Jakarta, (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro mendorong berbagai langkah-langkah komprehensif dan praktik terbaik untuk mewujudkan bahan bakar nabati Indonesia berbasis sawit untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
"Alih-alih bergantung pada bahan bakar fosil, Indonesia perlu mencapai bahan bakar ramah lingkungan secara bertahap dan kami berharap produksi minyak sawit dari petani skala kecil ini dapat menjadi kunci sumber energi terbarukan ini," kata Menristek Bambang dalam seminar virtual Indonesia-Brasil tentang Pengembangan Bahan Bakar Nabati: Pembelajaran dari Pengembangan Bahan Bakar Nabati Berbasis Bioetanol Brasil, Jakarta, Rabu.
Melalui seminar tersebut, Indonesia bisa belajar dari Brasil untuk pengembangan bahan bakar nabati termasuk skema penetapan harga, regulasi, dukungan riset, pengembangan, dan inovasi.
Menristek/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang mengatakan Indonesia sangat berharap bisa mewujudkan bahan bakar nabati tersebut untuk menggantikan bahan bakar fosil, tentunya dimulai secara bertahap dari skala percontohan hingga akhirnya bisa memiliki pasar yang lebih luas di dalam negeri.
Pengembangan bahan bakar nabati/biofuel memerlukan skenario regulasi, insentif dan pendanaan yang sesuai.
"Semoga bisa menjadi bahan bakar 'mainstream' (utama) kita di masa depan," tutur Menristek Bambang.
Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil di mana porsi saat ini adalah sekitar 90-an persen dari total energi di Indonesia, sementara energi terbarukan hanya sekitar sembilan persen. Tentu saja itu tidak bersifat berkelanjutan sehingga Indonesia perlu mengembangkan energi alternatif dari sumber bahan bakar terbarukan yakni bahan bakar nabati.
Indonesia telah menjadi net oil importer sejak 2014. Produksi minyak bumi di Indonesia hanya sebanyak 808.000 barel per hari, tapi konsumsi jauh lebih besar yakni 1.790.000 barel per hari.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat mendorong inovasi bahan bakar nabati biohidrocarbon sebagai solusi pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan bakar dalam negeri yang sejak 2014 mencapai 1.790.000 barrel per hari.
Keberhasilan Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menguji coba produksi green diesel D100 dari Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) kelapa sawit berkapasitas 1.000 barel perhari di Kilang Pertamina Dumai telah memberi secercah harapan akan bangkitnya kemandirian energi terbarukan di Indonesia.
Selain bahan bakar biohidrocarbon berbasis sawit akan berperan dalam substitusi impor, bahan bakar itu juga memberi peluang pemberdayaan korporatisasi petani sawit rakyat dalam industrialisasi IVO (bahan baku biohidrokarbon) dan kilang-kilang bahan bakar biohidrocarbon "stand alone" kecil-kecil terintegrasi dengan kebun sawit yang tentunya akan meningkatkan kesejahteraan hidup para petani sawit rakyat.
Bahan bakar nabati biohidrokarbon berbasis sawit merupakan komoditas sumber daya alam terbarukan yang di Indonesia potensi jumlahnya berlimpah. (*)
"Alih-alih bergantung pada bahan bakar fosil, Indonesia perlu mencapai bahan bakar ramah lingkungan secara bertahap dan kami berharap produksi minyak sawit dari petani skala kecil ini dapat menjadi kunci sumber energi terbarukan ini," kata Menristek Bambang dalam seminar virtual Indonesia-Brasil tentang Pengembangan Bahan Bakar Nabati: Pembelajaran dari Pengembangan Bahan Bakar Nabati Berbasis Bioetanol Brasil, Jakarta, Rabu.
Melalui seminar tersebut, Indonesia bisa belajar dari Brasil untuk pengembangan bahan bakar nabati termasuk skema penetapan harga, regulasi, dukungan riset, pengembangan, dan inovasi.
Menristek/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang mengatakan Indonesia sangat berharap bisa mewujudkan bahan bakar nabati tersebut untuk menggantikan bahan bakar fosil, tentunya dimulai secara bertahap dari skala percontohan hingga akhirnya bisa memiliki pasar yang lebih luas di dalam negeri.
Pengembangan bahan bakar nabati/biofuel memerlukan skenario regulasi, insentif dan pendanaan yang sesuai.
"Semoga bisa menjadi bahan bakar 'mainstream' (utama) kita di masa depan," tutur Menristek Bambang.
Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil di mana porsi saat ini adalah sekitar 90-an persen dari total energi di Indonesia, sementara energi terbarukan hanya sekitar sembilan persen. Tentu saja itu tidak bersifat berkelanjutan sehingga Indonesia perlu mengembangkan energi alternatif dari sumber bahan bakar terbarukan yakni bahan bakar nabati.
Indonesia telah menjadi net oil importer sejak 2014. Produksi minyak bumi di Indonesia hanya sebanyak 808.000 barel per hari, tapi konsumsi jauh lebih besar yakni 1.790.000 barel per hari.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat mendorong inovasi bahan bakar nabati biohidrocarbon sebagai solusi pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan bakar dalam negeri yang sejak 2014 mencapai 1.790.000 barrel per hari.
Keberhasilan Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menguji coba produksi green diesel D100 dari Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) kelapa sawit berkapasitas 1.000 barel perhari di Kilang Pertamina Dumai telah memberi secercah harapan akan bangkitnya kemandirian energi terbarukan di Indonesia.
Selain bahan bakar biohidrocarbon berbasis sawit akan berperan dalam substitusi impor, bahan bakar itu juga memberi peluang pemberdayaan korporatisasi petani sawit rakyat dalam industrialisasi IVO (bahan baku biohidrokarbon) dan kilang-kilang bahan bakar biohidrocarbon "stand alone" kecil-kecil terintegrasi dengan kebun sawit yang tentunya akan meningkatkan kesejahteraan hidup para petani sawit rakyat.
Bahan bakar nabati biohidrokarbon berbasis sawit merupakan komoditas sumber daya alam terbarukan yang di Indonesia potensi jumlahnya berlimpah. (*)