Padang (ANTARA) - Suara organ tunggal terdengar sayup-sayup berdengkang-dengkang di pinggiran Kota Padang, Sumatera Barat, siang itu di Bulan September 2020.
Organ tunggal adalah jenis hiburan musik yang jamak digunakan pada pesta "baralek" atau pernikahan di pinggiran kota di Sumbar. Tata suaranya memang relatif di bawah rata-rata. Serak-serak pecah, harga "murah meriah". Jadi tidak masalahlah, yang penting meriah.
Pada hari biasa, pesta pernikahan adalah kebahagiaan. Perayaan bagi sejoli yang jadi raja sehari. Saudara dari rantau pulang, handai tolan datang membawa kado dan doa ucapan. Sungguh ramai, sungguh membahagiakan.
Tapi September 2020 bukan bulan biasa. Sejak pandemi COVID-19 di Sumbar diidentifikasi pertama kali di Bukittinggi pada Maret 2020, pada Septemberlah "ledakan" kasus positif virus corona jenis baru itu terjadi.
Pada awal-awal September, jumlah kasus positif yang terkonfirmasi melebihi angka 50 per hari. Itu rekor tertinggi harian di Sumbar.
Menjelang pertengahan September 2020, jumlah kasus positif harian makin "menggila", melebihi 100 kasus sehari. Lalu pada akhir September angka kasus positif harian di provinsi itu kembali pecah rekor, pernah mencapai 300-an orang dalam sehari.
Mengganas. Kata itu mungkin yang paling tepat disematkan pada kondisi Sumbar saat ini. Dalam kondisi itu, apakah "baralek", pesta pernikahan masih akan berakhir bahagia atau malah duka?
Kasus di Kabupaten Agam seharusnya bisa menjadi contoh. Pada 1 September 2020, dalam satu hari bertambah 33 pasien positif COVID-19 dari pesta pernikahan.
Pemerintah Kabupaten Agam mengambil tindakan tegas dengan melarang diadakan pesta pernikahan hingga kondisi benar-benar stabil kembali. Larangan itu atas dasar instruksi bupati. Tim gabungan akan turun untuk membubarkan pesta jika ada juga yang nekat menggelar "baralek".
Tindakan tegas itu tidak terjadi di Padang. Pesta pernikahan terkesan dibiarkan. Padahal Padang adalah daerah paling parah terpapar COVID-19 di Sumbar. Daerah itu, hampir selalu berada di status zona merah. Seharusnya, bila bicara logika, Padanglah yang paling tegas untuk melarang keramaian seperti itu.
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menilai larangan pesta pernikahan di Kota Padang bak buah simalakama. Dilakukan salah, tak dilakukan salah juga.
Padang yang memiliki puluhan hotel yang menyediakan ruang pertemuan dengan jaminan pelaksanaan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 secara ketat, tentu bisa melaksanakan kegiatan keramaian sesuai syarat, antara lain menggunakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak.
Irwan mengatakan pemerintah tidak bisa melarang jika pesta pernikahan itu bisa menjamin pelaksanaannya taat protokol kesehatan. Pesta pernikahan di hotel, bisa menjamin hal itu.
Persoalannya memang di daerah pinggiran. Ia mengakui lemahnya pengawasan Kota Padang terhadap pelaksanaan pesta pernikahan di rumah-rumah warga, yang mengundang saudara dari kota bahkan provinsi lain.
Pesta pernikahan bukan satu-satunya potensi klaster penularan virus di Padang. Pasar Raya juga. Klaster pasar itu bahkan pernah menjadi yang terbesar di Sumbar dan paling luas penyebarannya.
Masyarakat yang tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan menjadi penyebab utama tingginya penyebaran COVID-19, tidak hanya di Kota Padang, tetapi di Sumbar.
Akibatnya, korban terus berjatuhan. Hingga 1 Oktober 2020 tercatat 6.468 warga Sumbar telah terpapar virus dengan 131 (2,03 persen) kematian.
