Jakarta (ANTARA) - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, usulannya agar pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dievaluasi, bukan berarti mengembalikan proses pemilihannya ke DPRD seperti yang dilakukan di era Orde Baru.
"Ini saya sendiri pernah menyampaikan (evaluasi pilkada) tapi tidak pernah menyampaikan untuk kembali kepada DPRD, ini saya klarifikasi," kata Tito dalam rapat dengan Komite I DPD RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, pilkada langsung yang sudah berjalan sekitar 15 tahun, semangat awal pelaksanaannya adalah partisipasi publik untuk memilih pemimpinnya karena menggambarkan nilai demokrasi yang ada.
Selain itu, menurut dia, pilkada langsung memberikan peluang kepada calon-calon yang memiliki potensi untuk maju secara independen tanpa melalui partai politik.
"Tapi dalam praktek setelah sekian belas tahun, kita melihat ada dampak-dampak negatifnya seperti potensi konflik," ujarnya.
Tito mencontohkan, ketika dirinya masih menjadi Kapolda Papua, pelaksanaan Pilkada 2012 di Kabupaten Puncak, tertunda empat tahun karena konflik perang yang banyak menelan korban.
Menurut dia, Pilkada 2017 di 101 daerah, Pilkada 2018 di 171 daerah, Pemilu Presiden 2019, dan Pemilu Legislatif 2019 yang berlangsung bukan tanpa konflik dan korban.
"Potensi konflik itu karena polarisasi. Polarisasi pilkada membuat masyarakat terbelah. Tapi dalam bahasa saya adalah polarisasi yang dilegalisasi, legal," katanya.
Tito mengatakan, dalam ilmu keamanan, setiap ada perbedaan mengandung potensi konflik.
Dia menjelaskan, pilkada langsung selain rawan konflik, juga turut memakan biaya yang cukup tinggi bagi para calon kepala daerah dan biaya dari pemerintah pusat serta pemerintah daerah.
Menurut dia, sistem politik berbiaya tinggi itu membuat kepala daerah yang terpilih, melakukan tindakan melanggar hukum seperti korupsi untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya di pilkada.
"Jadi kita sudah menciptakan sistem yang membuat kepala daerah itu tetap korupsi. Ya tinggal menggunakan teknik-teknik intelijen, teknik-teknik investigasi, mentarget kepala daerah sangat mudah sekali ya pasti akan korupsi," katanya.
Tito meminta agar pelaksanaan pilkada langsung ini dievaluasi lewat kajian akademik sehingga tidak bisa empirik saja berdasarkan pengalaman karena bisa bias.
Dia menegaskan bahwa dirinya mengusulkan evaluasi pilkada langsung bukan berarti bakal dikembalikan melalui DPRD.
"Kalau hasilnya pilkada langsung lebih baik, kita lakukan. Bagaimana mengurangi negatifnya, kalau ada banyak negatifnya, beralih ke sistem yang lain," kata Tito.
"Ini saya sendiri pernah menyampaikan (evaluasi pilkada) tapi tidak pernah menyampaikan untuk kembali kepada DPRD, ini saya klarifikasi," kata Tito dalam rapat dengan Komite I DPD RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, pilkada langsung yang sudah berjalan sekitar 15 tahun, semangat awal pelaksanaannya adalah partisipasi publik untuk memilih pemimpinnya karena menggambarkan nilai demokrasi yang ada.
Selain itu, menurut dia, pilkada langsung memberikan peluang kepada calon-calon yang memiliki potensi untuk maju secara independen tanpa melalui partai politik.
"Tapi dalam praktek setelah sekian belas tahun, kita melihat ada dampak-dampak negatifnya seperti potensi konflik," ujarnya.
Tito mencontohkan, ketika dirinya masih menjadi Kapolda Papua, pelaksanaan Pilkada 2012 di Kabupaten Puncak, tertunda empat tahun karena konflik perang yang banyak menelan korban.
Menurut dia, Pilkada 2017 di 101 daerah, Pilkada 2018 di 171 daerah, Pemilu Presiden 2019, dan Pemilu Legislatif 2019 yang berlangsung bukan tanpa konflik dan korban.
"Potensi konflik itu karena polarisasi. Polarisasi pilkada membuat masyarakat terbelah. Tapi dalam bahasa saya adalah polarisasi yang dilegalisasi, legal," katanya.
Tito mengatakan, dalam ilmu keamanan, setiap ada perbedaan mengandung potensi konflik.
Dia menjelaskan, pilkada langsung selain rawan konflik, juga turut memakan biaya yang cukup tinggi bagi para calon kepala daerah dan biaya dari pemerintah pusat serta pemerintah daerah.
Menurut dia, sistem politik berbiaya tinggi itu membuat kepala daerah yang terpilih, melakukan tindakan melanggar hukum seperti korupsi untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya di pilkada.
"Jadi kita sudah menciptakan sistem yang membuat kepala daerah itu tetap korupsi. Ya tinggal menggunakan teknik-teknik intelijen, teknik-teknik investigasi, mentarget kepala daerah sangat mudah sekali ya pasti akan korupsi," katanya.
Tito meminta agar pelaksanaan pilkada langsung ini dievaluasi lewat kajian akademik sehingga tidak bisa empirik saja berdasarkan pengalaman karena bisa bias.
Dia menegaskan bahwa dirinya mengusulkan evaluasi pilkada langsung bukan berarti bakal dikembalikan melalui DPRD.
"Kalau hasilnya pilkada langsung lebih baik, kita lakukan. Bagaimana mengurangi negatifnya, kalau ada banyak negatifnya, beralih ke sistem yang lain," kata Tito.