Suatu hal negatif yang paling dirasakan masyarakat millenial karena perkembangan teknologi informasi adalah maraknya berita bohong atau seringkali disebut hoaks, terutama di media sosial.
Berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya itu hampir setiap hari menyebar di media sosial. Parahnya, berita yang salah satu cirinya adalah bombastis itu, menyebar sangat cepat.
Korban berita hoaks itu bukan hanya masyarakat berpendidikan rendah, tetapi juga masyarakat terdidik bahkan tidak jarang telah menyandang gelar profesor.
Antisipasi terhadap berita hoaks itu sudah harus menjadi perhatian semua pihak mengingat perkembangan pengguna internet di Indonesia meningkat sangat pesat.
Laporan Tetra Pak Index 2017 yang belum lama diluncurkan, mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. Sementara hampir setengahnya adalah penggila media sosial, atau berkisar di angka 40 persen.
Angka ini meningkat lumayan dibanding tahun lalu, di 2016 kenaikan penguna internet di Indonesia berkisar 51 persen atau sekitar 45 juta pengguna, diikuti dengan pertumbuhan sebesar 34 persen pengguna aktif media sosial. Sementara pengguna yang mengakses sosial media melalui mobile berada di angka 39 persen.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI Hendry Chairudin Bangun mengatakan salah satu benteng yang bisa diharapkan untuk mengantisipasi beredarnya berita hoaks adalah media mainstream.
"Media harus memberikan ruang kepada generasi milenial agar mampu membedakan berita yang benar dan hoaks. Jangan sampai mereka menganggap seluruh berita yang ada di media sosial benar," katanya saat diskusi publik tentang "Jurnalisme Media Publik di Era Milenial" dalam rangkaian kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Padang, Selasa.
Menurutnya bentuk ruang yang diberikan kepada kaum milenial ini seperti penyajian berita yang menarik dan sesuai dengan selera mereka.
"Inilah menjadi kegalauan media mainstream saat ini dalam menghadapi kaum milenial karena mereka berbeda dengan generasi yang terdahulu. Mereka menginginkan sesuatu yang instan," ujarnya.
Ia mengatakan generasi milenial suka dengan informasi yang mereka dapatkan baik di media sosial namun kelemahannya mereka langsung percaya dengan berita tersebut.
Dalam hal ini media berperan dalam membentengi generasi muda agar tidak terjerumus mengonsumsi hoaks dengan cara memberikan berita yang benar, sesuai dengan aturan jurnalistik yang ada.
"Sehingga media mainstream menjadi rujukan bagi generasi muda yang membutuhkan berita yang valid dan dengan sendirinya berita hoaks yang ada di media sosial dapat terpinggirkan," kata dia.
Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengatakan generasi mileneal merupakan tantangan tersendiri bagi media mainstream untuk dapat merangkul mereka.
Ia mengakui kaum milenial banyak terjerumus mengonsumsi hoaks yang ada di media sosial. Dalam hal ini media memiliki peran tersendiri dalam mengedukasi generasi muda agar dapat melindungi diri mereka dari hoaks.
"Tujuannya generasi milenial dapat membedakan secara sendiri bagaimana membedakan hoaks dan berita yang benar," katanya.
Selain media, Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika bidang Komunikasi Publik Freddy H Tulung menyebutkan hubungan masyarakat (humas) pemerintah juga memiliki peran untuk membentengi masyarakat dari berita hoaks.
Rata-rata pemerintah mulai dari pusat hingga daerah memiliki website resmi yang bisa dimanfaatkan untuk memberikan edukasi dan pencerahan kepada masyarakat.
Menurutnya peran itu muncul seiring terjadinya revolusi informasi karena berkembangnya teknologi, salah satunya dengan makin banyak sarana penyebaran informasi seperti website dan media sosial.
Informasi yang disampaikan oleh humas seharusnya bisa memberikan pemahaman dan pencerahan kepada masyarakat karena menurut penelitian, website atau laman resmi milik pemerintah diakses cukup banyak masyarakat.
Hal itu sekaligus untuk mengantisipasi berita palsu atau hoaks yang banyak menyebar melalui media sosial.
