Jakarta (ANTARA) - Film animasi di Indonesia diawali dari iklan kampanye bermuatan politis berjudul "Si Doel Memilih" (1955) karya Dukut Hendronoto yang sebelumnya dikirim Presiden RI saat itu Soekarno untuk belajar animasi di Walt Disney, Amerika Serikat.

Pada era 1970-an, muncul studio animasi Anima Indah yang dibuat oleh seniman Amerika Luqman Lateef. Studio ini salah satu pelopor animasi di Indonesia, para stafnya disekolahkan hingga ke Inggris, Jepang dan Amerika. 

Kala itu, ada juga animasi karya Drs Suyadi yang lebih dikenal sebagai Pak Raden dari Si Unyil, seperti "Timun Mas", "Trondolo" dan "Batu Setahun".

Iklan animasi pun hadir di TVRI dalam program "Mana Suka Siaran Niaga".
 

Pada 1983, TVRI menayangkan animasi "Si Huma" yang dibuat Perum Produksi Film Negara dibantu oleh UNICEF. Ini adalah film animasi pertama di Indonesia yang tayang di siaran televisi.

Animasi yang awalnya dibuat sebagai media propaganda mulai berkembang menjadi media hiburan semenjak TV swasta mulai bermunculan di Tanah Air. Animasi tiga dimensi juga semakin berkembang.

Pada era 1990-an, penonton bisa menyaksikan serial kartun "Satria Nusantara" di TPI hingga film "Petualangan Si Kancil".

Satu dekade kemudian, film animasi tiga dimensi juga ditayangkan di layar lebar. "Janus Prajurit Terakhir" (2003) dari sutradara Chandra Endoputro yang turut dibintangi Derby Romero serta Alyssa Soebandono ini memadukan animasi dengan live shot.
 

Karakter pahlawan "Hebring" dengan konsep animasi full tiga dimensi dari Marlin Sugama dan Andi Martin hadir pada 2007. Pahlawan super yang artinya "hebat" dalam bahasa gaul ala Sunda ini mendapat penghargaan dalam ASEAN Character Award pada 2014.

Setelah itu, banyak film bermunculan seperti animasi tiga dimensi musikal "Meraih Mimpi" (2009), animasi dua dimensi "Battle of Surabaya" (2015) yang memboyong banyak penghargaan di mancanegara, salah satunya Best Animation di Hollywood International Motion Pictures Film Festival 2018.

Kemudian hadir pula karakter ikonik Si Unyil hadir kembali dalam bentuk animasi tiga dimensi dengan judul "Petualangan Si Unyil" pada 2017, film petualangan mencari keris "Knight Kris" serta "Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir".

Bagian dari ekosistem

Bila dilihat lebih seksama, sebetulnya film animasi adalah bagian dari ekosistem industri lain, game dan merchandise atau pernak-pernik. Sumber penghasilan utama dari animasi bisa hadir dari tempat lain.

Agar semua bisnis turunan ini sukses, sebuah karakter harus punya merek yang kuat di mata konsumen.

Ketika orang-orang telah mengenal dan jatuh cinta pada sebuah karakter yang mereka lihat di komik, mereka akan bersemangat menonton tokoh kesukaannya di televisi dan layar lebar, atau tertarik membeli barang-barang yang dihiasi karakter favoritnya.

"Animasi itu bisa bergerak bebas," kata Deputi Pendidikan Asosiasi Industri Animasi Indonesia (AINAKI) Deddy Syamsudin.

"Bisa masuk ke merchandise, bisa masuk ke komik, jadi boneka, dan sebagainya. Film yang masuk bioskop hanya mercusuar, untuk mengatakan 'kita sudah sampai ke sana'. Kalau jadi box office, Alhamdulillah."
 

Komik "Sailor Moon" misalnya. Karya Naoko Takeuchi diadaptasi menjadi video game, serial animasi, film animasi hingga menjadi serial live action.

Petualangan Usagi Tsukino dan prajurit planet lainnya melawan kejahatan juga bisa ditonton dalam bentuk pentas teater musikal. Bisnis turunan yang teranyar dari Sailor Moon adalah restoran bernama Shining Moon Tokyo.





Restoran yang dibuka pada 2019 ini menyajikan hidangan terinspirasi tokoh dan cerita karya Naoko Takeuchi. Pengunjung juga bisa menyaksikan pentas Sailor Moon di restoran tersebut.

Strategi untuk memperkuat merek sebuah karakter dengan cerita menarik sebelum dilahirkan dalam medium baru di layar lebar telah diterapkan di Jepang.
 

Kepala Program Animasi Binus University itu mengatakan animasi "Si Juki" juga menerapkan strategi serupa. Karakter buatan Faza Meonk ini telah berseliweran di dunia maya dan toko buku selama beberapa tahun sebelum akhirnya muncul di layar lebar.

Perkecualian untuk film animasi dari Amerika Serikat yang punya kucuran dana besar. Produsen bisa langsung membuat film dengan dukungan dana promosi jor-joran untuk menarik minat konsumen.

