Padang (ANTARA) - Mengedepankan adab, ba hati lapang ba alam laweh, Cagub-Cawagub yang akan bertarung pada Pilkada 9 Desember mendatang bersepakat duduak basamo memformulasikan masa depan Sumatera Barat. Duduak basamo sebagai konsensus dari tuah sakato - Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan – berhasil mencuri perhatian masyarakat Minangkabau di seluruh penjuru dunia. Membangun Sumatera Barat menjelma menjadi wacana kolektif. Bukan lagi monopoli Cagub-Cawagub dalam narasi memperebutkan kekuasaan.
Begitulah, tranding topic di media sosial yang menjadi halusinasi saya saat ini. Sumatera Barat kembali menjadi perhatian jutaan mata masyarakat Indonesia. Sampai-sampai, media masa Jakarta pun ikut mengabarkannya. Bahkan, mengalahkan viralnya pernyataan Puan Maharani tentang Sumatera Barat baru-baru ini, yang mampu membangkitkan euforia nostalgia orang Minangkabau. Ya! Nostalgia kejayaan masa lalu.
Halusinasi saya pun berlanjut.
Kemulian hati para Cawagub-Cawagub dan rasa memiliki masyarakat Sumatera Barat - ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, generasi muda – merupakan wujud reinkarnasi “semangat” Sumpah Sati Bukik Marapalam. Konon kabarnya, kepedulian, kebersamaan dan persatuan pada peristiwa Sumpah Sati Bukik Marapalam melahirkan konsep ideologis masyarakat Minangkabau, yang kemudian dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya, dan politik.
Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang, tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo makan ambun, bukanlah sebuah diksi pepesan kosong dalam menggambarkan egalitarian orang Minangkabau. Hal itu menegaskan, bahwa konsep, ide, dan gagasan bersama benar-benar diperlukan. Dan merupakan sebuah keniscayaan untuk pembangunan Sumatera Barat. Tuah Sakato, formula logis blueprint program pembangunan. Saya menamakannya, GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Nagari). Maka, slogan (baca; branding) Sumbar Berkah Dan Sejahtera, Sumatera Barat Unggul Untuk Semua, Sumbar Maju, Basamo Membangun Sumbar Madani, bukan lagi sekedar cerita si bisu barasian.
Sikap kesatria Cagub-Cawagub tersebut menafikan narasi tunggal “cadiak surang” atau perilaku ma ajan tuah – amanah, berpengalaman, pemimpin perubahan, teruji, berpendidikan, merakyat, kerja nyata, peduli, bermartabat, ulama, umaro, birokrat, berpangkat, pejabat, pengusaha, religius, sederhana, dermawan, keturunan si nganu, sopan, santun, tua, muda, millennial, urang sakampuang, sasuku, sasurau, sapangajian, satu almamater, dan berjibun lainnya – yang digadang-gadangkan menjadi poin penting meraup popularitas dan elektabilitas. Narasi yang cenderung dikemas hiperealitas itu tidak lebih dari sekedar opok-opok, ciracau barau-barau, dan pencitraan belaka. Elok tungkuih tak barisi, gadang agak tak manyampai. Malahan, ada yang mengatakan sebagai bentuk pembodohan, membunuh akal sehat, dan penistaan terhadap intelektualitas orang Minangkabau yang dikenal sebagai kaum yang berpikir kritis.
Duduak basamo untuk masa depan Sumatera Barat, sebuah manifestasi gerakan rekonstruksi dan revitalisasi identitas dan karakter orang Minangkabau - Tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah. Ati gajah samo dilapah, ati tungau samo dicacah -. Mengingat, Minangkabau tidak kekurangan ninik mamak yang paham adat, budaya, dan persoalan kepemimpinan. Minangkabau masih memiliki Alim Ulama yang kaffah dan tauhidiy. Apalagi soal Cadiak Pandai. Saya yakin, Minangkabau punya cendekiawan di semua disiplin ilmu. Bahkan, tersebar di seluruh dunia. Tagak basuku mamaga suku, tagak banagari mamaga nagari, tagak babangso mamaga bangso.
