Padang, (ANTARA) - Seperangkat komputer jinjing, proyektor, serta layar putih telah terpasang di salah satu rumah panggung di Kampung Baca dan Budaya Literasi Minangkabau Bukik Ase di Lolo Gunung Sariak, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu (8/9) pagi.
Tak lama berselang puluhan ibu setempat yang saban hari bertani hingga mengurus rumah tangga mulai berdatangan. Mereka langsung mengambil tempat di rumah panggung tanpa dinding yang terbuat dari bambu tersebut.
Udara pagi yang sejuk dan kicau suara burung menjadi pengiring kegiatan pada hari itu, yaitu nonton bersama yang diselenggarakan Komunitas Relawan Keluarga Kita.
Film pendek bertema keluarga yang diputar berjudul "Kalau Cinta Boleh Marah?", produksi Yayasan Rangkul Keluarga Kita.
Ditemani kudapan tradisional Minang, lemang dan pisang, Nurlischan bersama puluhan ibu setempat, tampak menikmati aktivitas yang tidak pernah mereka lakoni selama ini, yakni nonton bareng dengan ibu-ibu lain sembari berdiskusi soal pengasuhan keluarga.
Film itu bercerita tentang bagaimana mengelola marah dalam keluarga. Disajikan salah satu adegan dialog antara orang tua (ayah) dengan anaknya (Lala) yang mendorong penonton tertawa karena lucu.
"Yah kenapa sih ibu marah-marah terus?" tanya Lala yang kemudian dijawab oleh ayah, "Itu tanda ibu sayang sama kamu agar kamu bisa jadi anak yang baik".
Si anak bertanya lagi, "Ayah sayang nggak sama ibu?" Jawaban sang ayah yang singkat, "Sayang dong", ditimpali si anak dengan respons yang menimbulkan gelak tawa para ibu yang menyimak adegan itu, "Kalau gitu, ayah marahin ibu sekarang, biar bisa jadi ibu yang baik".
Usai pemutaran film, mereka pun melanjutkan dengan diskusi bersama pegiat Relawan Keluarga Kita yang dipandu oleh Zulda Musyarifah, Ria Oktorina, dan Nifea.
Oleh karena peserta yang hadir para ibu yang bermukim di pinggir Kota Padang, diskusi pun menggunakan bahasa Minang agar suasana lebih cair dan hangat.
Salah satu orang tua, Nurlischan, menanyakan bagaimana cara melarang anak memakai telepon pintar karena nyaris tak kenal waktu dan tak mau diingatkan.
Menyikapi hal itu, pegiat Relawan Keluarga Kita, Ria Oktorina, menjawab cara mengingatkan anak dengan menggunakan pilihan bahasa yang tepat.
"Misalnya ibu merasa sedih kalau ananda terus-terusan bermain HP (handphone) sampai lupa waktu," katanya.
Menurut dia, marah kepada anak diperbolehkan tetapi tidak boleh marah terus menerus. Jangankan anak, orang dewasa saja tidak mau terus menerus dimarahi.
Para ibu itu pun melanjutkan diskusi dengan berbagi pengalaman masing-masing seputar mendidik anak dan mencoba mencari solusi bersama.
Kegiatan pertama dari sembilan kali pertemuan yang dijadwalkan dua kali sebulan itu, membuka mata para ibu tentang persoalan seputar pengasuhan dan pendidikan keluarga karena selama ini tidak mereka ketahui.
Selama ini, ada yang beranggapan kalau ada anak yang nakal itu bukan urusan publik melainkan orang tuanya langsung, padahal anak tersebut bermain dan bergaul dengan anak lain yang bisa saja menularkan perilaku tidak baik.
Lewat acara siang itu, semua berkomitmen untuk lebih serius dalam soal pengasuhan menggunakan pola yang benar dan tepat.
Para ibu di Bukik Ase menonton bersama film bertema pengasuhan dalam keluarga di Padang, Minggu (8/9/2019) ANTARA/Ikhwan Wahyudi
Ria menyampaikan bahwa keluarga pendidik yang pertama dan utama. Ia melihat ada banyak hambatan, keterbatasan pengetahuan dan pemahaman hingga minimnya dukungan lingkungan untuk menjalankan peran keluarga dengan optimal.
