Padang, (ANTARA) - Pada peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-100 tahun 17 Agustus 2045 Indonesia telah menjelma jadi salah satu negara maju dengan kekuatan ekonomi dan sumber daya manusia yang unggul.
Saat itu Produk Domestik Bruto Indonesia menjadi yang terbesar kelima di dunia dengan nilai setara 7,4 triliun dolar Amerika Serikat.
Dengan jumlah penduduk mencapai 319 juta jiwa, sebanyak 223 juta jiwa merupakan kelas menengah atau hampir 70 persen, angka harapan hidup di Tanah Air mencapai 76 tahun.
Ketika itu Indonesia juga menjadi satu kekuatan ekonomi kreatif dan digital terbesar di dunia yang akan mendorong pertumbuhan dan menjadi penggerak ekonomi berbasis inovasi.
Di sektor pariwisata, pada 2045 Indonesia menjadi destinasi unggulan dengan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 74 juta orang per tahun. Sedangkan di sektor pertanian, ketahanan pangan juga terwujud melalui swasembada karbohidrat dan protein.
Indonesia juga ditargetkan terbebas dari kemiskinan akut pada 2040, dengan kesenjangan pendapatan berada di tingkat yang ideal.
Pemerataan daerah juga ditingkatkan dengan mendorong pembangunan di luar Jawa. Peranan kawasan timur Indonesia akan meningkat dari 20 persen di 2015 menjadi 25 persen di 2045.
Selanjutnya, penguatan reformasi birokrasi dilakukan pada seluruh sektor dan bidang. Pembangunan hukum dan pemberantasan korupsi diarahkan pada kesadaran masyarakat berbudaya hukum dan masyarakat anti korupsi.
Itu semua adalah visi Indonesia 2045 menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia yang telah disusun pemerintah dalam dalam rangka mewujudkan Indonesia berdaulat, maju adil dan makmur.
Siapakah yang paling berperan strategis mewujudkan semua itu ? Tentu saja para generasi muda yang saat ini berstatus pelajar yang tengah menuntut ilmu di berbagai jenjang.
Bisakah visi Indonesia 2045 itu terwujud? tentu saja bisa jika para generasi muda tersebut disiapkan dengan baik dari sekarang termasuk dari sisi kesehatan sehingga lahir generasi yang bugar dan produktif.
Namun fakta cukup mengejutkan diungkap oleh Yayasan Lentera Anak yang mencatat jumlah anak perokok di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga harus menjadi perhatian serius banyak pihak jika ingin menikmati bonus demografi.
"Berdasarkan temuan pada 2018 berdasarkan hasil riset kesehatan dasar jumlah anak perokok menjadi 9,1 persen dari total perokok di Tanah Air." kata Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari.
Menurutnya salah satu program kerja pemerintah adalah menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan rokok mengandung zat aditif yang mempengaruhi otak bagian depan.
"Otak bagian depan itu belum berkembang sempurna sampai usia 20 tahun, kalau anak merokok maka mempengaruhi otak bagian depan tersebut sehingga menimbulkan gangguan kognitif dan kemampuan mengambil keputusan," kata dia.
Oleh sebab itu jika anak merokok maka masa pertumbuhannya diganggu oleh nikotin dan bagaimana akan lahir sumber daya manusia yang unggul kalau kemampuan kognitif anak terganggu.
Tidak hanya perokok aktif, ia menyebutkan saat ini terdapat 60 juta anak yang menjadi perokok pasif dengan bahaya yang juga sama dengan perokok aktif.
"Anak-anak tidak berdaya karena bapaknya, omnya dan keluarganya merokok di sekitar mereka sementara asap tersebut cukup berbahaya," ujarnya.
Menurut dia kalau seandainya anak perokok dibiarkan saja dan tidak dilakukan tindakan apapun baik pencegahan maupun perlindungan maka 2030 akan naik jadi 15,90 persen jumlahnya.
