Padang, 17/4 (Antara)-Tidak ada seorang anak pun  didunia ini yang ingin terlahir dalam kondisi autis. Ketika  mereka harus menjalani takdir sebagai penyandang autis, butuh perjuangan  berat agar dapat menjalani hidup sebagaimana anak normal lainnya.

Jika setiap anak menikmati masa kecil yang indah dan menyenangkan serta disayang orang sekelilingnya,  hal itu tidak  berlaku bagi penyandang autis. Mereka tumbuh berbeda dibanding anak sebayanya. Selain tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial tak jarang menerima perlakukan yang tidak menyenangkan.

Ini diperparah oleh pandangan lama yang menyatakan autis adalah sesuatu yang baku dan tidak dapat disembuhkan, sehingga pupus sudah harapan untuk dapat hidup sebagai individu yang paripurna dan mandiri  .

Namun itu dulu, ternyata autis dapat disembuhkan. Penelitian terbaru menunjukan penyandang autis dapat disembuhkan dan pada akhirnya bisa menjalani hidup normal secara mandiri di lingkunganya.  

Mungkin ada yang  memandang mereka sebagai warga kelas dua yang tidak berguna dan tidak dapat melakukan apa-apa. Tapi fakta berbicara seorang Thomas Alfa Edison si penemu bola lampu adalah penyandang autis yang berhasil menorehkan kegemilangan prestasi di akhir hayatnya.

Demikian juga dengan apa yang dialami  mantan penyandang autis Muhammad Valdi yang kini merupakan mahasiswa semester II Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Jakarta.

Berkat terapi yang dilakukan secara intensif dan terpadu, serta dukungan semua pihak, sosok yang akrab dipanggil  Valdi berhasil sembuh dari autis.

Tidak hanya dapat menjalani keseharian sebagaimana anak normal, pria kelahiran  Jakarta, 24 Mei 1994 itu juga menorehkan sejumlah prestasi.

Tercatat ia beberapa kali turut memperkuat DKI Jakarta dalam sejumlah kejuaraan renang. Kini ia bercita-cita menjadi seorang sejarawan.

Saat tampil sebagai pembicara pada gebyar hari autis sedunia 2014 di Padang, tak ada yang menyangka Valdi dalam mantan penderita autis karena dapat berkomunikasi dengan baik dan tampil sebagai pembicara memaparkan perjuangannya melawan autisme. 

Sementara, Rendy Ariesta kelahiran Jakarta  8 Oktober 1997 juga merupakan penderita autis yang berhasil sembuh melalui terapi Aplied Behavior Analisis (ABA).

Kini Rendy merupakan pelajar SMA 71 Jakarta Timur dan dapat menjalani kehidupan normal sebagaimana pelajar lainnya dengan perolehan nilai yang bagus.

Ia dapat menjalani aktivitas secara mandiri seperti naik angkutan umum ke sekolah, bergaul dengan teman sebaya dan mengembangkan hobi menyanyi, menulis lagu dan bermain gitar. 

Pada peringatan hari autis sedunia 2014 di Padang Rendy tampil menyanyi sambil memainkan gitar membawakan lagu yang diciptakannya sendiri.

Menurutnya, waktu di sekolah terutama sering menjadi bahan olok-olokan teman-teman karena menyandang autis.

"Membalas ejekan bukan dengan  cemohan , buktikan saja dengan prestasi kalau memang kita juga bisa" , kata dia yang bercita-cita menjadi dokter. 

Hal serupa juga  dialami oleh Hasan Al Faris Tanjung pelajar kelas IX SMP Alfikri Depok yang juga berhasil sembuh dari autis.

Faris yang lahir pada 14 Juni 1998 itu berhasil sembuh dan sejak sekolah dasar menempuh pendidikan di sekolah regulerAl Fikri Depok yang meraih nilai rata-rata 8,8 pada ujian nasional.

Faris berhasil sembuh setelah menjalani terapi ABA serta diet dan intervensi biomedis  yang dijalani sejak usia 1,5 tahun.

Saat tampil sebagai pembicara mengisahkan pengalamannya, Faris menceritakan saat kelas 7 SMP ia sering menangis karena diolok-olok oleh temannya di sekolah.

Faris pun menulis diari dan puisi tentang bagaimana kesedihannya diganggu oleh teman-temannya di sekolah.

"Untungnya guru dan bunda  aku baik dan terus memotivasi kamu bisa Faris", kata dia.

Kini Faris sudah lebih senang menjalani sekolahnya dan ia pun sering diminta tampil sebagai moderator dan menceritakan kisahnya dalam berbagai forum.

Kenali Gejala

Psikiater dan pemerhati autisme  dr Kresno Mulyadi, Sp.KJ menyampaikan autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis berat pada anak, sehingga menimbulkan masalah dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Gejala Autis dapat dikenali dengan ciri-ciri  minimnya interaksi  dan  emosi yang labil, serta buruknya kualitas komunikasi penyandangnya pada tiga tahun pertama kehidupannya.

Selain itu, penyandang autis memiliki keterbatasan minat serta sering melakukan gerakan berulang disertai respon sensorik yang menyimpang.