Duduak basamo menjadi media dialetika, argumentatif, subtantif, elaborasi, realistis, responsif, solusional, komunikatif, inovatif, optimistis, solidaritas, tolak ukur, etos kerja, basuluah matohari bagalanggang mato urang banyak. Hasilnya, sebuah pondasi, dasar, dan kiblat pembangunan Sumatera Barat kedepannya. Dengan program kerja yang jelas, terukur, terarah, profesional, partisipatif, open management, social empowerment, stakeholder engagement, sustainability. Sebut saja bidangnya; agama, pendidikan, sosial, adat, budaya, ekonomi, politik, SDA, SDM, pertanian, peternakan, pertambangan, perdagangan, infrastruktur, investasi, idiologi, pertahanan, keamanan, dan persoalan tetek bengek lainnya.
Duduak basamo, refleksi energi baru Pilkada Sumatera Barat. Menghimpun pemikiran-pemikiran yang revolusioner. Saciok bak ayam sadanciang bak basi. Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan patah pangajuik ayam, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuaik pambaok baban, nan binguang ka disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang. Diskusi-diskusi tentang Pilkada tidak lagi hanya sebatas bagaimana strategi dan taktik memenangkan pertarungan politik dalam merebut kekuasaan untuk kemaslahatan rakyat. Memposisikan masyarakat hanya sebatas objek politik. Bukan juga cerita-cerita tentang distribusi kue kekuasaan dan politik transaksional. Apalagi, dongeng-dongeng jurnalisme kenabian.
Duduak basamo, sebuah tarekat menuju hakikat Pilkada Badunsanak. Bermartabat, beradab, beretika, bermoral. Tembak nan baalamaik, pandang nan batujuan, bajalan mahadang bateh, balayia mahadang pulau. Membungkam buzzer dan influencer yang menebar hinaan, cacian dan makian. Black campaign dan negative campaign.
Berbicara Pilkada Sumatera Barat, pada akhirnya adalah sebuah diskusi panjang tentang mantagi kepemimpinan. Soal siapa yang layak dan patut mengemban amanah Tuah Sakato. Gadang buayo di kualo, gadang garundang di kubangan, samuik barajo di liangnyo.
Di akhir halusinasi, saya hanya bisa mereka-reka. Siapakah sosok yang bisa meyakinkan para Cagub-Cawagub untuk merumuskan bersama-sama masa depan Sumatera Barat? Atau Cagub-Cawagub nomor urut berapa yang punya inisiatif menggagas duduak basamo memformulasikan tuah sakato masa depan Sumatera Barat? Antahlah yuang! Wallahu a’lam bish-shawabi.
Padang, 22 Oktober 2020
Begitulah, tranding topic di media sosial yang menjadi halusinasi saya saat ini. Sumatera Barat kembali menjadi perhatian jutaan mata masyarakat Indonesia. Sampai-sampai, media masa Jakarta pun ikut mengabarkannya. Bahkan, mengalahkan viralnya pernyataan Puan Maharani tentang Sumatera Barat baru-baru ini, yang mampu membangkitkan euforia nostalgia orang Minangkabau. Ya! Nostalgia kejayaan masa lalu.
Halusinasi saya pun berlanjut.
Kemulian hati para Cawagub-Cawagub dan rasa memiliki masyarakat Sumatera Barat - ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, generasi muda – merupakan wujud reinkarnasi “semangat” Sumpah Sati Bukik Marapalam. Konon kabarnya, kepedulian, kebersamaan dan persatuan pada peristiwa Sumpah Sati Bukik Marapalam melahirkan konsep ideologis masyarakat Minangkabau, yang kemudian dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya, dan politik.
Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang, tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo makan ambun, bukanlah sebuah diksi pepesan kosong dalam menggambarkan egalitarian orang Minangkabau. Hal itu menegaskan, bahwa konsep, ide, dan gagasan bersama benar-benar diperlukan. Dan merupakan sebuah keniscayaan untuk pembangunan Sumatera Barat. Tuah Sakato, formula logis blueprint program pembangunan. Saya menamakannya, GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Nagari). Maka, slogan (baca; branding) Sumbar Berkah Dan Sejahtera, Sumatera Barat Unggul Untuk Semua, Sumbar Maju, Basamo Membangun Sumbar Madani, bukan lagi sekedar cerita si bisu barasian.