"Artinya kita akan gagal mendapatkan bonus demografi karena anak-anak yang sekarang akan jadi manusia produktif mengalami sakit karena dampak rokok sehingga tidak bisa lagi menjadi sumber daya manusia yang berkualitas," katanya.
Sejalan dengan itu hasil penelitian yang diungkap Lembaga Swadaya Masyarakat Ruang Anak Dunia (Ruandu) Foundation di Kota Padang pada 2015 hampir 70 persen sekolah yang ada di kota itu berada dalam kepungan iklan rokok.
Beragam iklan rokok yang terpajang melalui spanduk, baliho, hingga videotron seakan menyasar segmen pelajar yang setiap hari lalu lalang di ruang publik dan jalan menuju sekolah.
Iklan tersebut dikemas dengan bahasa yang persuasif untuk membujuk siswa membeli rokok.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada 56 lokasi sekolah di Padang pada Februari hingga Agustus 2015 semua kawasan di sekitar sekolah telah "dikepung" iklan rokok, bahkan hingga ke pinggir kota.
"Lebih miris ada iklan rokok yang tertulis Rp2.000 per tiga batang. Itu sama saja menggiring pelajar untuk membeli, mari kita patungan masing-masing Rp1.000, beli lalu hisap bersama," ujar Ketua LSM Ruandu Foundation Muharman
Menurutnya kalau anak-anak dibiarkan merokok, akan mengancam bonus demografi Indonesia 2020 karena saat itu komposisi penduduk Indonesia lebih banyak kalangan muda yang produktif.
"Kalau hari ini anak-anak memutuskan untuk merokok akibat tipu daya iklan, maka pada 2020 Indonesia akan diisi manusia produktif yang tidak kompetitif karena derajat kesehatannya turun," ucapnya.
Yang lebih mengkhawatirkan serbuan iklan yang masif itu akan membuat rokok menjadi isu yang sepele, terutama bagi anak-anak sehingga tidak ada lagi kekhawatiran akan bahayanya, lanjut dia.
Muharman menilai hanya ada dua solusi mengatasi hal ini yaitu pemerintah daerah harus melarang total iklan, promosi dan sponsor rokok, serta komunitas sekolah seperti guru, siswa dan orang tua bergerak bersama agar lingkungan sekolah bebas dari promosi rokok.
"Perlindungan terhadap anak dan remaja dari terpaan iklan rokok tidak cukup hanya dengan larangan iklan di ruang publik saja, namun pelarangan total sebagaimana direkomendasikan badan kesehatan dunia WHO," ujarnya.
Sejalan dengan itu Psikolog dari Universitas Andalas (Unand) Kuswardani meyakini dalam membuat iklan rokok produsen membayar mahal konsultan agar anak masuk dalam jebakan tanpa berpikir bagaimana dampaknya.
"Mereka menggunakan bahasa komunikasi tingkat tinggi yang disiapkan profesional sehingga muncul pesan rokok adalah sesuatu yang biasa, tidak lagi berbahaya, bahkan menjadi hebat," ujar dia.
Para produsen menyampaikan iklan dengan berbagai cara termasuk melalui humor sehingga tersimpan dalam fungsi kognitif.
Kuswardani melihat saat ini masyarakat belum benar-benar anti terhadap rokok, buktinya belum bersikap keras terhadap orang yang merokok.
Kampanye larangan merokok tenggelam oleh iklan rokok sehingga akhirnya bahaya merokok tidak sebanding dengan iklan ajakan merokok, katanya.
Apalagi iklan rokok menggunakan figur terkenal sehingga memberikan "efek positif" terhadap perokok agar nyaman, padahal informasi jauh berbeda dari sisi kesehatan.
Pelarangan Iklan
Menyikapi hal itu pemerintah Kota Padang berinisiatif melarang iklan rokok di ruang publik di kota itu sebagai upaya melindungi anak.
Awalnya Padang sudah memiliki Perda Kawasan Tanpa Rokok yang dikeluarkan pada 2012 dengan Perda yang sudah dibahas sejak 2017, gagal disetujui karena pada paripurna pengesahan yang digelar 27 Desember 2017 mengalami jalan buntu.
