Jakarta, (ANTARA) - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memilih Biak Utara sebagai lokasi untuk rencana pembangunan Bandar Antariksa pertama Indonesia yang sedang mereka kaji dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) LAPAN di Tangerang, Banten.
"Alasan utamanya pertama karena Biak itu paling dekat dengan ekuator," kata Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin melalui sambungan telepon kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Selain dekat dengan ekuator, pemilihan Desa Soukobye di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, sebagai lokasi rencana pembangunan Bandar Antariksa itu adalah karena posisinya yang sekitar 1 derajat Lintang Selatan dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik, sehingga aman untuk dijadikan sebagai lokasi peluncuran.
"Untuk peluncuran, itu aman bagi titik jatuhnya," katanya.
Saat ini, LAPAN tengah menggelar Rakornas untuk menyatukan pandangan dari berbagai stakeholder terkait perencanaan pembangunan dua Bandar Antariksa pertama di Indonesia, yaitu Bandar Antariksa skala kecil untuk uji terbang dan peluncuran roket-roket kecil serta Bandar Antariksa besar.
"Karena keterbatasan anggaran, LAPAN akan membangun Bandar Antariksa atau space port skala kecil untuk uji terbang dan peluncuran roket-roket kecil. Bandar Antariksa yang besar akan dibangun dengan kemitraan internasional," katanya.
Dalam Rakornas itu, LAPAN berdiskusi dengan beberapa pihak terkait diantaranya Pemerintah Daerah Biak, Pemerintah Provinsi Papua dan juga Pemerintah Kabupaten Biak, selain juga dari Kementerian dan lembaga terkait lainnya.
Mulai tahun depan LAPAN akan memulai sejumlah kajian untuk menghasilkan perencanaan dan pembangunan Bandar Antariksa tersebut.
"Karena Bandar Antariksa itu sangat mahal, kami memulai dari tahapan (pembangunan) Bandar Antariksa skala kecil terlebih dahulu," katanya.
Saat ini, LAPAN sudah memiliki 100 hektar lahan di Biak Utara untuk pembangunan Bandar Antariksa skala kecil yang akan difungsikan sebagai lokasi uji terbang.
"Memang sebenarnya itu tidak cukup. Tetapi kami akan mengoptimalkan lahan itu lebih dahulu. Meskipun ada komitmen dari Pemkab untuk menyediakan lahan tambahan," ujarnya.
LAPAN menargetkan pada 2024 pembangunan Bandar Antariksa tersebut sudah dapat diselesaikan, walaupun belum sempurna. "Setidaknya bisa kami pakai untuk uji terbang," katanya.
Pembangunan Bandar Antariksa tersebut, katanya, dilakukan untuk memberikan ruang lebih luas bagi peluncuran roket bertingkat yang juga sedang mereka kembangkan.
"Jadi kalau roket yang biasa kecil-kecil itu biasa dilakukan dari Garut. Tapi untuk ukuran besar dan bertingkat itu riskan kalau diluncurkan di Garut karena lokasinya sudah padat penduduk, sehingga kami harus menyiapkan tempat peluncuran yang lebih aman. Dan posisi terbaiknya ada di Biak," katanya.
Saat ini, LAPAN tengah mengembangkan roket Sonda atau roket penelitian atmosfer yang secara bertahap target ketinggiannya akan terus ditingkatkan.
"Jadi roketnya masih dikembangkan. Karena roket yang ada saat ini belum bisa mencapai orbit. Jadi roket yang sudah ada capaiannya baru sampai beberapa puluh kilometer. Targetnya minimal 300 kilometer," katanya. (*)
"Alasan utamanya pertama karena Biak itu paling dekat dengan ekuator," kata Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin melalui sambungan telepon kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Selain dekat dengan ekuator, pemilihan Desa Soukobye di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, sebagai lokasi rencana pembangunan Bandar Antariksa itu adalah karena posisinya yang sekitar 1 derajat Lintang Selatan dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik, sehingga aman untuk dijadikan sebagai lokasi peluncuran.
"Untuk peluncuran, itu aman bagi titik jatuhnya," katanya.
Saat ini, LAPAN tengah menggelar Rakornas untuk menyatukan pandangan dari berbagai stakeholder terkait perencanaan pembangunan dua Bandar Antariksa pertama di Indonesia, yaitu Bandar Antariksa skala kecil untuk uji terbang dan peluncuran roket-roket kecil serta Bandar Antariksa besar.
"Karena keterbatasan anggaran, LAPAN akan membangun Bandar Antariksa atau space port skala kecil untuk uji terbang dan peluncuran roket-roket kecil. Bandar Antariksa yang besar akan dibangun dengan kemitraan internasional," katanya.
Dalam Rakornas itu, LAPAN berdiskusi dengan beberapa pihak terkait diantaranya Pemerintah Daerah Biak, Pemerintah Provinsi Papua dan juga Pemerintah Kabupaten Biak, selain juga dari Kementerian dan lembaga terkait lainnya.
Mulai tahun depan LAPAN akan memulai sejumlah kajian untuk menghasilkan perencanaan dan pembangunan Bandar Antariksa tersebut.
"Karena Bandar Antariksa itu sangat mahal, kami memulai dari tahapan (pembangunan) Bandar Antariksa skala kecil terlebih dahulu," katanya.
Saat ini, LAPAN sudah memiliki 100 hektar lahan di Biak Utara untuk pembangunan Bandar Antariksa skala kecil yang akan difungsikan sebagai lokasi uji terbang.
"Memang sebenarnya itu tidak cukup. Tetapi kami akan mengoptimalkan lahan itu lebih dahulu. Meskipun ada komitmen dari Pemkab untuk menyediakan lahan tambahan," ujarnya.
LAPAN menargetkan pada 2024 pembangunan Bandar Antariksa tersebut sudah dapat diselesaikan, walaupun belum sempurna. "Setidaknya bisa kami pakai untuk uji terbang," katanya.
Pembangunan Bandar Antariksa tersebut, katanya, dilakukan untuk memberikan ruang lebih luas bagi peluncuran roket bertingkat yang juga sedang mereka kembangkan.
"Jadi kalau roket yang biasa kecil-kecil itu biasa dilakukan dari Garut. Tapi untuk ukuran besar dan bertingkat itu riskan kalau diluncurkan di Garut karena lokasinya sudah padat penduduk, sehingga kami harus menyiapkan tempat peluncuran yang lebih aman. Dan posisi terbaiknya ada di Biak," katanya.
Saat ini, LAPAN tengah mengembangkan roket Sonda atau roket penelitian atmosfer yang secara bertahap target ketinggiannya akan terus ditingkatkan.
"Jadi roketnya masih dikembangkan. Karena roket yang ada saat ini belum bisa mencapai orbit. Jadi roket yang sudah ada capaiannya baru sampai beberapa puluh kilometer. Targetnya minimal 300 kilometer," katanya. (*)