentuk kontestasi politik di indonesia saat ini sudah menjadi keharusan, karena ada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Pertama pada pasal 9 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara secara jelas disebutkan bahwa ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Kedua, pada pasal 11 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS juga disebutkan bahwa setiap PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Namun perlu digaris bawahi bahwa netral seorang ASN bukan berarti tidak memilih atau golput, karena ASN juga diberi kebebasan hak untuk menentukan pilihan dalam politik.
Hak pilih itu tanpa disadari memiliki "efek magnetik" yang menarik keberpihakan ASN terhadap suatu golongan atau kelompok politik tertentu, sehingga menyebabkan terciptanya suatu kondisi yang tidak netral dalam tataran ideal.
Netralitas seorang ASN pada hakikatnya dipengaruhi oleh keputusan pribadi ASN itu sendiri berdasarkan rasionanilasi politiknya, yaitu suatu proses penggunaan pikiran oleh individu ASN untuk menganalisa, menimbang dan memutuskan suatu tindakan politik yang sesuai dengan realita politik yang sedang berlangsung dan mampu memperkirakan peluang serta manfaat keputusan yang dibuat dalam jangka pendek maupun panjang.
Rasionalisasi politik ASN itu sangat mungkin di awali oleh harapan, dan harapan setiap individu ASN kadang tidaklah sama. Hal ini bisa kita sandingkan dengan teori harapan yang dikemukan oleh Victor H. Vroom seorang profesor sekolah bisnis di Yale School of Management, pada tahun 1964 dalam bukunya Work and Motivation, menyebutkan bahwa seseorang termotivasi untuk melakukan kegiatan tertentu karena ingin mencapai tujuan tertentu yang diharapkannya.
Dengan kata lain, apabila seseorang ASN memilih untuk melakukan sesuatu dan memilih untuk berperilaku tertentu dalam konteks netral atau tidak, adalah karena mengharapkan hasil dari pilihannya yang diyakininya dan berorientasi pada hasil yang akan didapatkannya.
Namun sebesar apapun godaan kontestasi elektoral pilkada lima tahunan ini terhadap seorang ASN tidak akan berdampak terhadap netralitasnya, jika pribadi ASN tersebut manggunakan rasionalisasi politiknya untuk tidak terpengaruh, dan tetap percaya terhadap idealnya sebuah sistem birokrasi yang dilakoninya.
Namun itupun hanya dalam tataran ideal, karena dilihat dari data Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2020 pada tanggal 25 Februari 2020 yang diterbitkan oleh Bawaslu, netralitas ASN merupakan salah satu dari lima indikator dominan sub dimensi kerawanan Pemilu.
Lalu bagaimana baiknya? Apakah seharusnya hak pilih itu dicabut saja agar ASN benar-benar bisa bersifat netral?
Wacana pencabutan hak pilih ASN itu sebenarnya bukan hal baru. Setiap kali Pemilu selalu mengapung menjadi pembicaraan. Namun usai kontestasi, wacananya tenggelam lagi. Terlupakan.
Menilik hasil survei yang dilakukan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi di tahun 2020, wacana pencabutan hak pilih ASN itu sebenarnya mendapatkan dukungan cukup besar. Survei itu menyebutkan 28 persen responden yang diberikan pertanyaan menyatakan setuju hak politik ASN dicabut agar sama stausnya dengan TNI/Polri.
Tanpa hak pilih ASN dinilai akan benar-benar bisa memposisikan diri sebagai pihak yang netral. Tidak berpihak.
Tetapi benarkah demikian? Benarkah tanpa hak politik ASN itu benar-benar bisa netral? Jawaban pastinya tentu hanya bisa didapatkan jika pengambil kebijakan benar-benar mencabut hak pilih itu.
Bagaimanapun, kita tetap berharap Pilkada serentak di Sumbar pada 9 Desember 2020 nanti berjalan dengan lancar dan sukses, disertai dengan terpilihnya gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota yang tulus ikhlas mengabdi untuk kemajuan daerah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumbar.
Kita juga sama-sama berharap Pilkada Sumbar berakhir indah tanpa ada konflik yang memecah belah, seperti ungkapan Minangkabau "biduak lalu, kiambang batauik."
*Alumni Adm Negara FISIP USU & Alumni Magister Administrasi Publik FIS UNP
Email : igustifirmansyah@gmail.com
Aura dan suhu Pilkada serentak di Sumbar itu sejak beberapa bulan belakangan sudah mulai kian terasa. Tema Pilkada menjadi "trending topic" yang tak kalah hangatnya dengan update data penyebaran Covid-19 di Subar yang juga meningkat. Sampai-sampai pertanyaan "Sia nan ka dipiliah bisuak?" sudah lumrah terdengar mulai dari masjid, kelompok tani, komunitas anak muda, kadai kopi, bahkan sampai ke kantor-kantor pemerintah.
Kenapa Pilkada selalu menjadi topik yang sexy di lingkungan kantor pemerintah yang notabene isi kantor tersebut adalah pagawai atau sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 disebut dengan Aparatur Sipil Negara (ASN)? Yang sesuai aturan seharusnya netral?
Netralitas ASN adalah persoalan klasik, namun tetap aktual setiap kali menjelang Pilkada. Persoalannya adalah bagaimana menjamin netralitas ASN yang akan berpartisipasi dalam perhelatan pilkada, sementara posisinya adalah penghuni kapal birokrasi yang nantinya akan di nahkodai oleh Kepala Daerah terpilih?
Dalam tataran teori menurut GWF Hegel (1770-1831) seorang filsuf idealis Jerman, dikatakan, sebagai perantara kepentingan khusus dengan kepentingan umum, antara kepentingan sosial dan politik masyarakat dengan pemerintah, birokrasi seharusnya netral.
