Raut lelah tersirat dari wajah Darma (55), salah seorang perajin pengolah ikan asin di Kelurahan Pasia Nan Tigo, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat.
Sejak kenaikan harga garam yang terjadi belakangan, produksi ikan asin miliknya turun drastis hingga 50 persen.
"Harga garam naik, produksi merosot, sementara kebutuhan hidup semakin meningkat," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Darma yang sudah delapan tahun menjalani profesi sebagai perajin pengolah ikan asin skala rumah tangga itu mengungkapkan, biasanya dalam satu hari ia dapat memproduksi hingga 100 kilogram ikan asin jenis teri, namun sejak kenaikan harga garam produksinya merosot hanya sekitar 50 kilogram.
Untuk 100 kilogram ikan asin jenis teri, ia membutuhkan lebih kurang 30 kilogram garam. Sehingga untuk memproduksi 50 kilogram ikan asin maka kebutuhan garamnya adalah 15 kilogram.
"Satu karung garam yang berisi 50 kilogram, biasanya saya beli dengan harga Rp200 ribu, sekarang mencapai Rp325 ribu," ujarnya.
Terbatasnya daya beli terhadap harga garam yang mahal mengakibatkan penurunan jumlah produksi, meskipun demikian kenaikan harga garam tidak mempengaruhi terhadap kualitas ikan asin.
Jumlah garam yang digunakan untuk memproduksi ikan asin tidak dikurangi, masih sama seperti sebelumnya, kualitas tetap terjaga, meski harga garam mahal, katanya.
Dalam proses pembuatan ikan asin, kata Darma, kadar garam dan lamanya proses perendaman akan mempengaruhi kualitas dan rasa ikan asin.
Semakin lama ikan direndam atau direbus dalam larutan garam maka kadar keasinannya akan bertambah. Oleh karena itu, ia tidak mengurangi penggunaan garam.
Hal itu dilakukan, supaya tidak ada kekecewaan terhadap konsumen, walaupun produksi sedikit berkurang, tetapi konsumen tetap puas mengonsumsi ikan asin produksinya.
Ikan asin yang telah jadi itu kemudian dipasarkan ke pengepul yang ada di Pasar Raya Padang seharga Rp35 ribu per kilogram.
Darma berharap kenaikan harga garam dapat segera diatasi oleh pemerintah, agar kembali normal dan ia pun bisa berproduksi seperti sebelumnya.
"Tentu saya berharap harga garam segera dapat kembali normal," katanya.
Sementara Kepala Dinas Perdagangan Kota Padang, Endrizal mengatakan, harga garam di daerah itu naik karena kurangnya persediaan diakibatkan produksi garam yang dipasok dari Surabaya berkurang.
"Hal itu karena daerah kita tidak memproduksi garam, sehingga sangat bergantung pada produksi garam yang dipasok dari Surabaya," ujar dia.
Kenaikan harga garam, katanya, sudah terjadi selama berminggu-minggu. Kenaikannya cukup signifikan dari Rp3.000 per kilogram menjadi Rp7.500 per kilogram.
Pihaknya, katanya, sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat agar persoalan tersebut dapat diselesaikan.
"Selain itu, juga telah berkoordinasi dengan Bulog agar dapat menyediakan garam untuk kebutuhan di masyarakat," tambahnya.
Sedangkan, Wali Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah mengatakan, Indonesia memiliki laut yang luas, kesempatan untuk memanfaatkan potensi laut tersebut memerlukan langkah-langkah yang strategis dalam rangka mengurangi kelangkaan garam.
Terutama di Kota Padang, ujarnya, yang memiliki pantai dengan garis panjang lebih dari 84 kilometer, sekiranya dapat dimanfaatkan agar dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan garam secara nasional.
"Di Padang, selama ini kita bertindak sebagai pemakai bukan yang memproduksi," katanya.
Sehingga, untuk mengatasi kebutuhan garam, ia merencanakan akan melakukan diskusi dengan melibatkan perguruan tinggi, para akademisi yang ahli dalam bidang kelautan dan stakeholder lainnya.
Dengan tujuan dapat bersinergi dan mengeluarkan pemikiran serta gagasan yang inovatif, dalam rangka mengoptimalkan potensi laut di Kota Padang terutama untuk mengatasi naiknya harga garam akibat dari kurangnya pasokan.
"Ke depan kita upayakan agar Padang dapat memproduksi garam sendiri," ujarnya.
Sebelumnya Mantan Komisaris Utama PT Garam, Sudirman Saad menyarankan perusahaan swasta membangun pabrik untuk memproduksi garam industri yang tidak bisa dipenuhi dari produksi petambak garam lokal.
Saat ini, proses produksi garam di Indonesia masih terbilang konvensional dengan menggunakan sistem evaporasi, yakni air laut dialirkan ke dalam tambak kemudian air yang ada dibiarkan menguap, setelah beberapa lama kemudian akan tersisa garam yang mengendap di dasar tambak tersebut.
Dengan demikian, produktivitas garam ditentukan oleh cuaca sehingga jika kemarau basah, berpotensi terjadi kelangkaan garam.
Sudirman mengatakan pemerintah sudah saatnya membuat kebijakan agar pelaku usaha dan industri bisa membangun pabrik, salah satunya memberikan insentif atas bea masuk impor mesin pabrik produksi garam.
Sementara garam impor konsumsi mulai masuk ke Indonesia dengan kedatangan Kapal MV Eco Destiny pada Kamis (10/8) dini hari pukul 03.00 WIB di Pelabuhan Ciwandan Banten, dengan membawa garam 25.000 ton dan disebar untuk wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Kedatangan kedua menggunakan Kapal MV Golden Kiku pada tanggal 11 Agustus 2017 pukul 18.00 WIB di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dengan membawa garam sebanyak 27.500 ton.
Selanjutnya, kedatangan ketiga menggunakan Kapal MV Uni di Pelabuhan Belawan, Medan dengan membawa garam 22.500 ton, dan disebar ke sejumlah IKM di wilayah Sumatera dan sekitarnya.
Kedatangan garam impor dari Australia merupakan komitmen PT Garam dalam menjalankan penugasan dari pemerintah, dengan total impor garam bahan baku untuk konsumsi sebesar 75.000 ton dan kadar NaCl 97 persen, agar harga garam di pasaran kembali stabil. (*)