Padang, (ANTARA) - Kejaksaan telah dikenal luas sebagai institusi penegak hukum yang berwenang untuk menindak kasus-kasus korupsi mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.

Namun seiring berkembangnya waktu, korps Adhiyaksa juga berperan  melakukan pencegahan korupsi. Bahkan hal ini kembali ditegaskan oleh Jaksa Agung RI yang baru Sanitiar (ST) Burhanuddin. 

Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo dalam wawancara media juga sempat menyampaikan salah satu alasan dipilihnya ST Burhanuddin, karena tertarik dengan konsep pencegahan yang diusung.


Pencegahan yang dimaksud adalah penanganan suatu perkara tidak lagi sekadar menjebloskan pelaku ke penjara, tapi juga wajib memberikan solusi perbaikan sistem agar perbuatan  tidak terulang kembali. 

Selain itu penilaian kinerja Korps Adhyaksa tidak lagi bertitik berat pada seberapa banyak perkara yang ditangani.

Jika menilik ke belakang, sebenarnya beberapa upaya pencegahan telah mulai dilakukan kejaksaan serta jajarannya  termasuk oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.


Namun arahan Jaksa Agung yang baru mempertegas kembali hal tersebut. Termasuk mengubah titik berat yang awalnya ada di penindakan ke arah pencegahan.


"Sesuai arahan Jaksa Agung, penanganan perkara ke depan akan dioptimalkan. Dan pencegahan lebih dikedepankan dibanding penindakan," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar Priyanto.

 
Khusus untuk Sumbar, sejumlah langkah telah dilakukan untuk pencegahan korupsi. Salah satunya lewat peran Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D).


Sepanjang 2019 Kejati Sumbar telah mendampingi 77 proyek strategis dari enam instansi dengan nilai Rp3 triliun lebih.


Jumlah itu meningkat jika dibandingkan  2018 yang mendampingi 32 proyek dari tiga instansi, dengan nilai mencapai Rp2 triliun lebih.


Tidak hanya Kejati, pendampingan TP4D juga dilakukan oleh jajaran Kejaksaan Negeri (Kejari) yang ada di Sumbar. 


Jika ditotal jumlah kegiatan yang didampingi sejak awal 2019 oleh TP4D Kejari dan Kejati Sumbar, sebanyak 445 kegiatan, meningkat dari 2018 dengan jumlah 415 kegiatan.


Sesuai fungsinya, TPD merupakan tim yang dibentuk dengan tujuan mengawal, mengamankan, dan mendukung keberhasilan jalannya pemerintahan dan pembangunan melalui upaya pencegahan preventif dan persuasif.


Selain itu juga untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang berpotensi menghambat, menggagalkan kegiatan, hingga menimbulkan kerugian bagi keuangan negara.


Meskipun TP4 rencananya akan dibubarkan, namun sejauh ini perannya diklaim memiliki dampak positif.


Selain TP4D, Kejati Sumbar juga tetap memberikan pendampingan melalui fungsi yang ada di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun).


Secara internal kejaksaan juga terus membenahi kinerja untuk mencegah korupsi, seperti menerapkan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dan mulai mengalihkan sistem pelayanan menuju elektronik atau digital.


Hal tersebut diharapkan bisa mengurangi resiko suap karena mengurangi tatap muka secara langsung, namun tidak mengurangi kualitas pelayanan kepada masyarakat.


Sejalan dengan itu Kejati Sumbar juga tengah memproses status Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBK-WBBM) untuk mempertegas komitmen institusi tersebut dalam meberantas korupsi.


Pada akhir Oktober 2019, Wakil Jaksa Agung RI Arminsyah telah meninjau penerapan zona integritas di Kejati Sumbar, bersama Deputi Reformasi Birokrasi Kemenpan RB Muhammad Yusuf Ateh.


Dari peninjauan disebutkan kalau Kejati Sumbar sudah layak mendapatkan predikat WBK atas segala pembenahan yang dilakukan. Namun penyerahan secara resmi rencananya dilakukan Desember ini.


Namun demikian salah satu jajaran yaitu Kejari Tanah Datar telah menyabet predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) pada 2018. 


Bahkan Kajari Tanah Datar saat itu yaitu Muhammad Fatria (kini Aspidsus Kejati Sumbar) juga menerima predikat Sebagai Pelopor Perubahan Pembangunan Zona Integritas (ZI). 


Penindakan Tetap Dioptimalkan


Meskipun upaya pencegahan korupsi menjadi fokus utama, namun Kejati Sumbar juga tetap mengoptimalkan kinerja penindakan.


"Penindakan tetap akan dilakukan terhadap perbuatan pidana yang jelas dan terang niat jahatnya," katanya menegaskan.


Beberapa kasus yang tengah diproses tersebut di antaranya dugaan korupsi dana Bansos Solok, dugaan korupsi pembuatan taman hijau Masjid Raya Sumbar, dan lainnya.


Untuk kasus dugaan korupsi Bansos Solok, telah dilakukan proses penyerahan tersangka beserta barang bukti dari penyidik ke penuntut umum (tahap II), pada Senin (9/12).


Pada bagian lain, institusi yang berkantor di Jalan Raden Saleh Padang itu juga terus berupaya mengembalikan kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi,  serta memburu para terpidana yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Salah satu kinerja yang menyita perhatian adalah ditangkapnya mantan Bupati Dharmasraya Marlon Martua pada September 2018, yang berstatus terpidana kasus korupsi pengadaan lahan pembangunan RSUD Sungai Dareh.


Beberapa minggu sebelum Marlon, jaksa terlebih dahulu menangkap DPO kasus korupsi pengadaan instalasi air bersih di Kabupaten Padangpariaman atas nama Khossan Katsidi.


Kemudian November 2019 kejaksaan tercatat meringkus dua buronan terpidana korupsi secara berturut-turut.


Mereka adalah Helwis yang ditangkap pada Kamis 21 November, dan Budi Santoso pada 22 November 2019.


Helwis sudah buron sejak April 2018, lalu ditangkap oleh tim eksekutor kejaksaan di Depok.


Sedangkan Budi Santoso telah buron sejak September 2019, dan ditangkap di daerah Sleman, Yogyakarta. 


Saat ini masih tersisa tujuh terpidana korupsi yang masih menjadi "Pekerjaan Rumah" untuk ditangkap oleh Kejati Sumbar. 


"Kami akan terus memburu para terpidana yang masih buron, namun kepada mereka diimbau agar menyerahkan diri. Karena tidak ada tempat yang aman untuk melarikan diri," katanya.

Pewarta : Fathul Abdi
Editor : Ikhwan Wahyudi
Copyright © ANTARA 2024