Kementerian Agama tak melakukan pembelaan kepada Ramli, penghulu di Kediri, Jawa Timur, kendati Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan tak ada masalah dengan pemberian "uang terima kasih" kepada penghulu Kantor Urusan Agama (KUA).
Realitas di tengah masyarakat, penghulu melayani para calon pengantin yang menghendaki menikah di luar jam kerja dan di luar kantor urusan agama atau KUA. Uang yang "terima kasih" yang diterima penghulu dinilai sebafai gratifikasi.
Ucapan terima kasih seperti itu sudah mentradisi dan membudaya. Memang saat para orangtua sekarang jika ingat semasa kecil manteri sunat saja selesai sunatan diberi hadiah berupa bekakak ayam, dodol, rengginang, pisang, untuk dibawa pulang. Juga para pencatat nikah, begitu selesai pulang, dikasih oleh-oleh, termasuk amplop yang kini disebut sebagai gratifikasi.
Mungkin di era tahun 60 sampai 90-an, penghulu menerima amplop tak pernah dimasalahkan. Orang yang memberi pun tak ribut, apa lagi jika dibandingkan dengan biaya perayaan hajatan di gedung yang menelan dana ratusan juta.
Karena itu, Suryadharma Ali minta agar publik melihat tugas penghulu dari berbagai sisi agar tak langsung menghakimi. Penghulu tak hanya bertugas dalam bidang administrasi. Dia melakukan tugas dan fungsi dari aspek aspek agama, budaya, tradisi, klenik, kehormatan, kekeluargaan, dan sakralnya.
Perbaikan
Irjen Kementerian Agama M Jasin melihat bahwa kasus pidana yang dialami Romli, penghulu yang dipidanakan itu harus menjadi momentum bagi perbaikan di lingkungan kementerian itu.
Imbal jasa penghulu ini sudah sejak lama menjadi perhatiannya. Sebab, dapat membuka celah tindak pidana korupsi atau gratifikasi bila tidak dicegah. Akhirnya terbukti.
Survei integritas yang diterbitkan komisi pemberantasan korupsi atau KPK, salah satu potensi korupsi di Kemenag ada di penghulu berupa gratifikasi yang diterima sebagai imbal jasa.
Sebagai solusinya, seperti dikemukakan Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat, pihaknya dalam waktu dekat bersama Bappenas, Kementerian Keuangan akan membahas penyediaan dana bagi penghulu.
Langkah itu bisa dijadikan solusi permanen atas polemik penyelenggaraan pernikahan di luar KUA dan di luar jam kerja pada ke depan. Penghulu, yang juga merupakan pegawai negeri sipil (PNS), semestinya tidak dibenarkan menerima hadiah. Sebab, mereka sudah menerima gaji. Sayangnya, kata Bahrul, negara tidak menyediakan dana operasional bagi mereka itu.
Selama ini, untuk biaya operasional, KUA baru mendapat perhatian beberapa tahun terakhir saja, itu pun dengan dana operasional sebesar Rp2 juta per bulan. "Tahun depan, kita naikan menjadi Rp3 juta per bulan," katanya.
Untuk operasional penghulu, sudah lama tidak ada. Padahal dari sisi geografis wilayah Indonesia, jika dikaitkan dengan kegiatannya, tantangan penghulu sungguh berat. "Negara telah mengabaikan penghulu," jelas Bahrul.
Ketika Kementerian Agama dituding sebagai lembaga paling korup dari hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pihaknya telah menjelaskan kepada jajaran KPK itu agar segera dicarikan jalan keluarnya. Nyatanya, dana yang dibutuhkan mencapai Rp600 miliar tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan. Kini persoalan penghulu mencuat, pelayanan publik pun terganggu.
Untuk menghindari gratifikasi itulah Kemenag, Bappenas dan Kementerian Keuangan harus duduk bersama menentukan besaran dana operasional untuk menikahkan pasangan pengantin di luar jam kantor atau di hari libur.
Jika pemerintah tidak menyediakan dana operasional, lanjut Bahrul, bisa saja penghulu dibenarkan menetapkan tarif menikahkan pasangan pengantin di hari libur atau di luar jam kantor. Namun dana yang diterima harus dilaporkan ke KPK selambat-lambatnya satu bulan. Selama ini tarif resmi yang berlaku menikahkan pasangan pengantin di balai nikah adalah Rp30 ribu per pasangan pengantin.
Atau dengan cara lain, Pemerintahlah yang menetapkan tarif menikah di luar jam kantor. Langkah ini dinilai Bahrul cukup bijaksana, sehingga ke depan tuduhan menerima gratifikasi dapat dihindari. "Kasihan keluarga penghulu," ia menegaskan.
Berapa besar dana operasional bagi penghulu itu, ia mengatakan, di atas Rp600 miliar untuk 550 titik KUA di seluruh Indonesia.
Sekjen Kemenag itu mengakui, sejak ada beberapa penghulu menolak menikahkan pasangan pengantin di luar jam kerja, ia banyak menerima keluhan. Pasalnya, menikah itu di antara sebagian masyarakat Indonesia dianggap memiliki nilai sakral. Pelaksanaan nikah harus mengindahkan perhitungan dari kedua pasangan pengantin, khususnya orang tua.
"Seperti berbau klenik. Ada perhitungan tersendiri, mulai bobot, bibit, dan bebet sampai pada hari dan detik pelaksanaannya," kata Bahrul Hayat.
Rencananya, untuk menutup rasa malu sebagai penerima gratifikasi di setiap pernikahan, para penghulu akan menggelar unjuk rasa pada pada awal tahun 2014. Itu sebagai bentuk cara menarik perhatian pemerintah bahwa penghulu punya tugas mulia. Penghulu tidak ingin terus menerus dijadikan bahan cemoohan warga lagi ke depannya. (*)