Ketika itu dari sembilan fraksi yang ada, tujuh fraksi menolak disahkanya Perda Kawasan Tanpa Rokok dan hanya dua fraksi yang menyetujui.
Sebanyak tujuh fraksi yang menolak, antara lain Golkar, Demokrat, PPP, PDI-Perjuangan, Nasdem, Gerindra, dan Hanura, sedangkan fraksi yang menerima, yaitu PAN dan PKS.
Akibatnya pengambilan putusan harus ditunda sampai waktu yang belum ditentukan sembari menunggu jadwal dari Badan Musyawarah DPRD setempat.
Perda Kawasan Tanpa Rokok di Padang sudah hadir sejak 2012 dan membuahkan tujuh kawasan yang dilarang merokok.
Pada 2017 Pemkot Padang berinisiatif merevisi Perda Kawasan Tanpa Rokok dengan memasukan pasal pelarangan iklan rokok di ruang publik.
Untuk itu, telah dibentuk panitia khusus yang bertugas menghimpun masukan dari berbagai pihak hingga menggelar studi banding ke daerah yang telah menerapkan aturan tersebut.
Revisi tersebut bertujuan melindungi masyarakat dan meningkatkan kualitas kesehatan warga Padang. Salah satu poin yang diatur dalam perda tersebut adalah pelarangan iklan rokok di ruang publik, termasuk aktivitas sales promotion girl.
Ternyata pelarangan iklan rokok tersebut menuai pro dan kontra karena ada sejumlah pihak yang terkena imbas seperti para pengusaha periklanan yang terancam kehilangan pendapatan dari jenis usaha tersebut.
Tidak hanya itu, dari sisi pendapatan asli daerah Kota Padang juga akan berkurang karena salah satu sumber pemasukan adalah pajak iklan rokok yang terpasang lewat baliho, bilboard, hingga videotron.
Akhirnya Akan tetapi saat rapat paripurna pengesahan pada 27 Desember 2017 mengalami jalan buntu dan dari sembilan fraksi yang ada, tujuh fraksi menolak disahkannya Perda Kawasan Tanpa Rokok dan hanya dua fraksi yang menyetujui.
Tujuh fraksi yang menolak antara lain Golkar, Demokrat, PPP, PDIP, Nasdem, Gerindra dan Hanura. Sedangkan fraksi yang menerima yaitu PAN dan PKS.
Wali kota mengatakan pihaknya siap kehilangan pendapatan dari pajak iklan rokok dan saat ini sudah diterapkan dengan dasar hukum peraturan wali kota.
"Walau pun ada potensi kehilangan pendapatan dari pajak iklan rokok, ternyata pada sisi lain pemasukan dari sektor pariwisata malah meningkat," ujarnya.
Mahyeldi menyampaikan supaya masyarakat Padang tahu Perda KTR masih terkatung-katung karena hingga saat ini belum disahkan oleh DPRD Padang.
"Saya tidak tahu apa alasannya, saya tidak mengerti apa yang jadi persoalan, padahal tinggal ketok palu saja," kata dia.
Wali kota memastikan pihaknya juga sudah mengikuti semua aturan yang ada terkait dengan Perda Kawasan Tanpa Rokok.
Kini melalui perwako pelarangan rokok bisa dipastikan tidak ada lagi iklan rokok di ruang publik yang ada di Kota Padang.
Dukungan bersama
Pada September 2019 sebanyak 19 kabupaten dan kota di Sumatera Barat menyatakan komitmen membuat regulasi terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Pengendalian Iklan, Promosi, dan Sponsor (IPS) Rokok, sebagai wujud kepedulian pemerintah daerah dalam memenuhi hak-hak anak, sekaligus aksi nyata melakukan upaya perlindungan anak dari dampak negatif rokok.
“Komitmen ini diharapkan dapat mendorong percepatan untuk mewujudkan kabupaten dan kota layak anak (KLA) di wilayah Sumbar," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumbar Besri Rahmad.
