Jakarta, (Antara Sumbar) - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat harus benar-benar melindungi seluruh kalangan masyarakat adat dan bukan hanya menguntungkan segelintir kelompok yang memanfaatkannya untuk kepentingan sepihak.

        "Sekarang ini masyarakat adat kerap dikalahkan dalam proses hukum," kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Subagyo dalam rilis, Rabu.

        Menurut dia, hal tersebut antara lain karena dalam sejumlah proses hukum ternyata tradisi masyarakat adat diketahui masih belum memiliki payung hukum.

        Politisi Partai Golkar itu mengingatkan RUU Masyarakat Adat merupakan upaya negara dalam memberikan kepastian hukum kepada setiap warganya, termasuk masyarakat adat.

        Untuk itu, ia juga tidak menginginkan adanya kelompok kepentingan yang mengatasnamakan masyarakat adat tetapi malah memobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu.

        Perilaku demikan, lanjutnya, dinilai malah merusak tatanan masyarakat adat sehingga berbagai kejadian dan fenomena seperti itu seharusnya sudah bisa diantisipasi terlebih dahulu.

        Sebagaimana diwartakan, RUU Masyarakat Adat dan kini sedang digodok di DPR RI dinilai berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika karena setiap masyarakat adat di berbagai daerah merupakan fondasi bagi pilar kebangsaan nasional.

        "Kita tidak mungkin bicara Bhinneka Tunggal Ika kalau kita mengabaikan masyarakat adat ini. Itu adalah fondasi Bhinneka Tunggal Ika," kata Anggota Badan Legislasi DPR RI Muchtar Luthfi Andi Mutty.

        Muchtar Luthfi Andi Mutty berasal dari Fraksi Partai Nasdem yang juga merupakan pengusul RUU tersebut.

        Hingga kini, Baleg DPR RI masih menyempurnakan RUU Masyarakat Adat antara lain dengan telah melakukan rapat harmonisasi dengan mendengarkan paparan dari tim ahli.

        Hal tersebut, lanjutnya, juga untuk mendengarkan masukan mengenai hasil pengkajian, pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tersebut.

        Menurut dia, Bhinneka Tunggal Ika adalah wawasan kebangsaan Indonesia yang ada dalam tataran konseptual, sedangkan masyarakat hukum adat adalah perwujudan dari wawasan kebangsaan itu.

        Sebelumnya, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan pengelolaan kelautan dan perikanan harus melibatkan masyarakat adat dan jangan mengabaikannya, apalagi UU No 23 tahun 2014 telah mengakui dan melindungi hukum adat dalam budidaya kelautan dan perikanan demi terciptanya pembangunan berkelanjutan.

        "Permendagri no 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat telah memperkuat pengakuan dan perlindungan hukum adat dalam pengelolaan hasil kelautan dan perikanan," kata Dirjen Brahmantya, saat membuka peluncuran buku "Laut dan Masyarakat Adat" di Jakarta, Selasa (5/9). (*)

Pewarta : Muhammad Razi Rahman
Editor :
Copyright © ANTARA 2024