Korban COVID-19 itu tidak hanya masyarakat dan pejabat, tetapi juga tenaga kesehatan yang merupakan benteng pertahanan terakhir dalam penanganan pasien virus di masa pandemi.
Instalasi gawat darurat (IGD) pada sejumlah rumah sakit (RS) bahkan terpaksa menutup pelayanan karena ada petugas kesehatan yang positif terpapar COVID-19.
Tanpa pelayanan RS, ke mana masyarakat bisa mengadu jika terjadi kondisi darurat yang butuh penanganan cepat? Begitu benar gawatnya kondisi.
Gubernur Irwan Prayitno terpaksa mengeluarkan edaran tertanggal 15 September agar tidak ada rumah sakit yang tutup meski ada petugas kesehatan terpapar COVID-19. Harus dicarikan solusi lain, sementara pelayanan kesehatan harus tetap jalan.
Ironisnya kondisi yang kian parah dengan angka statistik yang "mengerikan" itu malah memberikan efek terbalik pada sebagian masyarakat.
Muncul ketidakpercayaan terhadap bahaya COVID-19. Bahkan berita kredibel dari berbagai media arus utama tentang COVID-19 malah menjadi ajang perundungan habis-habisan di media sosial.
Ketidakpercayaan pada COVID-19 yang telah "membunuh" 131 orang per 1 Oktober 2020 di Sumbar itulah yang tercermin dalam perilaku harian masyarakat. Sebagian kerap tidak mengindahkan protokol kesehatan, tidak pakai masker, jarang cuci tangan, dan tidak peduli jaga jarak.
Mereka yang abai itu bisa dengan mudah ditemukan di tempat-tempat umum, seperti pasar, tempat wisata, dan kedai-kedai harian tempat ibu-ibu mencari kebutuhan dapur.
Sungguh terasa ngeri membayangkan kalau misalnya seorang di antaranya ternyata positif COVID-19 namun tanpa gejala (OTG). Akan berapakah korban berjatuhan?
Perda tentang penanganan COVID-19 menjadi ujung tombak penegakan protokol kesehatan.
Perda COVID-19 atau di Sumbar dinamai Perda Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) dalam Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 diketok palu oleh DPRD Sumbar pada 11 September 2020. Pembahasannya supercepat, hanya sembilan hari bisa rampung.
Ketua Pansus Perda AKB, Hidayat, menyebut meski pembahasann supercepat, hal itu telah mengacu pada aturan dan mengakomodasi semua masukan dari berbagai pihak, termasuk mempertimbangkan kondisi Kepulauan Mentawai.
Perda itu kemudian mendapatkan registrasi 6-124/2020 dari Kementerian Dalam Negeri dan diundangkan dalam Lembaran Daerah 2020 Nomor 6 pada 30 September 2020.
Juru Bicara COVID-19 Sumbar, Jasman, mengatakan Perda Nomor 6 Tahun 2020 tentang AKB itu sudah efektif berlaku sejak diundangkan. Artinya, sanksi terhadap masyarakat yang tidak taat aturan bisa diberlakukan.
Sanksi itu termuat dalam BAB X Ketentuan Pidana pada pasal 101. Ayat 1, setiap orang yang melanggar kewajiban menggunakan masker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d angka 2 dipidana dengan kurungan paling lama dua hari atau denda paling banyak Rp250.000.
Ayat 2, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali, sedangkan ayat 3, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 102 ayat 1, setiap penanggung jawab kegiatan/usaha yang melanggar kewajiban penerapan perilaku disiplin protokol kesehatan dalam melaksanakan kegiatan/usaha dan aktivitas lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dipidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp15.000.000, ayat 2, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali, sedangkan ayat 3, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Perda dengan sanksi tegas itu solusi untuk kebaikan bersama. Percaya atau tidak percaya COVID-19, semua kalangan masyarakat menaati protokol kesehatan.
Kini tinggal menunggu tuah dari perda itu. Apakah disiplin yang terbangun dengan aturan serta kemampuan penelusuran dan pengetesan di Sumbar yang sudah diakui secara nasional akan mampu menekan angka penyebaran COVID-19 di Sumbar?
