Jakarta (ANTARA) - Berdasarkan skenario proyeksi iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksikan terjadinya kenaikan curah hujan yang lebih ekstrem di beberapa daerah tertentu dan musim kemarau yang cenderung lebih kering pada 2032-2040.
"Kita lihat memang ada peningkatan curah hujan dan ketika kemarau cenderung lebih kering. Hal ini berdasarkan data perbandingan dengan 2006-2014," kata Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Indra Gustari di Kantor BMKG Jakarta, Jumat.
Dalam memprediksi potensi kenaikan curah hujan pada 2032-2040 tersebut, BMKG menggunakan tiga skenario proyeksi iklim yaitu skenario terburuk, skenario biasa dan skenario optimis.
Skenario terburuk dibuat didasarkan kondisi iklim yang terjadi dengan pengaruh perubahan iklim tanpa ada upaya perbaikan yang dilakukan. Skenario biasa atau business as usual, yaitu skenario yang memprediksikan potensi perubahan cuaca yang dikaitkan dengan kurang optimalnya upaya masyarakat untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Sementara skenario optimis, jika dibarengi dengan upaya maksimal dari masyarakat.
Berdasarkan prediksi dengan skenario biasa, BMKG memperkirakan akan ada peningkatan curah hujan. Tetapi ketika kemarau, cuacanya cenderung lebih kering.
"Jadi secara umum ada daerah-daerah yang sebagian besar akan mengalami curah hujan ekstrem," katanya.
Berdasarkan prediksi melalui skenario biasa, yang dibandingkan dengan 2006-2014, pada 2032-2040 daerah Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan diprediksi akan mengalami kenaikan curah hujan dengan persentase sekitar 20 sampai 40 persen dibandingkan dengan rata-rata curah hujan pada 2006-2014.
Sedangkan Kalimantan Timur dan Gorontalo diprediksi akan mengalami penurunan curah hujan sekitar 20 persen seiring dengan cuaca pada musim kemarau yang diprediksi cenderung lebih kering.
Ia mengatakan bahwa untuk jangka panjang potensi cuaca ekstrem, yang diindikasikan oleh curah hujan yang cukup tinggi, sangat dipengaruhi oleh konsentrasi gas rumah kaca dan pemanasan global.
"Seberapa kuat pemanasan global atau konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer itu akan terjadi dalam beberapa puluh tahun ke depan," katanya.
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tersebut, yang menurutnya sangat dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat, sangat menentukan kondisi iklim di masa mendatang.
"Kita lihat memang ada peningkatan curah hujan dan ketika kemarau cenderung lebih kering. Hal ini berdasarkan data perbandingan dengan 2006-2014," kata Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Indra Gustari di Kantor BMKG Jakarta, Jumat.
Dalam memprediksi potensi kenaikan curah hujan pada 2032-2040 tersebut, BMKG menggunakan tiga skenario proyeksi iklim yaitu skenario terburuk, skenario biasa dan skenario optimis.
Skenario terburuk dibuat didasarkan kondisi iklim yang terjadi dengan pengaruh perubahan iklim tanpa ada upaya perbaikan yang dilakukan. Skenario biasa atau business as usual, yaitu skenario yang memprediksikan potensi perubahan cuaca yang dikaitkan dengan kurang optimalnya upaya masyarakat untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Sementara skenario optimis, jika dibarengi dengan upaya maksimal dari masyarakat.
Berdasarkan prediksi dengan skenario biasa, BMKG memperkirakan akan ada peningkatan curah hujan. Tetapi ketika kemarau, cuacanya cenderung lebih kering.
"Jadi secara umum ada daerah-daerah yang sebagian besar akan mengalami curah hujan ekstrem," katanya.
Berdasarkan prediksi melalui skenario biasa, yang dibandingkan dengan 2006-2014, pada 2032-2040 daerah Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan diprediksi akan mengalami kenaikan curah hujan dengan persentase sekitar 20 sampai 40 persen dibandingkan dengan rata-rata curah hujan pada 2006-2014.
Sedangkan Kalimantan Timur dan Gorontalo diprediksi akan mengalami penurunan curah hujan sekitar 20 persen seiring dengan cuaca pada musim kemarau yang diprediksi cenderung lebih kering.
Ia mengatakan bahwa untuk jangka panjang potensi cuaca ekstrem, yang diindikasikan oleh curah hujan yang cukup tinggi, sangat dipengaruhi oleh konsentrasi gas rumah kaca dan pemanasan global.
"Seberapa kuat pemanasan global atau konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer itu akan terjadi dalam beberapa puluh tahun ke depan," katanya.
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tersebut, yang menurutnya sangat dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat, sangat menentukan kondisi iklim di masa mendatang.