Padang, (Antara Sumbar) - Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) Sumatera Barat menggelar pertunjukan dan pelatihan seni ke beberapa sekolah menengah yang ada di daerah tersebut melalui program Nan Tumpah Masuk Sekolah 2017 (NTMS #7).
Manajer Produksi KSNT, Yunisa Dwiranda di Padang, Minggu, mengatakan selain melakukan pertunjukan pihaknya juga melakukan pelatihan teater, musikalisasi puisi terhadap para siswa.
"Selain sebagai ajang pelatihan, program NTMS dirancang untuk mendekatkan seni pertunjukan kepada generasi muda. Itulah kenapa kami sengaja membawa langsung pertunjukan ini ke sekolah-sekolah," katanya.
Ia menyebutkan, pada tahun ini NTMS #7 diselenggarakan pada empat sekolah menengah di Sumbar, yaitu SMK N 1 Sumbar, SMA N 7 Padang, SMA N 1 Payakumbuh dan SMA N 2 Payakumbuh pada tanggal 17, 18, 24, dan 25 November 2017.
Menurut Yunisa, sejak awal program NTMS dirancang khusus sebagai usaha jemput bola untuk membangun iklim penonton dengan cara menggelar pertunjukan di ruang publik atau sekolah yang tidak berbayar.
Manager Artistik KSNT, Fajri Chaniago menuturkan materi pelatihan pada NTMS #7 cukup lengkap, ditambah dengan waktu yang disediakan adalah selama satu hari penuh untuk sekolah yang terpilih.
Materi yang bakal diberikan adalah materi dasar seni pertunjukan seperti: materi penyutradaraan, pemeranan, artistik panggung, make up dan kostum, musik panggung dan materi-materi penciptaan musikalisasi puisi.
"Melalui pelatihan ini diharapkan mampu menjadi pemantik semangat siswa-siswi untuk menikmati proses berkesenian di sekolah mereka," kata dia.
Sementara itu pertujukan yang digelar dalam kegiatan ini berjudul 'Bincang-bicang Mmsfthhhftttzz!' yang ditulis dan sutradarai oleh Ivan Harley. Lakon ini mencoba menyorot persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan sekolah secara khusus, dan dunia pendidikan secara umum.
Ivan Harley menyatakan, dalam garapan penyutradaraan ini, ia akan merespon persoalan mengenai program pendidikan karakter yang di gaung-gaungkan oleh pemerintah namun belum berjalan dengan baik dan semestinya. Ivan menambahkan, ia mencoba menafsirkan dan mengkritik kebijakan tersebut melalui studi lapangan yang ia lakukan di beberapa sekolah di Sumatera Barat.
“Disini saya mengambil sudut pandang dari siswa-siswi sendiri. Dimana dalam menjalankan program ini, siswa malah menjadi lebih tertekan. Salah satunya disebabkan karena jam pelajaran yang dimulai dari pukul 7.00 sampai 16.00," katanya.
Menurut dia, dampak dari padatnya jam perlajaran tersebut ialah siswa tidak lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal-hal yang mendukung pembentukan karakter mereka sendiri seperti mengembangkan keahliannya di bidang seni-budaya, olahraga, sains, dan lainnya. (*)