Padang, (Antara Sumbar) - Usai membeli sebidang tanah di daerah Pisang, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat, Nadra mengurungkan niat  untuk membangun rumah yang telah lama diidam-idamkannya.

         Berkaca dari tetangganya yang terlebih dahulu membangun rumah di kawasan itu, ia trauma melihat kelakuan pemuda setempat.

         Setiap kali ada truk mengangkut bahan material bangunan yang masuk para pemuda meminta uang dengan dalih biaya pengamanan. Tidak tanggung-tanggung satu truk dimintai hingga Rp150 ribu kepada pemilik rumah.

         Jika sehari ada tiga truk yang masuk pemilik bangunan harus bersiap mengeluarkan uang Rp450 ribu, jika tidak diberi bersiap dengan ancaman barang-barang yang ada di lokasi pembangunan akan hilang.

         "Sampai sekarang belum jadi dibangun, saya jadi malas ada pajak segala dari preman," katanya.

         Hal serupa juga dialami warga Padang, Kurniati saat akan membangun rumahnya di daerah Tunggul Hitam Kecamatan Koto Tangah. Pemuda setempat meminta agar ikut memasok material berupa pasir, dan kerikel hingga tanah timbunan.

         "Harganya memang sama dengan yang ada di pasar tapi yang namanya preman malah jumlah truk yang dimainkan masuk dua dibilang tiga," ujarnya.

         Ia pun terpaksa mengamini permintaan para pemuda tersebut karena baru saja akan mulai rumah dikerjakan sudah didatangi pemuda yang mengaku baru keluar dari penjara.

         Awalnya, ia sempat melapor ke Ketua RT, namun sia-sia dan akhirnya daripada ribut  terpaksa mengalah dan rela mengeluarkan uang lebih banyak.

         Lain lagi kisah Riri, warga Padang yang membangun rumah di komplek Simpang Empat Kelurahan Air Pacah Kecamatan Koto Tangah.

         Baru saja akan membangun langsung didatangi dua pemuda setempat  meminta uang setiap kali ada mobil masuk mengangkut material mulai dari Rp50 ribu hingga Rp150 ribu.

        Pemuda tersebut menyebutnya "uang asam" dengan dua pilihan setiap kendaraan pengangkut material dikenakan biaya atau membeli material lewat mereka.

        Sekali Riri mencoba untuk memberi kesempatan membeli pasir lewat pemuda. Rupanya harganya jauh di atas harga pasar.

        "Bayangkan saja kalau beli pasir satu truk hanya Rp800 ribu, lewat mereka malah Rp1,2 juta, itu pun kualitasnya jelek dan tak layak," katanya mengungkapkan kekesalan.

        Ia pun mencoba mengomunikasikan hal ini ke kantor lurah setempat namun tetap saja warga yang sedang membangun di komplek tersebut dipungut "uang asam" tersebut.

        Dengan terpaksa semua warga yang sedang membangun harus mengeluarkan lagi uang untuk pemuda karena jika tak diberi mereka akan mencak-mencak hingga marah-marah.

        "Dari pada ada masalah lebih baik dikasih saja," ujar dia.

        Belum lagi bagi yang membangun gedung, beragam pengeluaran dengan berbagai dalih harus dikeluarkan atas nama keamanan. Bahkan pada salah satu pembangunan gedung kampus di Padang ada oknum pemuda setempat secara rutin mengambil material seperti semen hingga kayu-kayu yang ada.

        Biasanya para pemilik bangunan menghadapi dilema jika hendak melaporkan kepada aparat setempat segan dan kurang nyaman, namun jika dibiarkan setelah dihitung biaya tambahan yang harus dikeluarkan cukup besar.

         Jika seorang pemilik rumah mengeluarkan uang hingga Rp50 juta untuk membeli material maka setidaknya harus mengeluarkan biaya tambahan sekitar Rp5 juta untuk uang keamanan.