"Kalau langsung dibuat film, yang sukses itu Hollywood, saking hebatnya duit yang dimiliki, promosinya besar-besaran."

Kualitas film animasi tak bisa menjamin kesuksesan tanpa disokong dengan kekuatan merek dan promosi yang gencar.

Sebagus apapun kualitas film animasi, tanpa merek karakter yang kuat atau promosi gencar, kesuksesannya tak bisa dijamin. Patung gundam (Shutterstock)

Fadjar Ibnu Thufail, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mengkaji animasi Jepang, memberi contoh kesuksesan serial animasi robot Gundam.

"Awalnya Gundam enggak laku, pas keluar (mainan) Gunpla, mulai naik (popularitas)."

Di Negeri Sakura, pembuatan film animasi akan melibatkan komite yang punya banyak tugas. Banyak pihak yang dilibatkan, bukan cuma studio animasi yang membuat film. Ada tim yang harus memasarkan DVD hingga mengurus soal merchandise.

Semua diserahkan kepada yang punya kemampuan. Gundam pun menyerahkan urusan Gunpla kepada perusahaan mainan Bandai. Ekosistem seperti itu belum dimiliki Indonesia, lanjut Fadjar.

Film animasi bukan cuma sekadar hiburan, dia juga media promosi untuk lini bisnis game dan merchandsie, kata Daryl Wilson, CEO Kumata Studio yang membuat film "Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir". Sayangnya tak semua investor memahami hal itu.

"Kalau enggak tahu bisnis turunannya itu game, licensing, merchandise, investor jadi tidak menyiapkan bisnis lainnya," ujar Daryl yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Industri Animasi dan Kreatif Indonesia (AINAKI).

Ketidakpahaman ini membuat film-film animasi yang berkualitas jadi tak kasat mata karena promosi melempem.

Kurikulum

Sumber daya manusia untuk dunia animasi dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan industri lokal. Tetapi, tak semuanya begitu lulus langsung siap untuk bekerja.

"Sudah banyak SMK di Indonesia, ada 170 lebih jurusan animasi atau multimedia. Kalau dihitung, kurang lebih dari 10.000 lulusan tiap tahun. Masalahnya, 10 persen saja yang siap bekerja," kata Daryl.

Sistem pendidikan membuat murid-murid SMK harus belajar A-Z tentang animasi atau multimedia. Saking banyaknya yang harus dipahami, mereka jadi kebingungan bagaimana cara masuk ke dalam industri tersebut.

Orang-orang yang tak piawai menggambar juga jadi ciut karena menganggap animator harus pintar menggambar. Padahal, ada macam-macam pekerjaan dalam produksi animasi.

"Ada 84 profesi yang terlibat di animasi. Orang salah kaprah, disangka animator itu yang membuat semua animasi. Padahal membuat animasi seperti bikin film, banyak kru, kerja tim, masing-masing punya tugas," jelas dia.

Sebagai bentuk inisiatif, Kumata Studio bekerjasama dengan sekolah dan kampus untuk membuat lokakarya agar siswa punya bekal lebih banyak sebelum terjun ke dunia kerja. Siswa magang juga disambut dengan tangan terbuka, bahkan didorong untuk menjalaninya lebih lama agar mereka lebih siap masuk dunia kerja.

Siswa dari yang memberikan program magang selama lebih dari enam bulan bisa memetik manfaat lebih untuk belajar lebih dalam tentang industri. Bila dianggap berpotensi, bukan tak mungkin mereka sudah dapat jaminan kerja meski lulus sekolah.

"Program magang itu penting buat sekolah karena mereka benaran merasakan bagaimana masuk ke industri."

Soal pendidikan, Deddy mengutip perkataan animator John Lasseter yang pernah bekerja di studio Pixar. "The art challenges the technology, and the technology inspires the art".

Menurut Deddy, teknologi dan seni saling mendukung satu sama lain. Pekerja seni di luar negeri didukung oleh teknologi untuk menghasilkan karya yang membuat penonton tercekat. Keduanya harus berjalan bersama. Tetapi apa yang dibutuhkan para animator belum masuk dalam kurikulum siswa-siswa ilmu komputer.

"Orientasi pembelajarannya coding ke area infrastruktur, perbankan. Bukan ke grafis, sementara bahasa visual itu bahasa komputer grafis."

Di luar tantangan yang dihadapi industri animasi, harapan besar terbentang di masa depan.

Indonesia punya banyak cerita rakyat dan Intellectual property (IP) lama maupun baru yang bisa diangkat menjadi animasi.

Hadirnya media tayang baru di platform streaming dan YouTube menciptakan permintaan besar untuk industri animasi.

"Lima tahun terakhir perkembangannya pesat. Dulu, mencari pekerjaan animasi itu susahnya minta ampun. Kalau enggak dari iklan, bumper opening acara TV atau company profile, itu juga animasinya cuma logo di depan," tutur Daryl yang sudah mendirikan studio sejak 2004.

"Saya percaya 10-15 tahun ke depan ini masih terus naik."
 

Pewarta : Nanien Yuniar
Editor : Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2024