19 kabupaten dan kota yang menyatakan komitmen tersebut yaitu Kabupaten Padang Pariaman, Pasaman,Pasaman Barat, Dharmasraya, Pesisir Selatan, Agam,Tanah Datar, Limapuluh Kota,Sijunjung , Kepulauan Mentawai,Solok, dan Solok Selatan.
Kemudian kota Padang, Bukittinggi, Sawahlunto,Padang panjang, Solok, Pariaman, dan kota Payakumbuh.
Wali Kota Padang Mahyeldi mengatakan jika ingin menjadi Kota Layak Anak maka Padang harus memiliki sistem perlindungan dan pemenuhan hak anak yang holistik dan terintegrasi dari semua sektor pembangunan.
“Pelarangan iklan rokok ini menjadi salah satu bentuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak di daerah,” kata dia.
Ia menyampaikan Pemerintah Kota Padang sejak 2018 melarang iklan rokok di seluruh wilayah kota Padang, dengan tujuan untuk pembangunan karakter dan perlindungan anak dari dampak buruk rokok.
Sementara itu, Kabid Pemenuhan Hak Anak Atas Kesejahteraan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Anita Putri Bungsu mengapresiasi komitmen 19 kabupaten/kota di Sumbar untuk membuat regulasi terkait kawasan tanpa rokok dan Pengendalian iklan promosi dan sponsor rokok.
Menurutnya kebijakan kota layak anak merupakan komitmen Kementerian PPPA dalam melindungi anak dari dampak rokok dengan salah satu indikator KLA 2019 adalah Tersedia Kawasan Tanpa Rokok dan tidak ada Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok.
Ia menambahkan kota layak anak merupakan upaya pemerintahan kota/kabupaten untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.
Ciri kabupaten atau kota yang sudah dapat dikatakan KLA, yaitu yang memiliki sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus yang dilakukan secara terencana, menyeluruh dan berkelanjutan, ujarnya.
Jika semua pihak masih ingin mewujudkan cita-cita Indonesia emas 2045 tidak ada solusi lain kecuali memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini agar Indonesia maju, berdaulat adil dan makmur bisa terwujud. (*)
Saat itu Produk Domestik Bruto Indonesia menjadi yang terbesar kelima di dunia dengan nilai setara 7,4 triliun dolar Amerika Serikat.
Dengan jumlah penduduk mencapai 319 juta jiwa, sebanyak 223 juta jiwa merupakan kelas menengah atau hampir 70 persen, angka harapan hidup di Tanah Air mencapai 76 tahun.
Ketika itu Indonesia juga menjadi satu kekuatan ekonomi kreatif dan digital terbesar di dunia yang akan mendorong pertumbuhan dan menjadi penggerak ekonomi berbasis inovasi.
Di sektor pariwisata, pada 2045 Indonesia menjadi destinasi unggulan dengan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 74 juta orang per tahun. Sedangkan di sektor pertanian, ketahanan pangan juga terwujud melalui swasembada karbohidrat dan protein.
Indonesia juga ditargetkan terbebas dari kemiskinan akut pada 2040, dengan kesenjangan pendapatan berada di tingkat yang ideal.
Pemerataan daerah juga ditingkatkan dengan mendorong pembangunan di luar Jawa. Peranan kawasan timur Indonesia akan meningkat dari 20 persen di 2015 menjadi 25 persen di 2045.
Selanjutnya, penguatan reformasi birokrasi dilakukan pada seluruh sektor dan bidang. Pembangunan hukum dan pemberantasan korupsi diarahkan pada kesadaran masyarakat berbudaya hukum dan masyarakat anti korupsi.
Itu semua adalah visi Indonesia 2045 menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia yang telah disusun pemerintah dalam dalam rangka mewujudkan Indonesia berdaulat, maju adil dan makmur.
Siapakah yang paling berperan strategis mewujudkan semua itu ? Tentu saja para generasi muda yang saat ini berstatus pelajar yang tengah menuntut ilmu di berbagai jenjang.
