Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1996 disebutkan bahwa swasembada berarti kemampuan negara dalam menjamin terwujudnya kemandirian pangan yang dihasilkan dari produksi dalam negeri.  Berdasarkan pengertian tersebut, sungguh menjadi sebuah ironi apabila negara kita yang dikenal agraris, namun belum mampu memenuhi kebutuhan dari produksi dalam negeri, khususnya pada sub sektor peternakan.  Padahal melihat potensi yang kita miliki, seharusnya Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain.

Swasembada daging sapi telah lama diharapkan oleh bangsa kita agar ketergantungan terhadap impor dapat ditekan.  Pemerintah telah beberapa kali menetapkan program swasembada daging sapi secara nasional.  Namun, program prioritas pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumberdaya lokal, khususnya ternak sapi potong ini tampaknya belum sesuai harapan.  Tak berbeda halnya dengan Program Swasembada Daging Sapi yang telah pernah dicanangkan pada tahun 2005 dan 2010, PSDSK 2014 ini agaknya juga sulit untuk terealisasi.  Melihat kenyataan ini, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah Indonesia, selain harus lebih serius memperhatikan bidang peternakan.

Kegagalan swasembada daging sapi terus terjadi akibat adanya kesenjangan antara konsumsi dan produksi daging sapi dalam negeri.  Kegagalan pelaksanaan program ini secara beruntun pada 2005 dan 2010 menjadi bukti bahwa peningkatan konsumsi daging masyarakat tidak dapat diimbangi dengan produksi sapi di dalam negeri walaupun berbagai upaya telah dilakukan.  Kegagalan beruntun ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah kita untuk mendukung dan mengelola potensi peternakan sapi yang dimiliki menjadi peternakan yang berdaya saing dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri.  Kegagalan pertama seharusnya menjadi pelajaran tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan berikutnya dan hal-hal apa saja yang harus dihindari, dalam rangka pencapaian target swasembada daging tahun 2014 ini.

Pengamat peternakan mengemukakan beberapa hal yang dapat menjadi penyebab tidak tercapainya harapan berswasembada daging sapi, seperti kebijakan program yang dirumuskan oleh pemerintah tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci, program-program yang dibuat berskala kecil apabila dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai, strategi implementasi program yang tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi pada komoditas unggulan, dan program-program yang ada belum memberikan dampak pada pertumbuhan populasi sapi secara nasional.

Pada dasarnya, Indonesia memiliki berbagai potensi yang sangat strategis untuk dapat mewujudkan swasembada daging sapi dengan segera.  Tidak hanya itu, bahkan untuk mengekspornya sekalipun negara kita memiliki peluang yang besar.  Sumber daya alam dan sumber daya manusia kita juga sangat potensial, luas wilayah negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke mencapai 1.890.754 km

Potensi pasar dan sumber daya yang kita miliki ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan produk yang memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, baik di negeri sendiri maupun untuk keperluan ekspor ke negara lain.   Beberapa kajian ilmiah sangat jelas memperlihatkan bahwa apabila suatu usaha peternakan, khususnya peternakan sapi dikelola dengan baik serta memperoleh dukungan dari pemerintah, maka akan dihasilkan keuntungan yang layak dan memiliki keunggulan komparatif.  Bahkan Indonesia memiliki potensi keunggulan lain yang sangat penting dan strategis, namun jarang diangkat kepermukaan. Beberapa cara untuk mencapai swasembada daging sapi secara cepat adalah dengan political will pemerintah yang mendapat dukungan dari DPR.  Hal ini dapat direalisasikan dengan cara memberikan alokasi anggaran yang cukup untuk peternak sapi. 

Tindakan ini tidak sulit untuk dilakukan.  Pemerintah tidak perlu menambah anggaran dari dana yang dialokasikan saat ini.  Sebagai contoh, pemerintah bisa saja mengalihkan alokasi subsidi untuk pupuk kimia menjadi subsidi untuk pabrik pembuat pupuk organik seperti pupuk kompos dari kotoran sapi.  Atau dengan contoh lain, misalnya dana subsidi untuk pupuk kimia sebesar 17 triliun, sebenarnya dapat dialihkan alokasinya untuk membeli bibit sapi unggul atau sapi bunting yang harganya berkisar antara Rp. 12,5 juta - Rp17 juta perekor.

Bibit-bibit sapi tersebut dapat diberikan kepada peternak atau perusahaan feedlotter untuk dilakukan kerjasama kemitraan yang pastinya menggunakan skema bisnis yang saling menguntungkan.  Dari pengalihan alokasi anggaran ini saja, terdapat tambahan 1 juta ekor bibit sapi bunting, dan dihasilkan kotoran sapi untuk pupuk sebesar 30.000 ton/ hari. Dengan semua potensi yang dimiliki, sebenarnya tidak ada alasan lagi bagi negara kita untuk tidak mampu berswasembada daging sapi. Kita semestinya dapat mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berswasembada daging sapi sekaligus sebagai pengekspor sapi dan daging sapi.  

Diperlukan beberapa langkah strategis untuk mendukung harapan tersebut seperti adanya pemimpin peternakan yang visioner dan memahami karakteristik bisnis peternakan, bekerja all out dan memiliki networking yang luas ke semua stakeholder peternakan.  Selain itu, diperlukan kebijakan yang berpihak pada peternak baik itu dari Pemerintah maupun DPR sehingga bersama-sama dapat mewujudkan ketahanan pangan berupa kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi, dengan mengalokasikan supporting anggaran, baik anggaran pengadaan bibit nasional, susbsidi pupuk organik asal kotoran sapi, kredit untuk pembibitan, insentif pajak dan rancangan lain yang dapat menggairahkan dunia peternakan. 

Selain hal tersebut diatas, hal yang tak kalah pentingnya adalah menumbuhkan jiwa enterpreneur masyarakat kita, baik itu dengan cara memberikan kredit yang murah maupun memberikan bantuan teknis manajemen usaha ternak yang baik, sehingga peternak dapat memperbesar skala usahanya. Sistem pemasaran luas dan mudah diakses oleh semua pihak yang berkepentingan pun perlu dibangun.  Semoga dengan keterpaduan usaha bersama, kita kemudian mampu menjadi eksportir sapi, tidak cukup hanya dengan harapan berswasembada saja.

 Penulis adalah penerima Beasiswa Bakrie Graduate Fellowship 2013

 


Pewarta : Alda Syafyeni
Editor :
Copyright © ANTARA 2024