   
              Berani Lapor
    Menanggapi hal itu Kapolres Kota Padang Kombes Pol Chairul Aziz menegaskan  pihaknya tidak akan mentolerir tindakan pungutan liar  yang dilakukan baik dari unsur pemerintahan, atau oknum masyarakat.

         "Tidak ada toleransi bagi pelaku pungli, baik dari pemerintahan ataupun masyarakat, jika tertangkap akan segera diproses secara hukum," katanya.

         Oleh karena itu, ia meminta agar masyarakat ikut aktif dan memberikan informasi ketika menemukan ada pungutan liar.

         Ia mengatakan apapun bentuk permintaan tidak resmi yang dipaksakan terhadap masyarakat adalah tindak pidana yang dapat  mengantar pelakunya ke penjara.

         Pertama adalah pasal 12 Undang-undang 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu untuk menjerat pelaku yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintah, atau berkaitan dengan keuangan negara.

         Sementara bagi pelaku yang berasal dari masyarakat biasa, dijerat dengan pasal 368 KUHP tentang pemerasan. Selama uang yang diserahkan kepada pelaku itu tidak secara sukarela, atau diiringi ancaman, ujar dia.

         Namun ia memahami  situasi yang terjadi di lapangan tidak sederhana  yang memungkinkan masyarakat  tinggal lapor, diproses, lalu masalah selesai.

         Ada yang membuat  masyarakat selaku korban enggan melapor, khawatir jika setelah membuat laporan kepada polisi, akan muncul masalah lain dari komplotan atau oknum lain dengan pelaku yang dilaporkan, katanya.

         Sebab  bisa saja pelaku tidak hanya satu orang, atau mereka  memiliki pihak yang melindungi, lanjut dia.

         Ia menyarankan jika  masyarakat  menemui kondisi seperti itu cukup  mencatat kronologis lengkap yang terjadi saat terjadinya pungutan, mencatat identitas, lalu menyerahkan ke polisi,  selanjutnya polisi yang akan melakukan penyelidikan dan mengungkap kasus tersebut.

         "Kadang perlu dilakukan cara tersembunyi, jebakan, atau siasat tertangkap tangan untuk meringkus para pelaku," ujarnya.

          Sementara, pengamat ekonomi  Universitas Andalas (Unand) Padang Werry Darta Taifur mengatakan pungutan liar yang dilakukan oleh masyarakat akan menghambat kemajuan ekonomi  daerah.

         "Tidak hanya pungutan liar instansi, pemerintah juga harus berantas pungutan liar oleh masyarakat," katanya.

          Menurutnya, pungutan liar oleh masyarakat atau disebut pemalakan ini intensitasnya cukup banyak terjadi yang secara tidak langsung merugikan tidak hanya yang dipalak namun juga pemerintah.

          Sebagai contoh pemalakan yang dilakukan oknum tertentu saat suatu instansi memasukkan atau mengantarkan barang atau biasa disebut uang panjar, katanya.

         Atau pemalakan di area bongkar muat barang, parkir, pemalakan tempat wisata, hingga pemalakan teran-terangan di jalan atau lokasi strategis dengan dalih tertentu, ujarnya.

        "Apapun jenisnya hal tersebut mengganggu kemajuan ekonomi daerah," ujarnya.

        Seharusnya anggaran yang diperuntukkan pungutan liar dialihkan dalam penguatan pembangunan, katanya.

        Misalnya perusahaan yang akan membangun dapat sedikit berhemat akan pengeluarannya dan dapat dialihkan pada kebutuhan yang lain.

        Sedangkan bagi pedagang, atau pelaku ekonomi tentu akan meningkatkan keuntungan dengan tidak adanya pemalakan yang berbasis uang sewa, uang jalan, uang pakai dan sebagainya.

         Apapun alasannya pungutan liar telah meresahkan masyarakat dan tak dapat dibenarkan, karena itu butuh sinergi semua pihak bahu membahu melawan pungutan liar yang berkedok uang keamanan.  (*)
 


Pewarta : Ikhwan Wahyudi dan Fathul Abdi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024