"Akibatnya peran keluarga kian lemah, ini diperparah oleh perbedaan sudut pandang orang tua tentang pola pengasuhan pada anak yang notabene adalah generasi yang berbeda," ujarnya.
Beranjak dari fenomena tersebut, pihaknya menggelar dua kegiatan dalam rangka mengampanyekan pendidikan keluarga, yaitu kelas sesi bicara dan nonton bersama.
Untuk sesi bicara, biasanya diadakan di kafe atau hotel, diperuntukan bagi orang tua yang punya akses dan dikenakan kontribusi, sedangkan nonton bersama ditujukan kepada orang tua yang tidak punya akses, seperti di Lolo Gunung Sariak, Kecamatan Kuranji, Kota Padang itu.
"Kami langsung mendatangi mereka dan dengan acara memutar film tentang pengasuhan kemudian dilanjutkan dengan diskusi bersama, semua gratis tanpa biaya," kata dia.
Ia menilai lewat nonton film lebih efektif untuk menyampaikan pesan tentang hal itu karena jika menggunakan ceramah akan sulit untuk masuk kepada para ibu setempat.
Ia menyampaikan untuk nonton bersama akan digelar sembilan kali dengan sembilan episode berbeda dengan kelas pengasuhan lainnya yang hanya sekali.
"Inti dari pengasuhan itu adalah berkelanjutan, jadi materinya sedikit, diskusi kemudian praktik," kata dia.
Ia melihat untuk pendidikan keluarga belum banyak pihak yang fokus dan Relawan Keluarga Kita memilih orang tua di Bukik Ase karena di tempat itu ada PAUD gratis dan orang tuanya juga perlu diberi pembekalan.
"Kami percaya pengasuhan adalah urusan bersama sehingga harus banyak pihak terlibat, kolaborasi adalah kata kuncinya," kata dia.
Menurut dia, jika ada orang tua yang berpandangan anaknya sudah baik maka suatu hari si anak akan berinteraksi dengan yang lain. Oleh karena itu, perlu kolaborasi agar hadir anak Indonesia bahagia , mandiri, dan cerdas.
Digagas oleh Psikolog Najelaa Shihab, Yayasan Rangkul Keluarga Kita, menyusun kurikulum pengasuhan berbasis praktik lewat riset, data, dan bukti guna membantu proses belajar orang tua secara terstruktur.
Sebanyak tiga kurikulum dasar pengasuhan, yaitu hubungan reflektif, disiplin positif, dan belajar efektif. Selain itu, juga menginisasi program Relawan Keluarga Kita yang hingga Juli 2019 telah hadir di 83 kabupaten dan kota di Indonesia.
Kolaborasi
Pada Minggu (8/9) itu, saat orang tua asyik nonton bersama, puluhan anak setempat asyik belajar tentang hewan melata bersama Komunitas Reptil dan Amphibi (Krap) Padang yang kebetulan berkunjung ke Bukik Ase.
Jenis hewan yang diperkenalkan kepada anak, mulai dari ular piton regius, ular lidi, ular pucuk, ular tikus, ular cobra, sanca batik, sanca bodo, iguana, tarantula, buaya, dan tokek hias.
Pembina Krap Padang Danu Seto Herlambang mengatakan pengenalan beragam hewan jenis reptil dan amfibi perlu dilakukan kepada anak sejak dini sehingga mereka paham dan bisa ikut menjaga kelestariannya.
Pada kesempatan itu, masing-masing hewan yang dibawa diperlihatkan dan dijelaskan bagaimana perilakunya.
Para anak juga diberikan kesempatan memegang hewan yang tidak berbahaya, seperti iguana dan ular piton albino.
Saat diberikan penjelasan, para anak juga antusias bertanya tentang apa makanan hewan yang diperlihatkan dan bagaimana merawatnya.
Anak -anak di Bukik Ase diperkenalkan beragam hewan melata oleh Komunitas Reptil dan Ampibi Padang (Antara/Ikhwan Wahyudi)
Bukik Ase merupakan kampung baca dan kreativitas di pinggiran kota Padang, berdiri di lahan seluas 600 meter persegi pada 2017.
