Presiden Joko Widodo akhirnya turun tangan menengahi persoalan tingginya harga tiket pesawat untuk penerbangan domestik, dengan menekan salah satu komponen biaya yaitu avtur.
Hal itu membawa angin segar bagi masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi dan sangat membutuhkan transportasi udara. Juga bagi sektor pariwisata yang paling telak terkena imbas kenaikan harga tiket itu.
Sumatera Barat menjadi salah satu daerah yang terparah terimbas kenaikan harga tiket itu karena kunjungan ke daerah itu sangat mengandalkan transportasi udara.
Kepala Dinas Pariwisata Sumbar Oni Yulfian memprediksi penurunan jumlah kunjungan wisatawan untuk Januari 2019 sekitar 25-35 persen dibanding periode yang sama tahun 2018.
Hal itu sangat mencemaskan karena target kunjungan wisatawan yang diberikan Kementerian Pariwisata pada 2019 untuk Sumbar cukup tinggi yaitu 8,5 juta wisatawan nusantara dan 100 ribu wisatawan mancanegara.
Jika melihat perkembangan keadaan saat ini, dengan kebijakan tarif atas yang diterapkan maskapai full service dan diikuti Low-cost carrier, target itu sangat jauh panggang dari api.
Yang lebih mencemaskan, pihak terkait yang sedang giat-giatnya membangun pariwisata daerah bisa patah arang. Upaya bertahun-tahun yang dilakukan pemerintah daerah untuk menciptakan masyarakat sadar wisata bisa hancur total.
Untuk apa mengelola destinasi dan even wisata jika tidak ada wisatawan yang akan datang?
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menilai, penurunan harga tiket adalah jalan paling cepat untuk menggenjot kembali pariwisata Ranah Minang. Karena itu ia sangat berharap penurunan harga avtur yang diwacanakan Presiden Joko Widodo bisa terealisasi secepatnya.
Penurunan itu diharapkan bisa langsung direspon maskapai dengan menurunkan harga tiket hingga menjadi "normal" kembali.
Tetapi benarkah penurunan harga avtur itu bisa secara langsung menurunkan harga tiket? - Mungkin, karena salah satu komponen penetapan harga tiket adalah biaya bahan bakar. Namun mengharapkan harga tiket kembali "normal" seperti sebelum 2019 rasanya tidak akan mungkin.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Drajad Wibowo mengatakan proporsi biaya avtur sangat kecil dari keseluruhan harga tiket pesawat yaitu hanya sekitar 3,6 persen.
Pengecualian memang bisa bagi maskapai yang menerapkan bisnis low cost carrier (LCC), karena untuk LCC terdapat peningkatan komponen bahan bakar dalam alokasi harga tiket sebagai akibat penekanan berbagai biaya.
Namun secara umum ia menilai terjadi kekeliruan pandangan jika berpendapat mengutak-atik harga avtur bisa menurunkan harga tiket karena efeknya tidak akan signifikan.
Pendapat senada disampaikan Ketua Umum INACA IGN Askhara Danadiputra mengatakan beban terbanyak dalam penetapan harga tiket itu adalah pengadaan pesawat, baik yang dilakukan melalui pembelian maupun mekanisme lain seperti sewa.
Begitu juga dengan "airport cost", seperti harga parkir pesawat, biaya landing, garbarata dan "check in" yang naik sebesar 15-20 persen pada Oktober 2018, yang ikut berpengaruh terhadap kenaikan harga tiket pesawat.
Merujuk penjelasan itu, kemungkinan harga tiket akan turun tentu saja ada, tetapi tidak akan signifikan. Data salah satu aplikasi penjualan daring pada Kamis (14/2) sekitar pukul 12.06 WIB, harga tiket untuk penerbangan Jakarta-Padang untuk tanggal 20 Februari 2019 yang termurah adalah maskapai Sriwijaya Air yaitu Rp1.038.200/pax. Harga itu untuk penerbangan malam pukul 19.55 WIB dari Cengkareng.
Harga termurah untuk maskapai Lion Air adalah penerbangan pukul 17.55 WIB dengan tarif Rp1.258.000/pax.
Sementara untuk Citylink penerbangan malam 17.10 WIB dari Halim Perdana Kusuma adalah yang paling murah tiketnya yaitu Rp1.315.600/pax.
