Los Angeles (ANTARA) - George Floyd, seorang warga kulit hitam yang tewas setelah disiksa polisi Minneapolis, Minnesota, AS, teruji positif COVID-19 berdasarkan hasil otopsi, namun infeksi virus corona itu tidak menjadi penyebab kematiannya.
Fakta tersebut tercantum dalam laporan setebal 20 halaman penuh yang dibuka kepada publik oleh Kantor Pengujian Medis Wilayah Hennepin pada Rabu.
Sebagai catatan di dalam laporan tersebut, dituliskan bahwa sampel cairan tenggorokan dari jenazah Floyd kembali teruji positif COVID-19, setelah ia teruji positif pada 3 April atau hampir delapan pekan sebelum kematiannya.
Kepala penguji medis Hennepin, dr. Andrew Baker, menyimpulkan bahwa hasil uji postmortem "cenderung menunjukkan status positif tanpa gejala dari infeksi yang terjadi sebelumnya."
Tidak ada indikasi dalam laporan otopsi yang menyebut infeksi virus corona berperan dalam kematian Floyd.
Sementara itu, dr. Michael Baden, salah satu dari dua penguji medis yang melakukan otopsi mandiri pada jenazah Floyd atas permintaan keluarga, mengaku kepada media New York Times bahwa petugas medis Hennepin tidak pernah memberitahu dia maupun petugas pemakaman tentang Floyd yang terjangkit virus corona.
Laporan tersebut juga memuat pernyataan resmi bahwa penyebab kematian Floyd adalah henti jantung (cardiopulmonary arrest) ketika lehernya ditindih oleh pelaku.
Petugas yang berwenang menyatakan bahwa dengan penyebab kematian tersebut, kasus tewasnya Floyd adalah pembunuhan. Empat polisi yang telah dipecat akibat peristiwa penangkapan berujung kematian itu, dengan Derek Chauvin--petugas yang menindih leher Floyd--telah menjadi tersangka.
Dalam video yang beredar luas di internet, Chauvin terus menindih leher Floyd menggunakan kakinya selama hampir sembilan menit, padahal korban berusia 46 tahun itu berulang kali mengatakan "tolong, saya tidak bisa bernapas" ("please, I can't breathe"--yang kemudian diusung dalam aksi protes besar-besaran anti rasisme di AS setelah peristiwa itu).
Dalam laporan yang sama juga tertulis beberapa faktor tambahan sebagai "syarat penting" bagi kematian Floyd, di antaranya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan mabuk obat dari penggunaan obat keras pereda nyeri "fentanyl", serta konsumsi metamfetamin.
Sumber: Reuters
Fakta tersebut tercantum dalam laporan setebal 20 halaman penuh yang dibuka kepada publik oleh Kantor Pengujian Medis Wilayah Hennepin pada Rabu.
Sebagai catatan di dalam laporan tersebut, dituliskan bahwa sampel cairan tenggorokan dari jenazah Floyd kembali teruji positif COVID-19, setelah ia teruji positif pada 3 April atau hampir delapan pekan sebelum kematiannya.
Kepala penguji medis Hennepin, dr. Andrew Baker, menyimpulkan bahwa hasil uji postmortem "cenderung menunjukkan status positif tanpa gejala dari infeksi yang terjadi sebelumnya."
Tidak ada indikasi dalam laporan otopsi yang menyebut infeksi virus corona berperan dalam kematian Floyd.
Sementara itu, dr. Michael Baden, salah satu dari dua penguji medis yang melakukan otopsi mandiri pada jenazah Floyd atas permintaan keluarga, mengaku kepada media New York Times bahwa petugas medis Hennepin tidak pernah memberitahu dia maupun petugas pemakaman tentang Floyd yang terjangkit virus corona.
Laporan tersebut juga memuat pernyataan resmi bahwa penyebab kematian Floyd adalah henti jantung (cardiopulmonary arrest) ketika lehernya ditindih oleh pelaku.
Petugas yang berwenang menyatakan bahwa dengan penyebab kematian tersebut, kasus tewasnya Floyd adalah pembunuhan. Empat polisi yang telah dipecat akibat peristiwa penangkapan berujung kematian itu, dengan Derek Chauvin--petugas yang menindih leher Floyd--telah menjadi tersangka.
Dalam video yang beredar luas di internet, Chauvin terus menindih leher Floyd menggunakan kakinya selama hampir sembilan menit, padahal korban berusia 46 tahun itu berulang kali mengatakan "tolong, saya tidak bisa bernapas" ("please, I can't breathe"--yang kemudian diusung dalam aksi protes besar-besaran anti rasisme di AS setelah peristiwa itu).
Dalam laporan yang sama juga tertulis beberapa faktor tambahan sebagai "syarat penting" bagi kematian Floyd, di antaranya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan mabuk obat dari penggunaan obat keras pereda nyeri "fentanyl", serta konsumsi metamfetamin.
Sumber: Reuters