Hutan jangan lagi hanya dipandang sebagai gugusan pohon yang dapat ditebang, dieksplorasi oleh pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH), atau penebang liar.

         Hutan sekarang harus dipandang sebagai lahan yang bisa dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan masyarakat sekitar.

         Hal itu disampaikan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat (Sumbar) Hendri Oktavia saat ditemui pada sebuah kesempatan baru-baru ini.

         Ia mengatakan, sekarang hasil hutan bukan kayu, lebih bisa menyejahterakan masyarakat dibanding hanya dengan "memanen" pohon.

         "Banyak komoditas yang sekarang bisa ditanam di sekitar hutan yang masuk dalam program perhutanan sosial. Kakao, jamur atau tanaman lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Hasilnya silakan dinikmati oleh masyarakat sekitar hutan," katanya.

         Ia menjelaskan program perhutanan sosial merupakan wujud nyata dari reformasi agraria bidang kehutanan yang digulirkan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membantu perekonomian masyarakat, terutama yang berada di sekitar hutan.

         Melalui program itu hutan lindung dan hutan produksi yang selama ini tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, dibuka aksesnya dengan memberikan izin pengelolaan. Masyarakat yang mendapatkan izin pengelolaan tersebut boleh memanfaatkan lahan hutan itu untuk menanam apa saja yang menguntungkan selama 35 tahun.

         "Inilah sedikit bedanya dengan reformasi agraria biasa, yaitu untuk lahan hutan hanya bisa diberikan hak pengelolaan sementara hak milik tetap pada negara," kata dia.

         Meski demikian ia mengatakan hak pengelolaan selama 35 tahun sudah sangat luar biasa, karena bisa membantu satu generasi. Apalagi masing-masing Kepala Keluarga (KK) yang mendapatkan hak pengelolaan bisa memperoleh lahan sekitar dua hektare.

         "Kita optimistis, program ini akan mampu membantu masyarakat ekonomi lemah yang berada di sekitar hutan, seiring dengan program pengentasan kemiskinan," kata Hendri.

         Ia mencontohkan saat ini ada kelompok masyarakat di Kota Payakumbuh yang berhasil mengembangkan hasil hutan bukan kayu berupa jamur tiram, dibuat rendang jamur.

         "Kita dorong segi bisnisnya hingga kelompok masyarakat tersebut bisa bekerja sama dengan koperasi atau lembaga bisnis lain. Sekarang sudah berhasil," katanya.

         Lebih jauh ia menerangkan perhutanan sosial dibagi lagi menjadi tiga kategori yaitu hutan kemasyarakatan, hutan nagari (desa, red) dan hutan tanaman rakyat yang tujuannya sama yaitu memberikan akses bagi masyarakat sekitar hutan untuk mengelola lahan hutan.

         Secara pengertian Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat dengan mengutamakan fungsi kelestarian lingkungan hutan. Perorangan bisa mendapatkan akses pengelolaannya.

         Hutan Desa atau Hutan Nagari adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari.

         Sementara Hutan Tanaman Rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

         Sementara itu Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengatakan pihaknya berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, salah satunya melalui program perhutanan sosial.

         Ia mengatakan untuk Sumbar, program perhutanan sosial adalah upaya pelestarian lingkungan hidup, penanggulangan bencana serta peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

         Luas hutan Sumbar sekitar 2,4 juta hektare, sekitar 20 persen atau sekitar 500.000 hektare di antaranya dialokasikan untuk program tersebut dan akan direalisasikan secara bertahap.

         "Sekarang telah terealisasi 204 ribu hektare, tersebar pada 18 kabupaten dan kota yang ada di Sumbar, kecuali Mentawai," katanya.

         Program itu juga disinergikan dengan Gerakan Pembangunan Terpadu antara lain Gerakan Terpadu Pensejahteraan Petani, Gerakan Terpadu Pengembangan Koperasi, Usaha kecil dan Mikro, Gerakan Terpadu Pengembangan Kepariwisataan dan Gerakan Terpadu Pemberdayaan Fakir Miskin.

         Nagari Simancuang, Kabupaten Solok Selatan merupakan salah satu pengelolaan Hutan Nagari dan Hutan kemasyarakatan yang berhasil di Sumbar dan menjadi percontohan untuk daerah lain.

         Hingga saat ini, sudah ada 650 hektare hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar melalui Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) dengan tetap menjaga kelestrian hutan.

         LPHN memanfaatkan lahan hutan tersebut untuk menghasilkan hasil hutan selain kayu seperti rotan dan buah-buahan.

         Pola Hutan Nagari dan Hutan Kemasyarakatan tersebut dinilai sangat bagus karena kelestarian hutan dapat terjaga sebab pengelolaannya diawasi langsung oleh masyarakat sekitar.

         Karena keberhasilan tersebut, masyarakat bisa kembali mengajukan penambahan lahan hutan nagari pada pemerintah kabupaten dan diteruskan ke provinsi serta pusat.

         Harapannya masih ada karena dari tahun 2012 hingga 2017 sudah ada cadangan 50.000 hektare hutan untuk dijadikan hutan nagari dan hutan masyarakat di Solok Selatan.

         Sementara untuk Mentawai, masyarakat setempat meminta pengelolaan hutan tidak dalam kerangka program perhutanan sosial, tetapi dengan model pengelolaan hutan adat.

         Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Hendri Oktavia mengatakan kerangka berfikirnya masih sama yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

         Namun untuk pengelolaan hutan adat agak berbeda dengan perhutanan sosial, karena harus dikeluarkan dulu dari kawasan hutan.

         "Harus ada dasar hukum yang jelas untuk mengeluarkannya dari kawasan hutan. Kita sudah informasikan hal ini pada DPRD setempat agar dibuatkan Perda. Kita tunggu bagaimana hasilnya nanti," katanya.

         Sementara untuk pengawasan dan pembimbingan terhadap masyarakat sekitar hutan, Pemprov Sumbar sedang mengupayakan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), karena pascadilaksanakannya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan kehutanan telah diserahkan dari kabupaten dan kota ke provinsi.

         Akibatnya saat ini tidak ada dinas kehutanan yang ada di kabupaten/kota yang bisa mengawasi hutan di daerah. (*)

Pewarta : Miko Elfisha
Editor :
Copyright © ANTARA 2024