Organ tunggal adalah jenis hiburan musik yang jamak digunakan pada pesta "baralek" atau pernikahan di pinggiran kota di Sumbar. Tata suaranya memang relatif di bawah rata-rata. Serak-serak pecah, harga "murah meriah". Jadi tidak masalahlah, yang penting meriah.
Pada hari biasa, pesta pernikahan adalah kebahagiaan. Perayaan bagi sejoli yang jadi raja sehari. Saudara dari rantau pulang, handai tolan datang membawa kado dan doa ucapan. Sungguh ramai, sungguh membahagiakan.
Tapi September 2020 bukan bulan biasa. Sejak pandemi COVID-19 di Sumbar diidentifikasi pertama kali di Bukittinggi pada Maret 2020, pada Septemberlah "ledakan" kasus positif virus corona jenis baru itu terjadi.
Pada awal-awal September, jumlah kasus positif yang terkonfirmasi melebihi angka 50 per hari. Itu rekor tertinggi harian di Sumbar.
Menjelang pertengahan September 2020, jumlah kasus positif harian makin "menggila", melebihi 100 kasus sehari. Lalu pada akhir September angka kasus positif harian di provinsi itu kembali pecah rekor, pernah mencapai 300-an orang dalam sehari.
Mengganas. Kata itu mungkin yang paling tepat disematkan pada kondisi Sumbar saat ini. Dalam kondisi itu, apakah "baralek", pesta pernikahan masih akan berakhir bahagia atau malah duka?
Kasus di Kabupaten Agam seharusnya bisa menjadi contoh. Pada 1 September 2020, dalam satu hari bertambah 33 pasien positif COVID-19 dari pesta pernikahan.
Pemerintah Kabupaten Agam mengambil tindakan tegas dengan melarang diadakan pesta pernikahan hingga kondisi benar-benar stabil kembali. Larangan itu atas dasar instruksi bupati. Tim gabungan akan turun untuk membubarkan pesta jika ada juga yang nekat menggelar "baralek".
Tindakan tegas itu tidak terjadi di Padang. Pesta pernikahan terkesan dibiarkan. Padahal Padang adalah daerah paling parah terpapar COVID-19 di Sumbar. Daerah itu, hampir selalu berada di status zona merah. Seharusnya, bila bicara logika, Padanglah yang paling tegas untuk melarang keramaian seperti itu.
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menilai larangan pesta pernikahan di Kota Padang bak buah simalakama. Dilakukan salah, tak dilakukan salah juga.
Padang yang memiliki puluhan hotel yang menyediakan ruang pertemuan dengan jaminan pelaksanaan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 secara ketat, tentu bisa melaksanakan kegiatan keramaian sesuai syarat, antara lain menggunakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak.
Irwan mengatakan pemerintah tidak bisa melarang jika pesta pernikahan itu bisa menjamin pelaksanaannya taat protokol kesehatan. Pesta pernikahan di hotel, bisa menjamin hal itu.
Persoalannya memang di daerah pinggiran. Ia mengakui lemahnya pengawasan Kota Padang terhadap pelaksanaan pesta pernikahan di rumah-rumah warga, yang mengundang saudara dari kota bahkan provinsi lain.
Pesta pernikahan bukan satu-satunya potensi klaster penularan virus di Padang. Pasar Raya juga. Klaster pasar itu bahkan pernah menjadi yang terbesar di Sumbar dan paling luas penyebarannya.
Masyarakat yang tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan menjadi penyebab utama tingginya penyebaran COVID-19, tidak hanya di Kota Padang, tetapi di Sumbar.
Akibatnya, korban terus berjatuhan. Hingga 1 Oktober 2020 tercatat 6.468 warga Sumbar telah terpapar virus dengan 131 (2,03 persen) kematian.
Korban COVID-19 itu tidak hanya masyarakat dan pejabat, tetapi juga tenaga kesehatan yang merupakan benteng pertahanan terakhir dalam penanganan pasien virus di masa pandemi.