Awalnya, di lahan tersebut ada Surau Rumah Gadang. Suardi Rajo Basa selaku pemilik lahan, berinisiatif meminta Yusrizal K.W., salah seorang tokoh literasi, mengembangkan lokasi itu menjadi kampung baca, literasi, dan kreativitas.
Yusrizal menjelaskan Bukik Ase dibangun untuk perubahan mentalitas, cara berpikir, pendidikan, meningkatkan minat baca, hingga apresiasi seni tradisi Minangkabau bagi warga setempat.
Selama dua tahun berdiri, Bukik Ase memiliki banyak kegiatan. Pada Senin hingga Jumat tercatat 32 anak dari warga setempat yang didominasi petani, mengikuti PAUD gratis.
Selain itu, para anak juga diajarkan seni tradisi Minang, seperti randai, tarian tradisional, silat, hingga disediakan taman baca.
Pihaknya juga menggelar wisata literasi bagi pengunjung untuk belajar silat, randai, sumbang dua belas, hingga menyantap makanan tradisional Minang.
Bukik Ase juga memiliki pustaka dan sejumlah wahana untuk belajar sambil bermain.Setiap Minggu beragam komunitas datang ke tempat itu untuk berbagi ilmu kepada anak dan orang tua.
Dana pelaksanaan kegiatan, semuanya berasal dari swadaya dan tidak ada sponsor.
Menurut pendirinya, Suardi Rajo Basa, kini masyarakat sekitar sudah merasakan manfaat pengembangan tempat itu karena anak dan orang tua turut dibina.
Para orang tua rutin mengikuti tausiyah setiap dua pekan pada Jumat sore dengan materi agama dan adat Minang, para anak mengikuti beragam kegiatan positif dan bermanfaat.
Pengasuhan adalah pendidikan jangka panjang yang membutuhkan kolaborasi semua pihak. Prosesnya sebagai perjalanan puluhan tahun membesarkan anak dengan melewati tahapan yang berbeda sehingga butuh perlakuan berbeda pula.
Anak tidak punya pilihan memilih orang tua, demikian juga orang tua tak bisa memilih punya anak lain. Oleh karena itu, kesempatan belajar terus menerus menjadi berharga karena bukan hanya anak yang terus tumbuh, orang tua juga harus terus belajar untuk menjadi lebih baik.
Tak lama berselang puluhan ibu setempat yang saban hari bertani hingga mengurus rumah tangga mulai berdatangan. Mereka langsung mengambil tempat di rumah panggung tanpa dinding yang terbuat dari bambu tersebut.
Udara pagi yang sejuk dan kicau suara burung menjadi pengiring kegiatan pada hari itu, yaitu nonton bersama yang diselenggarakan Komunitas Relawan Keluarga Kita.
Film pendek bertema keluarga yang diputar berjudul "Kalau Cinta Boleh Marah?", produksi Yayasan Rangkul Keluarga Kita.
Ditemani kudapan tradisional Minang, lemang dan pisang, Nurlischan bersama puluhan ibu setempat, tampak menikmati aktivitas yang tidak pernah mereka lakoni selama ini, yakni nonton bareng dengan ibu-ibu lain sembari berdiskusi soal pengasuhan keluarga.
Film itu bercerita tentang bagaimana mengelola marah dalam keluarga. Disajikan salah satu adegan dialog antara orang tua (ayah) dengan anaknya (Lala) yang mendorong penonton tertawa karena lucu.
"Yah kenapa sih ibu marah-marah terus?" tanya Lala yang kemudian dijawab oleh ayah, "Itu tanda ibu sayang sama kamu agar kamu bisa jadi anak yang baik".
Si anak bertanya lagi, "Ayah sayang nggak sama ibu?" Jawaban sang ayah yang singkat, "Sayang dong", ditimpali si anak dengan respons yang menimbulkan gelak tawa para ibu yang menyimak adegan itu, "Kalau gitu, ayah marahin ibu sekarang, biar bisa jadi ibu yang baik".