Dan untuk penerbangan full service Garuda Indonesia, tiket termurah adalah Rp1.561.700 untuk penerbangan malam pukul 20.00 dari Cengkareng. Harga itu masih relatif lebih mahal dibandingkan sebelum Januari 2019.
Maskapai seakan tetap bertahan dengan strategi aturan batas atas sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Tarif Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Berlahan-lahan masyarakat akan imun terhadap kenaikan harga tiket itu dan pada akhirnya menerima harga mahal yang ditetapkan saat ini sebagai harga "normal".
Maskapai dan masyarakat seakan adu kuat untuk bertahan. Maskapai tentu merugi dengan kondisi lengang penumpang saat ini, namun jika bisa bertahan, mereka akan mendapatkan harga yang diharapkan.
Sementara masyarakat bertahan untuk tidak menggunakan pesawat jika tidak terpaksa benar. Bus menjadi alternatif untuk mencapai daerah tujuan, meski harus menempuh perjalanan yang lebih lama.
Jika sanggup bertahan untuk tidak naik pesawat, kemungkinan bisa "memaksa" maskapai menurunkan harga karena hitung-hitung ekonomi.
Tapi jika masyarakat tidak sanggup bertahan dan imun terhadap harga tiket mahal, maka maskapai bisa leluasa menerapkan tarif batas atas.
Sayangnya, adu kuat antara masyarakat dengan maskapai itu sangat buruk efeknya bagi perekonomian daerah. Selama "adu kuat" berlangsung hampir semua lini yang berkaitan dengan penerbangan menelan kerugian tidak sedikit.
General Manager Bandara Minangkabau Dwi Ananda menyebut penurunan jumlah penumpang dan pergerakan pesawat berdampak pada pendapatan Angkasa Pura II karena 40 persen pendapatan itu berasal dari kontribusi pajak bandara (PSC).
Meskipun ia menyebut tidak semua penurunan penumpang diakibatkan karena satu faktor, yaitu naiknya harga tiket pesawat.
Pemilik usaha makanan di BIM juga merasakan kerugian lebih dari 50 persen. Pengelola Rumah Makan Padang di Bandara Minangkabau Risa misalnya mengaku sebelumnya ia bisa mengantongi omzet hingga Rp7 juta per hari namun sejak Januari bisa mengantongi Rp3 juta per hari saja sudah syukur.
Kerugian itu berlanjut pada usaha UMKM di Sumbar, terutama yang menggantungkan jual beli pada wisatawan yang datang. Jual beli menurun drastis hingga 40 persen.
Asosiasi Pengusaha Perjalanan Wisata (Asita) Sumbar juga dirugikan dengan kebijakan tarif batas atas itu. Ketua Asita Sumbar Ian Hanafiah menyebut sebagian anggotanya terpaksa menutup kantor dan membuka pelayanan di rumah pribadi. Makin lama, anggota Asita bisa saja harus gulung tikar.
Hotel juga merugi karena tingkat hunian Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang bulan Januari 2019 di Sumbar mencapai rata-rata 44,24 persen atau mengalami penurunan sebesar 14,35 poin dibanding bulan Desember 2018 yang tercatat sebesar 58,59 persen.
Dibandingkan Januari 2018, TPK Januari 2019 mengalami penurunan sebesar 3,10. persen. Sedangkan untuk Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel Non Bintang bulan Januari 2019 mencapai rata-rata 27,02 persen atau mengalami penurunan sebesar 7,37 poin dibanding bulan Desember 2018 yang tercatat sebesar 34,39 persen.
Bila dibandingkan dengan bulan Januari 2018, TPK bulan januari 2019 mengalami penurunan sebesar 1,53 persen.
Data Dinas Pariwisata setempat, jumlah penumpang di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) pada Januari 2019 mencapai 271.674 orang, mengalami penurunan sebesar 29,57 persen dibanding Desember 2018 yang tercatat sebanyak 385.747 orang.
Bila dibandingkan dengan bulan Januari 2018, yang tercatat 353.007 orang, jumlah penumpang bulan Januari 2019 mengalami penurunan sebesar 23,04 persen.