Senada dengan teori Maximilian Weber (1864-1920) dalam karyanya yang terkenal Politik Sebagai Panggilan, mengatakan bahwa birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik atau diposisikan sebagai kekuatan yang netral, dan netralitas birokrasi harus mengutamakan kepentingan rakyat dan negara dibanding kepentingan yang lainnya. Maka bisa kita pahami bahwa netralitas birokrasi yang dimaksud oleh dua ahli diatas, Hegel dan Weber adalah netralitas ASN yang berada di dalam birokrasi itu sendiri.
Jika kita pinjam istilah yang diambil dari bahasa Jerman "Das sein versus Das Sollen", Das Sein adalah sebuah realita yang telah terjadi, Das Sollen adalah apa yang sebaiknya dilakukan yaitu sebuah impian dan harapan, singkatnya dapat disimpulkan kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Sejatinya antara teori netralitas ASN dalam tataran ideal dengan praktek netralitas ASN yang sangat situasional dan kondisional sudah pasti sangat "senjang".
Beberapa kali mometum pembacaan ikrar netralitas ASN pun diselenggarakan di Sumbar atas dasar Surat Edaran Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Nomor B-2708/KASN/9/2020 yang menghimbau Pemerintah Daerah yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 agar menggelar Apel Ikrar Bersama Gerakan Nasional Netralitas ASN pada Pilkada Serentak Tahun 2020. Namun, apakah itu ampuh?
Netralitas ASN dalam segala bentuk kontestasi politik di indonesia saat ini sudah menjadi keharusan, karena ada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Pertama pada pasal 9 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara secara jelas disebutkan bahwa ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Kedua, pada pasal 11 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS juga disebutkan bahwa setiap PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Namun perlu digaris bawahi bahwa netral seorang ASN bukan berarti tidak memilih atau golput, karena ASN juga diberi kebebasan hak untuk menentukan pilihan dalam politik.
Hak pilih itu tanpa disadari memiliki "efek magnetik" yang menarik keberpihakan ASN terhadap suatu golongan atau kelompok politik tertentu, sehingga menyebabkan terciptanya suatu kondisi yang tidak netral dalam tataran ideal.
Netralitas seorang ASN pada hakikatnya dipengaruhi oleh keputusan pribadi ASN itu sendiri berdasarkan rasionanilasi politiknya, yaitu suatu proses penggunaan pikiran oleh individu ASN untuk menganalisa, menimbang dan memutuskan suatu tindakan politik yang sesuai dengan realita politik yang sedang berlangsung dan mampu memperkirakan peluang serta manfaat keputusan yang dibuat dalam jangka pendek maupun panjang.
Rasionalisasi politik ASN itu sangat mungkin di awali oleh harapan, dan harapan setiap individu ASN kadang tidaklah sama. Hal ini bisa kita sandingkan dengan teori harapan yang dikemukan oleh Victor H. Vroom seorang profesor sekolah bisnis di Yale School of Management, pada tahun 1964 dalam bukunya Work and Motivation, menyebutkan bahwa seseorang termotivasi untuk melakukan kegiatan tertentu karena ingin mencapai tujuan tertentu yang diharapkannya.
Dengan kata lain, apabila seseorang ASN memilih untuk melakukan sesuatu dan memilih untuk berperilaku tertentu dalam konteks netral atau tidak, adalah karena mengharapkan hasil dari pilihannya yang diyakininya dan berorientasi pada hasil yang akan didapatkannya.
Namun sebesar apapun godaan kontestasi elektoral pilkada lima tahunan ini terhadap seorang ASN tidak akan berdampak terhadap netralitasnya, jika pribadi ASN tersebut manggunakan rasionalisasi politiknya untuk tidak terpengaruh, dan tetap percaya terhadap idealnya sebuah sistem birokrasi yang dilakoninya.
Namun itupun hanya dalam tataran ideal, karena dilihat dari data Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2020 pada tanggal 25 Februari 2020 yang diterbitkan oleh Bawaslu, netralitas ASN merupakan salah satu dari lima indikator dominan sub dimensi kerawanan Pemilu.
Lalu bagaimana baiknya? Apakah seharusnya hak pilih itu dicabut saja agar ASN benar-benar bisa bersifat netral?
Wacana pencabutan hak pilih ASN itu sebenarnya bukan hal baru. Setiap kali Pemilu selalu mengapung menjadi pembicaraan. Namun usai kontestasi, wacananya tenggelam lagi. Terlupakan.
Menilik hasil survei yang dilakukan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi di tahun 2020, wacana pencabutan hak pilih ASN itu sebenarnya mendapatkan dukungan cukup besar. Survei itu menyebutkan 28 persen responden yang diberikan pertanyaan menyatakan setuju hak politik ASN dicabut agar sama stausnya dengan TNI/Polri.
Tanpa hak pilih ASN dinilai akan benar-benar bisa memposisikan diri sebagai pihak yang netral. Tidak berpihak.
Tetapi benarkah demikian? Benarkah tanpa hak politik ASN itu benar-benar bisa netral? Jawaban pastinya tentu hanya bisa didapatkan jika pengambil kebijakan benar-benar mencabut hak pilih itu.
Bagaimanapun, kita tetap berharap Pilkada serentak di Sumbar pada 9 Desember 2020 nanti berjalan dengan lancar dan sukses, disertai dengan terpilihnya gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota yang tulus ikhlas mengabdi untuk kemajuan daerah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumbar.
Kita juga sama-sama berharap Pilkada Sumbar berakhir indah tanpa ada konflik yang memecah belah, seperti ungkapan Minangkabau "biduak lalu, kiambang batauik."
*Alumni Adm Negara FISIP USU & Alumni Magister Administrasi Publik FIS UNP
Email : igustifirmansyah@gmail.com