Bisakah visi Indonesia 2045 itu terwujud? tentu saja bisa jika para generasi muda tersebut disiapkan dengan baik dari sekarang termasuk dari sisi kesehatan sehingga lahir generasi yang bugar dan produktif.
Namun fakta cukup mengejutkan diungkap oleh Yayasan Lentera Anak yang mencatat jumlah anak perokok di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga harus menjadi perhatian serius banyak pihak jika ingin menikmati bonus demografi.
"Berdasarkan temuan pada 2018 berdasarkan hasil riset kesehatan dasar jumlah anak perokok menjadi 9,1 persen dari total perokok di Tanah Air." kata Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari.
Menurutnya salah satu program kerja pemerintah adalah menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan rokok mengandung zat aditif yang mempengaruhi otak bagian depan.
"Otak bagian depan itu belum berkembang sempurna sampai usia 20 tahun, kalau anak merokok maka mempengaruhi otak bagian depan tersebut sehingga menimbulkan gangguan kognitif dan kemampuan mengambil keputusan," kata dia.
Oleh sebab itu jika anak merokok maka masa pertumbuhannya diganggu oleh nikotin dan bagaimana akan lahir sumber daya manusia yang unggul kalau kemampuan kognitif anak terganggu.
Tidak hanya perokok aktif, ia menyebutkan saat ini terdapat 60 juta anak yang menjadi perokok pasif dengan bahaya yang juga sama dengan perokok aktif.
"Anak-anak tidak berdaya karena bapaknya, omnya dan keluarganya merokok di sekitar mereka sementara asap tersebut cukup berbahaya," ujarnya.
Menurut dia kalau seandainya anak perokok dibiarkan saja dan tidak dilakukan tindakan apapun baik pencegahan maupun perlindungan maka 2030 akan naik jadi 15,90 persen jumlahnya.
"Artinya kita akan gagal mendapatkan bonus demografi karena anak-anak yang sekarang akan jadi manusia produktif mengalami sakit karena dampak rokok sehingga tidak bisa lagi menjadi sumber daya manusia yang berkualitas," katanya.
Sejalan dengan itu hasil penelitian yang diungkap Lembaga Swadaya Masyarakat Ruang Anak Dunia (Ruandu) Foundation di Kota Padang pada 2015 hampir 70 persen sekolah yang ada di kota itu berada dalam kepungan iklan rokok.
Beragam iklan rokok yang terpajang melalui spanduk, baliho, hingga videotron seakan menyasar segmen pelajar yang setiap hari lalu lalang di ruang publik dan jalan menuju sekolah.
Iklan tersebut dikemas dengan bahasa yang persuasif untuk membujuk siswa membeli rokok.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada 56 lokasi sekolah di Padang pada Februari hingga Agustus 2015 semua kawasan di sekitar sekolah telah "dikepung" iklan rokok, bahkan hingga ke pinggir kota.
"Lebih miris ada iklan rokok yang tertulis Rp2.000 per tiga batang. Itu sama saja menggiring pelajar untuk membeli, mari kita patungan masing-masing Rp1.000, beli lalu hisap bersama," ujar Ketua LSM Ruandu Foundation Muharman
Menurutnya kalau anak-anak dibiarkan merokok, akan mengancam bonus demografi Indonesia 2020 karena saat itu komposisi penduduk Indonesia lebih banyak kalangan muda yang produktif.
"Kalau hari ini anak-anak memutuskan untuk merokok akibat tipu daya iklan, maka pada 2020 Indonesia akan diisi manusia produktif yang tidak kompetitif karena derajat kesehatannya turun," ucapnya.
Yang lebih mengkhawatirkan serbuan iklan yang masif itu akan membuat rokok menjadi isu yang sepele, terutama bagi anak-anak sehingga tidak ada lagi kekhawatiran akan bahayanya, lanjut dia.
Muharman menilai hanya ada dua solusi mengatasi hal ini yaitu pemerintah daerah harus melarang total iklan, promosi dan sponsor rokok, serta komunitas sekolah seperti guru, siswa dan orang tua bergerak bersama agar lingkungan sekolah bebas dari promosi rokok.