Oni menyebut, "adu kuat" itu tidak boleh berlanjut lebih lama karena nilai kerugiannya akan sangat besar. (*)
Hal itu membawa angin segar bagi masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi dan sangat membutuhkan transportasi udara. Juga bagi sektor pariwisata yang paling telak terkena imbas kenaikan harga tiket itu.
Sumatera Barat menjadi salah satu daerah yang terparah terimbas kenaikan harga tiket itu karena kunjungan ke daerah itu sangat mengandalkan transportasi udara.
Kepala Dinas Pariwisata Sumbar Oni Yulfian memprediksi penurunan jumlah kunjungan wisatawan untuk Januari 2019 sekitar 25-35 persen dibanding periode yang sama tahun 2018.
Hal itu sangat mencemaskan karena target kunjungan wisatawan yang diberikan Kementerian Pariwisata pada 2019 untuk Sumbar cukup tinggi yaitu 8,5 juta wisatawan nusantara dan 100 ribu wisatawan mancanegara.
Jika melihat perkembangan keadaan saat ini, dengan kebijakan tarif atas yang diterapkan maskapai full service dan diikuti Low-cost carrier, target itu sangat jauh panggang dari api.
Yang lebih mencemaskan, pihak terkait yang sedang giat-giatnya membangun pariwisata daerah bisa patah arang. Upaya bertahun-tahun yang dilakukan pemerintah daerah untuk menciptakan masyarakat sadar wisata bisa hancur total.
Untuk apa mengelola destinasi dan even wisata jika tidak ada wisatawan yang akan datang?
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menilai, penurunan harga tiket adalah jalan paling cepat untuk menggenjot kembali pariwisata Ranah Minang. Karena itu ia sangat berharap penurunan harga avtur yang diwacanakan Presiden Joko Widodo bisa terealisasi secepatnya.
Penurunan itu diharapkan bisa langsung direspon maskapai dengan menurunkan harga tiket hingga menjadi "normal" kembali.
Tetapi benarkah penurunan harga avtur itu bisa secara langsung menurunkan harga tiket? - Mungkin, karena salah satu komponen penetapan harga tiket adalah biaya bahan bakar. Namun mengharapkan harga tiket kembali "normal" seperti sebelum 2019 rasanya tidak akan mungkin.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Drajad Wibowo mengatakan proporsi biaya avtur sangat kecil dari keseluruhan harga tiket pesawat yaitu hanya sekitar 3,6 persen.
Pengecualian memang bisa bagi maskapai yang menerapkan bisnis low cost carrier (LCC), karena untuk LCC terdapat peningkatan komponen bahan bakar dalam alokasi harga tiket sebagai akibat penekanan berbagai biaya.
Namun secara umum ia menilai terjadi kekeliruan pandangan jika berpendapat mengutak-atik harga avtur bisa menurunkan harga tiket karena efeknya tidak akan signifikan.
Pendapat senada disampaikan Ketua Umum INACA IGN Askhara Danadiputra mengatakan beban terbanyak dalam penetapan harga tiket itu adalah pengadaan pesawat, baik yang dilakukan melalui pembelian maupun mekanisme lain seperti sewa.
Begitu juga dengan "airport cost", seperti harga parkir pesawat, biaya landing, garbarata dan "check in" yang naik sebesar 15-20 persen pada Oktober 2018, yang ikut berpengaruh terhadap kenaikan harga tiket pesawat.
Merujuk penjelasan itu, kemungkinan harga tiket akan turun tentu saja ada, tetapi tidak akan signifikan. Data salah satu aplikasi penjualan daring pada Kamis (14/2) sekitar pukul 12.06 WIB, harga tiket untuk penerbangan Jakarta-Padang untuk tanggal 20 Februari 2019 yang termurah adalah maskapai Sriwijaya Air yaitu Rp1.038.200/pax. Harga itu untuk penerbangan malam pukul 19.55 WIB dari Cengkareng.
Harga termurah untuk maskapai Lion Air adalah penerbangan pukul 17.55 WIB dengan tarif Rp1.258.000/pax.
Sementara untuk Citylink penerbangan malam 17.10 WIB dari Halim Perdana Kusuma adalah yang paling murah tiketnya yaitu Rp1.315.600/pax.