Sementara itu Kepala Biro Humas Sekretariat Provinsi Sumbar Jasman mengatakan tugas humas saat ini makin berat dengan banyaknya informasi bohong atau hoaks yang berpotensi merugikan pemerintah dan masyarakat.
"Humas harus aktif untuk bisa mengantisipasi hoaks itu," kata dia.(*)
Berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya itu hampir setiap hari menyebar di media sosial. Parahnya, berita yang salah satu cirinya adalah bombastis itu, menyebar sangat cepat.
Korban berita hoaks itu bukan hanya masyarakat berpendidikan rendah, tetapi juga masyarakat terdidik bahkan tidak jarang telah menyandang gelar profesor.
Laporan Tetra Pak Index 2017 yang belum lama diluncurkan, mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. Sementara hampir setengahnya adalah penggila media sosial, atau berkisar di angka 40 persen.
Angka ini meningkat lumayan dibanding tahun lalu, di 2016 kenaikan penguna internet di Indonesia berkisar 51 persen atau sekitar 45 juta pengguna, diikuti dengan pertumbuhan sebesar 34 persen pengguna aktif media sosial. Sementara pengguna yang mengakses sosial media melalui mobile berada di angka 39 persen.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI Hendry Chairudin Bangun mengatakan salah satu benteng yang bisa diharapkan untuk mengantisipasi beredarnya berita hoaks adalah media mainstream.
"Media harus memberikan ruang kepada generasi milenial agar mampu membedakan berita yang benar dan hoaks. Jangan sampai mereka menganggap seluruh berita yang ada di media sosial benar," katanya saat diskusi publik tentang "Jurnalisme Media Publik di Era Milenial" dalam rangkaian kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Padang, Selasa.
Menurutnya bentuk ruang yang diberikan kepada kaum milenial ini seperti penyajian berita yang menarik dan sesuai dengan selera mereka.
Ia mengatakan generasi milenial suka dengan informasi yang mereka dapatkan baik di media sosial namun kelemahannya mereka langsung percaya dengan berita tersebut.
Dalam hal ini media berperan dalam membentengi generasi muda agar tidak terjerumus mengonsumsi hoaks dengan cara memberikan berita yang benar, sesuai dengan aturan jurnalistik yang ada.
"Sehingga media mainstream menjadi rujukan bagi generasi muda yang membutuhkan berita yang valid dan dengan sendirinya berita hoaks yang ada di media sosial dapat terpinggirkan," kata dia.
Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengatakan generasi mileneal merupakan tantangan tersendiri bagi media mainstream untuk dapat merangkul mereka.
Ia mengakui kaum milenial banyak terjerumus mengonsumsi hoaks yang ada di media sosial. Dalam hal ini media memiliki peran tersendiri dalam mengedukasi generasi muda agar dapat melindungi diri mereka dari hoaks.
"Tujuannya generasi milenial dapat membedakan secara sendiri bagaimana membedakan hoaks dan berita yang benar," katanya.
Selain media, Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika bidang Komunikasi Publik Freddy H Tulung menyebutkan hubungan masyarakat (humas) pemerintah juga memiliki peran untuk membentengi masyarakat dari berita hoaks.
Rata-rata pemerintah mulai dari pusat hingga daerah memiliki website resmi yang bisa dimanfaatkan untuk memberikan edukasi dan pencerahan kepada masyarakat.
Menurutnya peran itu muncul seiring terjadinya revolusi informasi karena berkembangnya teknologi, salah satunya dengan makin banyak sarana penyebaran informasi seperti website dan media sosial.
Hal itu sekaligus untuk mengantisipasi berita palsu atau hoaks yang banyak menyebar melalui media sosial.
Sementara itu Kepala Biro Humas Sekretariat Provinsi Sumbar Jasman mengatakan tugas humas saat ini makin berat dengan banyaknya informasi bohong atau hoaks yang berpotensi merugikan pemerintah dan masyarakat.
"Humas harus aktif untuk bisa mengantisipasi hoaks itu," kata dia.(*)