"Perlindungan terhadap anak dan remaja dari terpaan iklan rokok tidak cukup hanya dengan larangan iklan di ruang publik saja, namun pelarangan total sebagaimana direkomendasikan badan kesehatan dunia WHO," ujarnya.
Sejalan dengan itu Psikolog dari Universitas Andalas (Unand) Kuswardani meyakini dalam membuat iklan rokok produsen membayar mahal konsultan agar anak masuk dalam jebakan tanpa berpikir bagaimana dampaknya.
"Mereka menggunakan bahasa komunikasi tingkat tinggi yang disiapkan profesional sehingga muncul pesan rokok adalah sesuatu yang biasa, tidak lagi berbahaya, bahkan menjadi hebat," ujar dia.
Para produsen menyampaikan iklan dengan berbagai cara termasuk melalui humor sehingga tersimpan dalam fungsi kognitif.
Kuswardani melihat saat ini masyarakat belum benar-benar anti terhadap rokok, buktinya belum bersikap keras terhadap orang yang merokok.
Kampanye larangan merokok tenggelam oleh iklan rokok sehingga akhirnya bahaya merokok tidak sebanding dengan iklan ajakan merokok, katanya.
Apalagi iklan rokok menggunakan figur terkenal sehingga memberikan "efek positif" terhadap perokok agar nyaman, padahal informasi jauh berbeda dari sisi kesehatan.
Pelarangan Iklan
Menyikapi hal itu pemerintah Kota Padang berinisiatif melarang iklan rokok di ruang publik di kota itu sebagai upaya melindungi anak.
Awalnya Padang sudah memiliki Perda Kawasan Tanpa Rokok yang dikeluarkan pada 2012 dengan Perda yang sudah dibahas sejak 2017, gagal disetujui karena pada paripurna pengesahan yang digelar 27 Desember 2017 mengalami jalan buntu.
Ketika itu dari sembilan fraksi yang ada, tujuh fraksi menolak disahkanya Perda Kawasan Tanpa Rokok dan hanya dua fraksi yang menyetujui.
Sebanyak tujuh fraksi yang menolak, antara lain Golkar, Demokrat, PPP, PDI-Perjuangan, Nasdem, Gerindra, dan Hanura, sedangkan fraksi yang menerima, yaitu PAN dan PKS.
Akibatnya pengambilan putusan harus ditunda sampai waktu yang belum ditentukan sembari menunggu jadwal dari Badan Musyawarah DPRD setempat.
Perda Kawasan Tanpa Rokok di Padang sudah hadir sejak 2012 dan membuahkan tujuh kawasan yang dilarang merokok.
Pada 2017 Pemkot Padang berinisiatif merevisi Perda Kawasan Tanpa Rokok dengan memasukan pasal pelarangan iklan rokok di ruang publik.
Untuk itu, telah dibentuk panitia khusus yang bertugas menghimpun masukan dari berbagai pihak hingga menggelar studi banding ke daerah yang telah menerapkan aturan tersebut.
Revisi tersebut bertujuan melindungi masyarakat dan meningkatkan kualitas kesehatan warga Padang. Salah satu poin yang diatur dalam perda tersebut adalah pelarangan iklan rokok di ruang publik, termasuk aktivitas sales promotion girl.
Ternyata pelarangan iklan rokok tersebut menuai pro dan kontra karena ada sejumlah pihak yang terkena imbas seperti para pengusaha periklanan yang terancam kehilangan pendapatan dari jenis usaha tersebut.
Tidak hanya itu, dari sisi pendapatan asli daerah Kota Padang juga akan berkurang karena salah satu sumber pemasukan adalah pajak iklan rokok yang terpasang lewat baliho, bilboard, hingga videotron.
Akhirnya Akan tetapi saat rapat paripurna pengesahan pada 27 Desember 2017 mengalami jalan buntu dan dari sembilan fraksi yang ada, tujuh fraksi menolak disahkannya Perda Kawasan Tanpa Rokok dan hanya dua fraksi yang menyetujui.