Dan untuk penerbangan full service Garuda Indonesia, tiket termurah adalah Rp1.561.700 untuk penerbangan malam pukul 20.00 dari Cengkareng. Harga itu masih relatif lebih mahal dibandingkan sebelum Januari 2019.
Maskapai seakan tetap bertahan dengan strategi aturan batas atas sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Tarif Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Berlahan-lahan masyarakat akan imun terhadap kenaikan harga tiket itu dan pada akhirnya menerima harga mahal yang ditetapkan saat ini sebagai harga "normal".
Maskapai dan masyarakat seakan adu kuat untuk bertahan. Maskapai tentu merugi dengan kondisi lengang penumpang saat ini, namun jika bisa bertahan, mereka akan mendapatkan harga yang diharapkan.
Sementara masyarakat bertahan untuk tidak menggunakan pesawat jika tidak terpaksa benar. Bus menjadi alternatif untuk mencapai daerah tujuan, meski harus menempuh perjalanan yang lebih lama.
Jika sanggup bertahan untuk tidak naik pesawat, kemungkinan bisa "memaksa" maskapai menurunkan harga karena hitung-hitung ekonomi.
Tapi jika masyarakat tidak sanggup bertahan dan imun terhadap harga tiket mahal, maka maskapai bisa leluasa menerapkan tarif batas atas.
Sayangnya, adu kuat antara masyarakat dengan maskapai itu sangat buruk efeknya bagi perekonomian daerah. Selama "adu kuat" berlangsung hampir semua lini yang berkaitan dengan penerbangan menelan kerugian tidak sedikit.
General Manager Bandara Minangkabau Dwi Ananda menyebut penurunan jumlah penumpang dan pergerakan pesawat berdampak pada pendapatan Angkasa Pura II karena 40 persen pendapatan itu berasal dari kontribusi pajak bandara (PSC).
Meskipun ia menyebut tidak semua penurunan penumpang diakibatkan karena satu faktor, yaitu naiknya harga tiket pesawat.
Pemilik usaha makanan di BIM juga merasakan kerugian lebih dari 50 persen. Pengelola Rumah Makan Padang di Bandara Minangkabau Risa misalnya mengaku sebelumnya ia bisa mengantongi omzet hingga Rp7 juta per hari namun sejak Januari bisa mengantongi Rp3 juta per hari saja sudah syukur.
Kerugian itu berlanjut pada usaha UMKM di Sumbar, terutama yang menggantungkan jual beli pada wisatawan yang datang. Jual beli menurun drastis hingga 40 persen.
Asosiasi Pengusaha Perjalanan Wisata (Asita) Sumbar juga dirugikan dengan kebijakan tarif batas atas itu. Ketua Asita Sumbar Ian Hanafiah menyebut sebagian anggotanya terpaksa menutup kantor dan membuka pelayanan di rumah pribadi. Makin lama, anggota Asita bisa saja harus gulung tikar.
Hotel juga merugi karena tingkat hunian Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang bulan Januari 2019 di Sumbar mencapai rata-rata 44,24 persen atau mengalami penurunan sebesar 14,35 poin dibanding bulan Desember 2018 yang tercatat sebesar 58,59 persen.
Dibandingkan Januari 2018, TPK Januari 2019 mengalami penurunan sebesar 3,10. persen. Sedangkan untuk Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel Non Bintang bulan Januari 2019 mencapai rata-rata 27,02 persen atau mengalami penurunan sebesar 7,37 poin dibanding bulan Desember 2018 yang tercatat sebesar 34,39 persen.
Bila dibandingkan dengan bulan Januari 2018, TPK bulan januari 2019 mengalami penurunan sebesar 1,53 persen.
Data Dinas Pariwisata setempat, jumlah penumpang di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) pada Januari 2019 mencapai 271.674 orang, mengalami penurunan sebesar 29,57 persen dibanding Desember 2018 yang tercatat sebanyak 385.747 orang.
Bila dibandingkan dengan bulan Januari 2018, yang tercatat 353.007 orang, jumlah penumpang bulan Januari 2019 mengalami penurunan sebesar 23,04 persen.
Oni menyebut, "adu kuat" itu tidak boleh berlanjut lebih lama karena nilai kerugiannya akan sangat besar. (*)