Menjelang Ramadhan dan Lebaran, biasanya harga cabai di Sumatera Barat "sangat pedas". Kenaikan harganya bisa gila-gilaan, bahkan pernah mencapai Rp120 ribu per kilogram.
Akibatnya, ibu-ibu rumah tangga menjerit karena harus merogoh kantong lebih dalam. Apalagi pada momentum itu, kuliner khas Padang, yaitu rendang, merupakan sajian yang wajib ada.
Masyarakat Sumbar yang sebagian besar adalah etnis Minang seperti merasa kurang lengkap kalau Ramadhan dan Lebaran tanpa sajian kuliner itu.
Padahal kuliner yang pernah dinobatkan sebagai yang paling enak di dunia versi CNN tersebut, membutuhkan cabai yang cukup banyak sebagai bahan pembuatannya.
Setidaknya satu kilogram daging untuk rendang butuh 150 gram cabai. Biasanya untuk satu kali pembuatan tidak hanya satu kilogram daging, tetapi bisa sampai lima kilogram, karena kuliner ini bisa tahan hingga satu bulan.
Bayangkan berapa banyak cabai yang dibutuhkan bila 1.576.607 keluarga di Sumbar membuat kuliner yang sama pada saat bersamaan.
Maka, menjelang Ramadhan dan Lebaran, bagaimanapun "pedasnya" harga cabai di Sumbar, komoditas itu pasti akan tetap jadi buruan dan habis di pasaran, sehingga tidak jarang mengakibatkan kelangkaan.
Pola konsumsi masyarakat yang melonjak secara tiba-tiba itu, tidak hanya berpengaruh langsung pada masyarakat, tetapi juga terhadap angka inflasi daerah.
Data BPS Sumbar, cabai adalah komoditas yang menyumbang inflasi cukup signifikan. Inflasi November 2016 di Padang sebesar 1,13 persen, dengan cabai dan beras menyumbang angka terbesar. Cabai menyumbang 0,90 persen dan beras 0,15 persen.
Jika melihat angka inflasi Sumbar pada 2016 sebesar 4,89 persen (yoy), cabai merah dan beras menyumbang inflasi sebesar 44 persen dan 7 persen.
Inflasi di Sumbar pada 2016 lebih tinggi daripada nasional, yaitu 4,89 persen (yoy) dibandingkan dengan 3,02 persen (yoy). Penyebab dominannya adalah gangguan produksi akibat cuaca dan kenaikan tarif angkutan udara saat perayaan hari besar keagamaan.
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno dalam beberapa kali pertemuan Tim Pemantauan dan Pengendali Inflasi Daerah (TPID) setempat selalu mengingatkan agar ada tindakan nyata dalam mengatasi inflasi diakibatkan cabai.
Menurut dia, cara menangani komoditas cabai sangat berbeda dengan menangani beras.
Jika untuk beras, berbagai cara bisa dilakukan pemerintah untuk menanganinya, di antaranya meningkatkan peran penyuluh, pembuatan sawah baru, pemberian benih dan pupuk, mekanisasi alat pertanian, dan perbaikan irigasi. Hal itu sudah terbukti mampu meningkatkan produksi beras.
Namun, untuk cabai, petani tidak bisa didesak menanam komoditas tersebut, karena selain butuh kondisi cuaca tertentu, modal besar, serta perawatannya juga rumit.
Karakter petani Sumbar yang cenderung pragmatis dalam menanam, juga menjadi kendala sehingga sulit mengharapkan pasokan cabai dengan jumlah besar dari petani setempat.
Saat ini, sebagian besar kebutuhan cabai Sumbar dipasok dari daerah lain, seperti Rejang Lebong (Bengkulu) dan Jawa Tengah.
Solusi lain yang dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk menanam cabai di pekarangan rumah guna memenuhi kebutuhan sendiri.
Hal itu sudah dijalankan, namun belum benar-benar menunjukkan hasil signifikan, sedangkan Ramadhan tinggal satu minggu lagi.
Pada akhirnya, Bulog menjadi harapan untuk bisa membantu pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan, terutama cabai di Sumbar.
Bulog Sumbar menyambut harapan itu dengan persiapan yang terkesan diam-diam.
Tanpa banyak ekspose, BUMN yang mengurus logistik itu telah mempersiapkan tiga lemari pendingin masing-masing kapasitas 10 ton untuk membantu ketersediaan cabai menjelang Ramadhan.
"Lemari pendingin itu diletakkan di Pasar Raya Padang. Namun cabainya bisa didistribusikan ke seluruh daerah di Sumbar," kata Kepala Bulog Divre Sumbar Benhur Ngkaimi, usai menggelar pasar murah di Pasar Raya Padang dalam kegiatan Gerakan Stabilisasi Pangan.
Pemprov Sumbar bersama Pemkot Padang memang meminta khusus Bulog agar lebih fokus dalam pengadaan stok komoditas cabai menjelang Ramadhan 1438 Hijriah.
"Karena cabai mudah rusak, kita siapkan lemari pendingin untuk menjaga stok cabai selama sebulan," katanya.
Cabai yang akan dijadikan stok, adalah cabai lokal yang dibeli langsung pada petani di sentra cabai di Sumbar.
Hal itu untuk menjaga agar petani cabai tidak mengalami kerugian dengan kebijakan stok cabai yang dilakukan Bulog, karena harga jual ditetapkan hanya Rp26 ribu per kilogram.
"Harga itu dipertahankan Rp26 ribu per kilogram, meski harga pasar bisa mencapai Rp80 ribu per kilogram," katanya.
Kepala Dinas Pangan Kota Padang Heryanto Rustam mengatakan terobosan Bulog terkait dengan komoditas cabai sangat diapresiasi.
"Ini mungkin yang pertama dilakukan di Indonesia. Kami sangat apresiasi karena masyarakat akan sangat terbantu," katanya.
Ia optimistis harga cabai stabil dan tidak menjadi penyebab inflasi pada tahun ini.
Salah seorang masyarakat Padang, Rona, mengatakan harga cabai yang terjangkau menjelang Ramadhan dan Lebaran sangat membantu ibu-ibu rumah tangga di daerah setempat.
"Kami berharap ini berlanjut untuk tahun berikut," kata dia.
Selain itu, Bulog Sumbar diam-diam ternyata juga sudah mempersiapkan 300-an Rumah Pangan Kita (RPK) di Sumbar yang siap membantu mendistribusikan bahan pangan untuk stabilisasi harga.
RPK adalah toko milik masyarakat yang menjadi mitra Bulog. Mereka mendapatkan pasokan bahan pangan dan menjualnya dengan harga yang ditetapkan oleh Bulog.
Jadi selain pasar tradisional yang ada di daerah itu, Bulog Sumbar juga mendistribusikan stok pangan, seperti beras, minyak goreng, gula, dan cabai di RPK dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
RPK dinilai lebih bisa menjangkau masyarakat karena berada pada masing-masing kelurahan. Bahkan untuk Kota Padang yang merupakan ibu kota provinsi telah ada 190 RPK tersebar di 104 kelurahan.
Peran RPK diharapkan bisa menjaga stabilitas harga pangan di Sumbar, terutama saat Ramadhan dan Lebaran. (*)