Tujuh fraksi yang menolak antara lain Golkar, Demokrat, PPP, PDIP, Nasdem, Gerindra dan Hanura. Sedangkan fraksi yang menerima yaitu PAN dan PKS.
Wali kota mengatakan pihaknya siap kehilangan pendapatan dari pajak iklan rokok dan saat ini sudah diterapkan dengan dasar hukum peraturan wali kota.
"Walau pun ada potensi kehilangan pendapatan dari pajak iklan rokok, ternyata pada sisi lain pemasukan dari sektor pariwisata malah meningkat," ujarnya.
Mahyeldi menyampaikan supaya masyarakat Padang tahu Perda KTR masih terkatung-katung karena hingga saat ini belum disahkan oleh DPRD Padang.
"Saya tidak tahu apa alasannya, saya tidak mengerti apa yang jadi persoalan, padahal tinggal ketok palu saja," kata dia.
Wali kota memastikan pihaknya juga sudah mengikuti semua aturan yang ada terkait dengan Perda Kawasan Tanpa Rokok.
Kini melalui perwako pelarangan rokok bisa dipastikan tidak ada lagi iklan rokok di ruang publik yang ada di Kota Padang.
Dukungan bersama
Pada September 2019 sebanyak 19 kabupaten dan kota di Sumatera Barat menyatakan komitmen membuat regulasi terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Pengendalian Iklan, Promosi, dan Sponsor (IPS) Rokok, sebagai wujud kepedulian pemerintah daerah dalam memenuhi hak-hak anak, sekaligus aksi nyata melakukan upaya perlindungan anak dari dampak negatif rokok.
“Komitmen ini diharapkan dapat mendorong percepatan untuk mewujudkan kabupaten dan kota layak anak (KLA) di wilayah Sumbar," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumbar Besri Rahmad.
19 kabupaten dan kota yang menyatakan komitmen tersebut yaitu Kabupaten Padang Pariaman, Pasaman,Pasaman Barat, Dharmasraya, Pesisir Selatan, Agam,Tanah Datar, Limapuluh Kota,Sijunjung , Kepulauan Mentawai,Solok, dan Solok Selatan.
Kemudian kota Padang, Bukittinggi, Sawahlunto,Padang panjang, Solok, Pariaman, dan kota Payakumbuh.
Wali Kota Padang Mahyeldi mengatakan jika ingin menjadi Kota Layak Anak maka Padang harus memiliki sistem perlindungan dan pemenuhan hak anak yang holistik dan terintegrasi dari semua sektor pembangunan.
“Pelarangan iklan rokok ini menjadi salah satu bentuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak di daerah,” kata dia.
Ia menyampaikan Pemerintah Kota Padang sejak 2018 melarang iklan rokok di seluruh wilayah kota Padang, dengan tujuan untuk pembangunan karakter dan perlindungan anak dari dampak buruk rokok.
Sementara itu, Kabid Pemenuhan Hak Anak Atas Kesejahteraan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Anita Putri Bungsu mengapresiasi komitmen 19 kabupaten/kota di Sumbar untuk membuat regulasi terkait kawasan tanpa rokok dan Pengendalian iklan promosi dan sponsor rokok.
Menurutnya kebijakan kota layak anak merupakan komitmen Kementerian PPPA dalam melindungi anak dari dampak rokok dengan salah satu indikator KLA 2019 adalah Tersedia Kawasan Tanpa Rokok dan tidak ada Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok.
Ia menambahkan kota layak anak merupakan upaya pemerintahan kota/kabupaten untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.
Ciri kabupaten atau kota yang sudah dapat dikatakan KLA, yaitu yang memiliki sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus yang dilakukan secara terencana, menyeluruh dan berkelanjutan, ujarnya.
Jika semua pihak masih ingin mewujudkan cita-cita Indonesia emas 2045 tidak ada solusi lain kecuali memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini agar Indonesia maju, berdaulat adil dan makmur bisa terwujud. (*)