Sikap kesatria Cagub-Cawagub tersebut menafikan narasi tunggal “cadiak surang” atau perilaku ma ajan tuah – amanah, berpengalaman, pemimpin perubahan, teruji, berpendidikan, merakyat, kerja nyata, peduli, bermartabat, ulama, umaro, birokrat, berpangkat, pejabat, pengusaha, religius, sederhana, dermawan, keturunan si nganu, sopan, santun, tua, muda, millennial, urang sakampuang, sasuku, sasurau, sapangajian, satu almamater, dan berjibun lainnya – yang digadang-gadangkan menjadi poin penting meraup popularitas dan elektabilitas. Narasi yang cenderung dikemas hiperealitas itu tidak lebih dari sekedar opok-opok, ciracau barau-barau, dan pencitraan belaka. Elok tungkuih tak barisi, gadang agak tak manyampai. Malahan, ada yang mengatakan sebagai bentuk pembodohan, membunuh akal sehat, dan penistaan terhadap intelektualitas orang Minangkabau yang dikenal sebagai kaum yang berpikir kritis.
Duduak basamo untuk masa depan Sumatera Barat, sebuah manifestasi gerakan rekonstruksi dan revitalisasi identitas dan karakter orang Minangkabau - Tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah. Ati gajah samo dilapah, ati tungau samo dicacah -. Mengingat, Minangkabau tidak kekurangan ninik mamak yang paham adat, budaya, dan persoalan kepemimpinan. Minangkabau masih memiliki Alim Ulama yang kaffah dan tauhidiy. Apalagi soal Cadiak Pandai. Saya yakin, Minangkabau punya cendekiawan di semua disiplin ilmu. Bahkan, tersebar di seluruh dunia. Tagak basuku mamaga suku, tagak banagari mamaga nagari, tagak babangso mamaga bangso.
Duduak basamo menjadi media dialetika, argumentatif, subtantif, elaborasi, realistis, responsif, solusional, komunikatif, inovatif, optimistis, solidaritas, tolak ukur, etos kerja, basuluah matohari bagalanggang mato urang banyak. Hasilnya, sebuah pondasi, dasar, dan kiblat pembangunan Sumatera Barat kedepannya. Dengan program kerja yang jelas, terukur, terarah, profesional, partisipatif, open management, social empowerment, stakeholder engagement, sustainability. Sebut saja bidangnya; agama, pendidikan, sosial, adat, budaya, ekonomi, politik, SDA, SDM, pertanian, peternakan, pertambangan, perdagangan, infrastruktur, investasi, idiologi, pertahanan, keamanan, dan persoalan tetek bengek lainnya.
Duduak basamo, refleksi energi baru Pilkada Sumatera Barat. Menghimpun pemikiran-pemikiran yang revolusioner. Saciok bak ayam sadanciang bak basi. Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan patah pangajuik ayam, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuaik pambaok baban, nan binguang ka disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang. Diskusi-diskusi tentang Pilkada tidak lagi hanya sebatas bagaimana strategi dan taktik memenangkan pertarungan politik dalam merebut kekuasaan untuk kemaslahatan rakyat. Memposisikan masyarakat hanya sebatas objek politik. Bukan juga cerita-cerita tentang distribusi kue kekuasaan dan politik transaksional. Apalagi, dongeng-dongeng jurnalisme kenabian.
Duduak basamo, sebuah tarekat menuju hakikat Pilkada Badunsanak. Bermartabat, beradab, beretika, bermoral. Tembak nan baalamaik, pandang nan batujuan, bajalan mahadang bateh, balayia mahadang pulau. Membungkam buzzer dan influencer yang menebar hinaan, cacian dan makian. Black campaign dan negative campaign.
Berbicara Pilkada Sumatera Barat, pada akhirnya adalah sebuah diskusi panjang tentang mantagi kepemimpinan. Soal siapa yang layak dan patut mengemban amanah Tuah Sakato. Gadang buayo di kualo, gadang garundang di kubangan, samuik barajo di liangnyo.
Di akhir halusinasi, saya hanya bisa mereka-reka. Siapakah sosok yang bisa meyakinkan para Cagub-Cawagub untuk merumuskan bersama-sama masa depan Sumatera Barat? Atau Cagub-Cawagub nomor urut berapa yang punya inisiatif menggagas duduak basamo memformulasikan tuah sakato masa depan Sumatera Barat? Antahlah yuang! Wallahu a’lam bish-shawabi.
Padang, 22 Oktober 2020