Usai pemutaran film, mereka pun melanjutkan dengan diskusi bersama pegiat Relawan Keluarga Kita yang dipandu oleh Zulda Musyarifah, Ria Oktorina, dan Nifea.
Oleh karena peserta yang hadir para ibu yang bermukim di pinggir Kota Padang, diskusi pun menggunakan bahasa Minang agar suasana lebih cair dan hangat.
Salah satu orang tua, Nurlischan, menanyakan bagaimana cara melarang anak memakai telepon pintar karena nyaris tak kenal waktu dan tak mau diingatkan.
Menyikapi hal itu, pegiat Relawan Keluarga Kita, Ria Oktorina, menjawab cara mengingatkan anak dengan menggunakan pilihan bahasa yang tepat.
"Misalnya ibu merasa sedih kalau ananda terus-terusan bermain HP (handphone) sampai lupa waktu," katanya.
Menurut dia, marah kepada anak diperbolehkan tetapi tidak boleh marah terus menerus. Jangankan anak, orang dewasa saja tidak mau terus menerus dimarahi.
Para ibu itu pun melanjutkan diskusi dengan berbagi pengalaman masing-masing seputar mendidik anak dan mencoba mencari solusi bersama.
Kegiatan pertama dari sembilan kali pertemuan yang dijadwalkan dua kali sebulan itu, membuka mata para ibu tentang persoalan seputar pengasuhan dan pendidikan keluarga karena selama ini tidak mereka ketahui.
Selama ini, ada yang beranggapan kalau ada anak yang nakal itu bukan urusan publik melainkan orang tuanya langsung, padahal anak tersebut bermain dan bergaul dengan anak lain yang bisa saja menularkan perilaku tidak baik.
Lewat acara siang itu, semua berkomitmen untuk lebih serius dalam soal pengasuhan menggunakan pola yang benar dan tepat.
Ria menyampaikan bahwa keluarga pendidik yang pertama dan utama. Ia melihat ada banyak hambatan, keterbatasan pengetahuan dan pemahaman hingga minimnya dukungan lingkungan untuk menjalankan peran keluarga dengan optimal.
"Akibatnya peran keluarga kian lemah, ini diperparah oleh perbedaan sudut pandang orang tua tentang pola pengasuhan pada anak yang notabene adalah generasi yang berbeda," ujarnya.
Beranjak dari fenomena tersebut, pihaknya menggelar dua kegiatan dalam rangka mengampanyekan pendidikan keluarga, yaitu kelas sesi bicara dan nonton bersama.
Untuk sesi bicara, biasanya diadakan di kafe atau hotel, diperuntukan bagi orang tua yang punya akses dan dikenakan kontribusi, sedangkan nonton bersama ditujukan kepada orang tua yang tidak punya akses, seperti di Lolo Gunung Sariak, Kecamatan Kuranji, Kota Padang itu.
"Kami langsung mendatangi mereka dan dengan acara memutar film tentang pengasuhan kemudian dilanjutkan dengan diskusi bersama, semua gratis tanpa biaya," kata dia.
Ia menilai lewat nonton film lebih efektif untuk menyampaikan pesan tentang hal itu karena jika menggunakan ceramah akan sulit untuk masuk kepada para ibu setempat.
Ia menyampaikan untuk nonton bersama akan digelar sembilan kali dengan sembilan episode berbeda dengan kelas pengasuhan lainnya yang hanya sekali.
"Inti dari pengasuhan itu adalah berkelanjutan, jadi materinya sedikit, diskusi kemudian praktik," kata dia.
Ia melihat untuk pendidikan keluarga belum banyak pihak yang fokus dan Relawan Keluarga Kita memilih orang tua di Bukik Ase karena di tempat itu ada PAUD gratis dan orang tuanya juga perlu diberi pembekalan.
"Kami percaya pengasuhan adalah urusan bersama sehingga harus banyak pihak terlibat, kolaborasi adalah kata kuncinya," kata dia.
Menurut dia, jika ada orang tua yang berpandangan anaknya sudah baik maka suatu hari si anak akan berinteraksi dengan yang lain. Oleh karena itu, perlu kolaborasi agar hadir anak Indonesia bahagia , mandiri, dan cerdas.
