Gerimis turun di Pariaman, kota "Tabuik" di pesisir Sumatera Barat, sekitar 60 kilometer dari Kota Padang. Sayup-sayup terdengar gemuruh genderang perang, dua anak nagari berarak-arakan menuju arah timur dan utara kota itu.

         Masa "Bertabuik" tiba, warga Pariaman, Sumatera Barat berbondong-bondong menyaksikan sejumlah prosesi yang dilakukan anak nagari Pasa dan Subarang hingga puncaknya Tabuik atau tabot  "dihoyak" (diarak sambil digoyang).

         Sambil berarak-arakan, masing-masing anak nagari menjulangkan tiang-tiang bambu berikatkan panji-panji peperangan dan telong-telong (lampu minyak bersumbu), sekaligus mengarak batang pohon pisang yang baru saja ditebas seorang Hulubalang nagari.

         Senja itu, Senin (19/11), anak nagari Pasa baru saja melakukan prosesi "Manabang Batang Pisang" atau menebang batang pisang, prosesi kedua pada Pesta Budaya Tabuik Pariaman menyambut bulan Muharram 1434 Hijriyah.

         "Manabang Batang Pisang" atau menebang pohon pisang merupakan prosesi kedua Tabuik yang biasanya dilakukan pada 5 Muharram dengan satu tebasan melambangkan apa yang dilakukan oleh musuh Allah terhadap Hasan-Husein (cucu Nabi Muhammad SAW).

         Ketika malam beringsut naik, anak nagari kembali ke daerah mereka masing-masing sambil berarak-arakan dan menabuh gendang tambur dan tasa.

         Tetabuhan gendang tambur bertalu-talu, sementara gendang tasa mengiringinya serupa rentetan senapan otomatis yang ditembakkan tak henti-henti.

         Suara gendang itulah yang membangkitkan semangat anak nagari dan mewujudkan suasana perang karbala di pusat Kota Pariaman.

         Menurut Tetua Tabuik Nagari Subarang, Syafruddin, gendang tambur dan tasa tasa ini adalah pemanggil orang-orang dan penyemangat anak nagari di Pariaman terutama dalam pelaksanaan Pesta Budaya Tabuik.

         Bila tidak ada bunyi gendang tambur dan tasa, katanya, tidak timbul semangat anak nagari.

         Gendang "Tabuik" itu adalah semacam alat musik perkusi yang dipukul, biasanya terdiri dari enam buah Tambur (gendang) dan 1 buah Tasa.

         Syafrudin menjelaskan, menurut sejarahnya, gendang itu berasal dari bagian kayu yang tersisa sewaktu pembuatan kapal Nabi Nuh di tanah Arab kemudian dibawa oleh laut ke pantai Sumatera Barat.

         Selain Tabuik, Gendang tambur dan tasa juga digunakan untuk mengarak "anak daro jo marapulai" (pengantin), dan sejumlah acara menyambut tamu agung yang datang ke Pariaman kemudian digabung dengan Silat Gelombang.

         "Gandang Tasa Paimbau Urang" (gendang tasa pemanggil orang), demikian Syafrudin mengibaratkan fungsi gendang itu. Gendang tasa membangkitkan semangat penabuhnya dan orang yang mendengarnya, bahkan saking semangatnya, penabuh gendang itu seperti orang yang kerasukan saat menabuh gendang.

         Menurut Syafrudin, jenis bunyi gendang tasa berbeda-beda, ada jenis pukulan gendang perang dan pukulan gendang bersedih.

         Pukulan gendang perang dilakukan saat prosesi pertama "Maambiak Tanah" dan "Manabang Batang Pisang". Pukulannya bertalu-talu serupa sekelompok kuda yang tengah berlari.

         Karena bunyi gendang itu pula, dua anak nagari benar-benar berperang saat mereka berselisih jalan seusai prosesi "Manabang Batang Pisang".

         Tetua tabuik Nagari Pasa, menambahkan, gejolak terjadi saat dua nagari berselisih di jalan ketika kembali ke masing-masing rumah tabuik diibaratkan perang karbala, namun mereka benar-benar baku hantam saat bertemu meskipun kemudian damai kembali.

         "Dua kelompok tabuik ini melakukan penebangan pohon pisang "manabang batang pisang" di dua tempat yang berbeda, anak tabuik pasa menebang batang pisang di Simpang Galombang daerah subarang sedangkan tabuik subarang melakukannya di daerah pasa," kata dia.