Instalasi gawat darurat (IGD) pada sejumlah rumah sakit (RS) bahkan terpaksa menutup pelayanan karena ada petugas kesehatan yang positif terpapar COVID-19.
Tanpa pelayanan RS, ke mana masyarakat bisa mengadu jika terjadi kondisi darurat yang butuh penanganan cepat? Begitu benar gawatnya kondisi.
Gubernur Irwan Prayitno terpaksa mengeluarkan edaran tertanggal 15 September agar tidak ada rumah sakit yang tutup meski ada petugas kesehatan terpapar COVID-19. Harus dicarikan solusi lain, sementara pelayanan kesehatan harus tetap jalan.
Ironisnya kondisi yang kian parah dengan angka statistik yang "mengerikan" itu malah memberikan efek terbalik pada sebagian masyarakat.
Muncul ketidakpercayaan terhadap bahaya COVID-19. Bahkan berita kredibel dari berbagai media arus utama tentang COVID-19 malah menjadi ajang perundungan habis-habisan di media sosial.
Ketidakpercayaan pada COVID-19 yang telah "membunuh" 131 orang per 1 Oktober 2020 di Sumbar itulah yang tercermin dalam perilaku harian masyarakat. Sebagian kerap tidak mengindahkan protokol kesehatan, tidak pakai masker, jarang cuci tangan, dan tidak peduli jaga jarak.
Mereka yang abai itu bisa dengan mudah ditemukan di tempat-tempat umum, seperti pasar, tempat wisata, dan kedai-kedai harian tempat ibu-ibu mencari kebutuhan dapur.
Sungguh terasa ngeri membayangkan kalau misalnya seorang di antaranya ternyata positif COVID-19 namun tanpa gejala (OTG). Akan berapakah korban berjatuhan?
Perda tentang penanganan COVID-19 menjadi ujung tombak penegakan protokol kesehatan.
Perda COVID-19 atau di Sumbar dinamai Perda Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) dalam Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 diketok palu oleh DPRD Sumbar pada 11 September 2020. Pembahasannya supercepat, hanya sembilan hari bisa rampung.
Ketua Pansus Perda AKB, Hidayat, menyebut meski pembahasann supercepat, hal itu telah mengacu pada aturan dan mengakomodasi semua masukan dari berbagai pihak, termasuk mempertimbangkan kondisi Kepulauan Mentawai.
Perda itu kemudian mendapatkan registrasi 6-124/2020 dari Kementerian Dalam Negeri dan diundangkan dalam Lembaran Daerah 2020 Nomor 6 pada 30 September 2020.
Juru Bicara COVID-19 Sumbar, Jasman, mengatakan Perda Nomor 6 Tahun 2020 tentang AKB itu sudah efektif berlaku sejak diundangkan. Artinya, sanksi terhadap masyarakat yang tidak taat aturan bisa diberlakukan.
Sanksi itu termuat dalam BAB X Ketentuan Pidana pada pasal 101. Ayat 1, setiap orang yang melanggar kewajiban menggunakan masker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d angka 2 dipidana dengan kurungan paling lama dua hari atau denda paling banyak Rp250.000.
Ayat 2, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali, sedangkan ayat 3, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 102 ayat 1, setiap penanggung jawab kegiatan/usaha yang melanggar kewajiban penerapan perilaku disiplin protokol kesehatan dalam melaksanakan kegiatan/usaha dan aktivitas lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dipidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp15.000.000, ayat 2, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali, sedangkan ayat 3, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Perda dengan sanksi tegas itu solusi untuk kebaikan bersama. Percaya atau tidak percaya COVID-19, semua kalangan masyarakat menaati protokol kesehatan.
Kini tinggal menunggu tuah dari perda itu. Apakah disiplin yang terbangun dengan aturan serta kemampuan penelusuran dan pengetesan di Sumbar yang sudah diakui secara nasional akan mampu menekan angka penyebaran COVID-19 di Sumbar?