Digagas oleh Psikolog Najelaa Shihab, Yayasan Rangkul Keluarga Kita, menyusun kurikulum pengasuhan berbasis praktik lewat riset, data, dan bukti guna membantu proses belajar orang tua secara terstruktur.
Sebanyak tiga kurikulum dasar pengasuhan, yaitu hubungan reflektif, disiplin positif, dan belajar efektif. Selain itu, juga menginisasi program Relawan Keluarga Kita yang hingga Juli 2019 telah hadir di 83 kabupaten dan kota di Indonesia.
Kolaborasi
Pada Minggu (8/9) itu, saat orang tua asyik nonton bersama, puluhan anak setempat asyik belajar tentang hewan melata bersama Komunitas Reptil dan Amphibi (Krap) Padang yang kebetulan berkunjung ke Bukik Ase.
Jenis hewan yang diperkenalkan kepada anak, mulai dari ular piton regius, ular lidi, ular pucuk, ular tikus, ular cobra, sanca batik, sanca bodo, iguana, tarantula, buaya, dan tokek hias.
Pembina Krap Padang Danu Seto Herlambang mengatakan pengenalan beragam hewan jenis reptil dan amfibi perlu dilakukan kepada anak sejak dini sehingga mereka paham dan bisa ikut menjaga kelestariannya.
Pada kesempatan itu, masing-masing hewan yang dibawa diperlihatkan dan dijelaskan bagaimana perilakunya.
Para anak juga diberikan kesempatan memegang hewan yang tidak berbahaya, seperti iguana dan ular piton albino.
Saat diberikan penjelasan, para anak juga antusias bertanya tentang apa makanan hewan yang diperlihatkan dan bagaimana merawatnya.
Bukik Ase merupakan kampung baca dan kreativitas di pinggiran kota Padang, berdiri di lahan seluas 600 meter persegi pada 2017.
Awalnya, di lahan tersebut ada Surau Rumah Gadang. Suardi Rajo Basa selaku pemilik lahan, berinisiatif meminta Yusrizal K.W., salah seorang tokoh literasi, mengembangkan lokasi itu menjadi kampung baca, literasi, dan kreativitas.
Yusrizal menjelaskan Bukik Ase dibangun untuk perubahan mentalitas, cara berpikir, pendidikan, meningkatkan minat baca, hingga apresiasi seni tradisi Minangkabau bagi warga setempat.
Selama dua tahun berdiri, Bukik Ase memiliki banyak kegiatan. Pada Senin hingga Jumat tercatat 32 anak dari warga setempat yang didominasi petani, mengikuti PAUD gratis.
Selain itu, para anak juga diajarkan seni tradisi Minang, seperti randai, tarian tradisional, silat, hingga disediakan taman baca.
Pihaknya juga menggelar wisata literasi bagi pengunjung untuk belajar silat, randai, sumbang dua belas, hingga menyantap makanan tradisional Minang.
Bukik Ase juga memiliki pustaka dan sejumlah wahana untuk belajar sambil bermain.Setiap Minggu beragam komunitas datang ke tempat itu untuk berbagi ilmu kepada anak dan orang tua.
Dana pelaksanaan kegiatan, semuanya berasal dari swadaya dan tidak ada sponsor.
Menurut pendirinya, Suardi Rajo Basa, kini masyarakat sekitar sudah merasakan manfaat pengembangan tempat itu karena anak dan orang tua turut dibina.
Para orang tua rutin mengikuti tausiyah setiap dua pekan pada Jumat sore dengan materi agama dan adat Minang, para anak mengikuti beragam kegiatan positif dan bermanfaat.
Pengasuhan adalah pendidikan jangka panjang yang membutuhkan kolaborasi semua pihak. Prosesnya sebagai perjalanan puluhan tahun membesarkan anak dengan melewati tahapan yang berbeda sehingga butuh perlakuan berbeda pula.
Anak tidak punya pilihan memilih orang tua, demikian juga orang tua tak bisa memilih punya anak lain. Oleh karena itu, kesempatan belajar terus menerus menjadi berharga karena bukan hanya anak yang terus tumbuh, orang tua juga harus terus belajar untuk menjadi lebih baik.