Siapapun pasti tidak pernah membayangkan akan berada pada era akses informasi menjadi sangat mudah, sehingga ketersediaan informasi pun berlimpah. Saking berlimpahnya, sering diibaratkan informasi saat ini jauh lebih cepat basi daripada roti. 

     Sayangnya, ketersediaan informasi secara kuantitas tidak sebanding dengan peningkatan kualitas informasi itu sendiri, terbukti dengan banyaknya informasi abal-abal (hoax) dan sarat kepentingan golongan tertentu, yang berpotensi merusak moral bangsa serta melemahkan bangsa Indonesia. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka keutuhan bangsa menjadi tantangannya.

     Kehadiran teknologi informasi adalah wadah baru yang memungkinkan siapapun dapat mengakses informasi. Setiap orang, dengan dukungan media berupa "gadget" yang terkoneksi dengan internet dapat mengekspos setiap informasi apapun tanpa terkecuali. 

     Persoalan telah bergeser, dari sulitnya mencari informasi menjadi sulitnya menyaring informasi. Ditambah dengan munculnya media sosial membuat hampir 2/3 kehidupan manusia berada di dunia maya. 

     Publik berkomunikasi secara digital dan membagikan informasi secara masif, tanpa menyadari bahwa media sosial juga memiliki ruang gelap. Ruang yang kemudian membawa penggunanya ke era post truth, dimana opini publik dan politik lebih didasarkan pada kepercayaan daripada fakta. Sehingga kajian mengenai literasi publik, dalam hal ini literasi media menjadi hal yang sangat signifikan. 

     Literasi media (media literacy) menurut Indonesia-medialiteracy.net adalah berbagai aktivitas yang terkait dengan sikap kritis terhadap media, sekali pun bila diteliti lebih dalam maka akan ditemukan ragam pemaknaan yang sangat bervariasi. 

     Menurut Lawrence Lessig dalam bukunya "Budaya Bebas: Bagaimana Media Besar Memakai Teknologi dan Hukum untuk Membatasi Budaya dan Mengontrol Kreativitas" sebagaimana dikutip dari Wikipedia mengatakan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. 

     Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses. 

     Prof. Hendri Subiakto, salah seorang narasumber pada Seminar bertemakan “Literasi Publik di Era Keberlimpahan Informasi” di Bengkulu 6-8 Agustus 2017 mengistilahkannya dengan tabayyun digital. Dalam Islam, Tabayyun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan meyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya. 

     Agar cerdas dan kritis bermedia tidak menjadi wacana semata, maka perlu dilakukan kerjasama berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga sektor pendidikan, dan LSM untuk melakukan literasi terhadap penggunaan media, terutama media sosial yang sudah menjadi bagian dari komunikasi keseharian manusia saat ini. 

     Literasi ini antara lain mencakup pentingnya kritis terhadap konten negatif, pentingnya tabayyun digital, mendorong pemanfaatan aplikasi facts checker, mendorong netizen memproduksi dan hanya membagikan konten positif, serta menanamkan budaya malu atau budaya salah jika membagikan konten hoax.

     Hal tersebut juga menjadi perhatian pada Seminar Nasional dan Call for Paper yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pendidikan Tinggi Komunikasi (Aspikom) Bengkulu bekerjasama dengan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu (UNIB), Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Bengkulu dan Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu. 

     Seminar bertemakan “Literasi Publik di Era Keberlimpahan Informasi” ini dilaksanakan pada tanggal 6-8 Agustus 2017, bertempat di Hotel Santika Bengkulu. Bertindak sebagai keynote speaker, Dr. Rohidin Mersyah (Plt. Gubernur Bengkulu), Prof. Henry Subiakto (Staf Ahli Kemkominfo RI dan Guru Besar UNAIR), Mayjen.TNI. Purn. Supiadin Aries (Anggota Komisi I DPR RI Bidang Pertahanan, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika, Intelijen), dan Brigita Manohara (Presenter TV One). 

     Seminar ini juga mengundang praktisi, akademisi dan pemangku kebijakan untuk bertukar pemikiran maupun gagasan sebagai pemakalah dalam konteks keilmuan komunikasi. Saya dan rekan saya, Septria Nevita turut serta sebagai pemakah dari Universitas Andalas dimana kami membawakan sub tema media baru dan tantangan ke depan.

*Penulis adalah Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas Padang
Keterangan Foto: Bersama Prof. Henry Subiakto (Staf Ahli Kemkominfo RI dan Guru Besar UNAIR)


Pewarta : Betti Dasaisa*
Editor :
Copyright © ANTARA 2024