Menurut dia, autis dapat disembuhkan melalui dua cara yaitu terapi yang intensif dan terpadu serta melakukan diet khusus bagi penyandangnya.

"Jika ada yang berpendapat autisme sudah baku dan tidak ada lagi harapan itu  paradigma lama,  berdasarkan temuan terbaru gangguan autis dapat disembuhkan melalui terapi dini secara intensif dan terpadu", kata dia.

Ia menerangkan terapi yang dapat dilakukan meliputi terapi prilaku diantaranya  menggunakan metode yang dikembangkan  Ivar Lovaas dari UCLA yaitu  konsep Aplied behavior Analysis (ABA).

Terapi ABA dilakukan secara intensif selama 40 jam per minggu dalam dua tahun dimana berdasar hasil penelitian  terjadi peningkatan IQ yang besar pada penyandangnya, kata dia.

Kemudian, penyandang autis harus melakukan diet tidak mengkonsumsi terigu, coklat dan susu karena berdasarkan kajian terapi biomedik jenis makanan tersebut memperparah kondisinya.

Ia menjelaskan pada penyandang autis terjadi peningkatan daya serap  dimana  protein yang seharusnya tidak lolos pada  makanan yang mengandung coklat, terigu dan susu  masuk ke peredaran darah dan terbawa ke otak.

Setelah berada di otak zat yang terkandung pada makanan tersebut  dinilai oleh saraf memiliki rumus kimia seperti morfin  sehingga memperburuk kondisi penyandang autis dan dapat diibaratkan mereka tengah mengkonsumsi morfin.

Sedangkan makanan yang mengandung terigu akan memperparah kondisi pencernaan penyandang autis yang pada umumnya berjamur, kata dia.

Karena itu  pada penyandang autis dengan melakukan diet tidak mengkonsumsi gula, terigu dan coklat akan memperbaiki fungsi-fungsi abnormal pada otaknya, sehingga saraf pusat bekerja lebih baik  dan berbagai gejala autis dapat dikurangi bahkan dihilangkan.

Setelah itu jika diperlukan dapat dilakukan terapi lain sebagai penunjang berupa medikamentosa, okupasi dan fisik, wicara, bermain dan terapi khusus.

Kunci dari semua itu adalah terapi dini, intensif dan terpadu sehingga dimungkinkan penyandang autis akan sembuh, kata dia.

Ia mengatakan di Indonesia telah banyak penyandang autis yang dapat disembuhkan dengan terapi tersebut dan berhasil menyelesaikan studinya  hingga meraih gelar sarjana.

Jangan Diolok-olok

Ketua Panitia Penyelenggara Gebyar Hari Autis Sedunia 2014 Arneliza Anwar R Sutadi mengatakan jangan jadikan autis sebagai bahan olok-olok sehari-hari karena dapat disembuhkan.

"Hentikan mengolok-olok autis karena mereka juga manusia sama dengan yang lainnya", kata dia.

Menurutnya, autis akan terlihat pada penyandangnya ketika memasuki usia tiga tahun  dan akan terus berlanjut seumur hidup jika tidak diterapi.

Namun, autis berbeda dengan disabilitas karena autis lebih kepada gangguan interaksi, komunikasi  sementara disabilitas hanya gangguan pada salah satu fungsi tubuh yang permanen, kata dia.

Ia menceritakan pada awalnya anak autis akan terlihat normal dan memasuki usia 18 bulan tiba-tiba terjadi penurunan kemampuan dan perkembangan yang telah dimiliki sebelumnya.

Misalnya sebelumnya anak sudah dapat berbicara, maka tiba-tiba akan hilang, tidak melakukan kontak mata dengan orang sekitarnya dan sibuk main sendiri, kata dia.

Solusi yang dapat dilakukan adalah sejak dini melakukan terapi seperti ABA dan intervensi biomedik berupa terapi obat, kata dia.

Saat ini masih banyak sekolah  yang menolak penyandang autis kendati orang tua sudah memohon agar anaknya dapat diterima. 

Oleh sebab itu sebelum penyandang autis dimasukan ke sekolah umum orang tua harus mempersiapkan mereka agar benar-benar siap beradaptasi dengan lingkungannya.

Anak autis yang diterapi sejak usia kurang dari tiga tahun secara intensif dan optimal setelah  akan semakin mudah untuk dapat sembuh dan masuk sekolah reguler dengan didampingi seorang guru khusus, kata dia.

Para orang tua yang anaknya menyandang autis tidak dapat menunggu sekolah reguler siap menerima dan menangani anaknya, namun kita yang harus mempersiapkan agar anak autis dapat diterima disekolah umum, kata dia.

Penyandang Autis adalah orang-orang yang spesial dan istimewa dan  para orang tua yang anaknya penyandang autis, adalah orang-orang mulia karena telah mendapat kehormatan dari Tuhan  untuk dititipkan anak khusus kiriman sang Pencipta agar dapat lulus melewati ujian.

 

 

 

 


Pewarta : Ikhwan Wahyudi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024