         Dia mengatakan, perselisihan tersebut merupakan cerminan semangat yang ditunjukan oleh pasukan penguasa Yazid Bin Muawiyah saat berhadapan dengan pasukan Husein di Padang Karbala.

         "Hanya saja dalam setiap pelaksanaan tabuik tidak pernah dijelaskan mana yang mewakili pasukan Husein dan mana yang sebagi pasukan Yazid," ujar dia.

         Selain itu, dia mengatakan, walaupun kedua kelompok tabuik tersebut tidak dipastikan dia sebagai pasukan siapa namun tidak mengurangi semangat mereka dalam menjalankan ritual tersebut.

         "Perselisihan antara dua kelompok tabuik juga menunjukkan kesakralan ritual tabuik, karena setiap kelompok tabuik saat menjalaninya memang meraskan semangat perjuangan seperti kejadian yang sebenarnya," tutur dia.

         Dia berharap, kesakralan yang ada dalam pelaksanaan budaya tabuik tetap terjaga sehingga budaya yang tumbuh di tengah masyarakat Pariaman tersebut tetap terjaga kelestariannya.

Insiden Kecil

    Namun pada Rabu malam (21/11), saat prosesi "Maarak Panja" atau mengarak jari-jari diibaratkan jari Husein, perselisihan antar-dua nagari tersebut semakin memanas dipicu aksi lempar kerikil oleh pihak yang bukan anak nagari.

         "Ada yang melemparkan kerikil kemungkinan besar bukan dari anak dua nagari, diperkirakan dari penonton yang berniat provokasi," kata Pengamat Kebudayaan Pariaman, Abrar Khairul Ikhirma.

         Batu-batu yang dilemparkan berupa batu kecil, kemungkinan diambil dari pot bunga atau dari bekas reruntuhan pembangunan gedung dekat lokasi perselisihan di Kampung China, sebab kawasan tersebut selalu dibersihkan dari serakan batu atau sampah terlebih dahulu.

   Abrar menjelaskan, memang seperti tradisi sejak dulu perselisihan pada prosesi "Manabang Batang Pisang" dan "Maarak Panja" selalu diwarnai aksi lempar batu hingga sejumlah anak nagari terluka.

         Biasanya, batu-batu tersebut disimpan di dalam gendang tambur yang ditabuh sekuat tenaga sehingga ketika kulit gendang sobek, batu dikeluarkan dan dilemparkan.

         Menurut Abrar, sebenarnya tradisi lempar kerikil sudah dilarang dan hilang sejak tahun 80-an, karena memang Tabuik sekarang lebih difokuskan kepada bidang pariwisata. Namun demikian pertengkaran sambil baku hantam dengan tangan kosong, menurutnya biasa terjadi hingga kini.

         Tabuik kini berkembang menjadi sebuah tradisi pesta budaya tahunan bagi masyarakat Pariaman yang mengundang puluhan ribu antusias pengunjung setiap tahun, yang ditandai dengan mengarak, menghoyak dan melarung tabuik atau keranda dan simbol-simbol tragedi meninggalnya  Hasan-Husein ke laut.

         Prosesi Pesta Budaya Tabuik berlangsung mulai dari 1 hingga 10 Muharram, yang diawali dengan "Maambiak Tanah" dilanjutkan dengan "Manabang Batang Pisang". Kemudian "Maarak panja" (jari-jari), artinya mengarak jari-jari yang diletakkan pada alat yang bernama panja.

         Mengarak jari-jari merupakan kegiatan membawa tiruan jari-jari Husein yang tercincang pada perang Karbala. Selanjutnya, "Maarak saroban", melambangkan kebesaran dan penghormatan terhadap seorang pemimpin.

         Prosesi terus dilanjutkan hingga puncaknya pada 11 Muharram atau 25 November 2012, di mana dua tabuik itu dihoyak-hoyak (diarak sambil digoyang) dan diadu yang menggambarkan peperangan Karbala diiringi tetabuhan gendang tambur dan tasa yang semangatnya ikut merasuki  seluruh pengunjung. (*)


Pewarta : Iggoy El Fitra (Yogi Fitra)
Editor :
Copyright © ANTARA 2024