Jakarta (ANTARA) - Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Alvin Lie menyatakan penyebab tingginya harga tiket pesawat adalah inefisiensi di tubuh maskapai, seperti jumlah pesawat terlalu banyak dan utilitasnya rendah.
"Pada umumnya di bawah 10 jam, itu kan tidak efisien. Yang efisien, dari jumlah pesawat, terbang sedikitnya 12 kali sehari. Nah, kalau memang tidak efisien, ya kurangi jumlah pesawatnya,” kata Alvin melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Komponen pengadaan pesawat, lanjutnya, memang sangat tinggi, karena seluruh biaya sewa pesawat mempergunakan mata uang euro atau dolar AS.
"Maskapai ini kan pesawatnya sewa semua. Nilai tukar rupiah terhadap Dolar sejak 2016 sudah turun. Ketika tarif batas atas (TBA) ditetapkan pada 2016 lalu, asumsinya kurs Dolar adalah Rp12 ribu, sekarang Rp14 ribu," ujar Alvin yang juga pengamat penerbangan.
Itulah sebabnya, dia tidak setuju jika avtur selalu menjadi "kambing hitam" atas tingginya harga tiket pesawat. Apalagi, masih ada komponen lain yang juga berpengaruh terhadap penentuan harga tiket, seperti biaya bandara yang sejak 2016 juga sudah beberapa kali mengalami kenaikan.
Jika benar tidak efisien, menurut dia, Pemerintah juga berhak memberikan teguran kepada maskapai yang melakukan pengadaan pesawat baru lagi, kecuali untuk peremajaan.
"Misal, pesawat yang sudah berusia delapan tahun diremajakan dengan mendatangkan yang usianya 0 tahun, itu oke saja," kata dia.
Untuk meningkatkan efisiensi, hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong maskapai untuk membuka jalur penerbangan internasional, tidak seperti sekarang, ketika airlines hanya bermain di tingkat domestik.
Kalau pun membuka jalur internasional, hanya sebatas Singapura dan Kuala Lumpur, meski sebenarnya kesempatan resiprokal dengan banyak negara, menurut Alvin sangat terbuka.
"Lihat saja maskapai Qatar terbang ke Indonesia, mengapa Indonesia tidak? Hal-hal seperti itu yang perlu kita kembangkan, jangan hanya sibuk bermain di dalam negeri," katanya.
Terkait seringnya avtur menjadi kambing hitam atas tingginya harga tiket pesawat, Alvin melihat sebagai justifikasi terhadap masuknya swasta untuk pasar avtur domestik.
Hal ini terlihat, karena setiap kali menyebut avtur sebagai penyebab tingginya harga tiket pesawat, selalu dibarengi dengan pernyataan mengenai perlunya pemain baru.
"Saya menduga ujung-ujungnya ada pemain baru yang mau masuk. Jadi maunya masuk hanya di Soekarno Hatta. Padahal konsumsi avtur di Soekarno Hatta adalah 60 persen dari dari konsumsi avtur di Indonesia," kata dia.
"Pada umumnya di bawah 10 jam, itu kan tidak efisien. Yang efisien, dari jumlah pesawat, terbang sedikitnya 12 kali sehari. Nah, kalau memang tidak efisien, ya kurangi jumlah pesawatnya,” kata Alvin melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Komponen pengadaan pesawat, lanjutnya, memang sangat tinggi, karena seluruh biaya sewa pesawat mempergunakan mata uang euro atau dolar AS.
"Maskapai ini kan pesawatnya sewa semua. Nilai tukar rupiah terhadap Dolar sejak 2016 sudah turun. Ketika tarif batas atas (TBA) ditetapkan pada 2016 lalu, asumsinya kurs Dolar adalah Rp12 ribu, sekarang Rp14 ribu," ujar Alvin yang juga pengamat penerbangan.
Itulah sebabnya, dia tidak setuju jika avtur selalu menjadi "kambing hitam" atas tingginya harga tiket pesawat. Apalagi, masih ada komponen lain yang juga berpengaruh terhadap penentuan harga tiket, seperti biaya bandara yang sejak 2016 juga sudah beberapa kali mengalami kenaikan.
Jika benar tidak efisien, menurut dia, Pemerintah juga berhak memberikan teguran kepada maskapai yang melakukan pengadaan pesawat baru lagi, kecuali untuk peremajaan.
"Misal, pesawat yang sudah berusia delapan tahun diremajakan dengan mendatangkan yang usianya 0 tahun, itu oke saja," kata dia.
Untuk meningkatkan efisiensi, hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong maskapai untuk membuka jalur penerbangan internasional, tidak seperti sekarang, ketika airlines hanya bermain di tingkat domestik.
Kalau pun membuka jalur internasional, hanya sebatas Singapura dan Kuala Lumpur, meski sebenarnya kesempatan resiprokal dengan banyak negara, menurut Alvin sangat terbuka.
"Lihat saja maskapai Qatar terbang ke Indonesia, mengapa Indonesia tidak? Hal-hal seperti itu yang perlu kita kembangkan, jangan hanya sibuk bermain di dalam negeri," katanya.
Terkait seringnya avtur menjadi kambing hitam atas tingginya harga tiket pesawat, Alvin melihat sebagai justifikasi terhadap masuknya swasta untuk pasar avtur domestik.
Hal ini terlihat, karena setiap kali menyebut avtur sebagai penyebab tingginya harga tiket pesawat, selalu dibarengi dengan pernyataan mengenai perlunya pemain baru.
"Saya menduga ujung-ujungnya ada pemain baru yang mau masuk. Jadi maunya masuk hanya di Soekarno Hatta. Padahal konsumsi avtur di Soekarno Hatta adalah 60 persen dari dari konsumsi avtur di Indonesia," kata dia.