Jefri, awalnya tercengang kagum ketika melihat atraksi beberapa pesawat tempur milik TNI Angkatan Udara (AU) mengudara begitu indah berlenggak-lenggok mirip layang-layang hias nan menawan, Selasa (16/10) pagi.
Namun, gerakan indah itu hanya berulang beberapa kali sebelum akhirnya terjadi insiden pilu yang menggegerkan.
Pesawat tempur taktis Superhawk 200 itu tiba-tiba menukik tajam hingga lepas kendali dan terjatuh ke permukaan bumi dengan disertai ledakan cukup keras. "Bammm...," suara ledakan pertama terjadi sesaat sebelum pesawat naas itu terhempas.
Jefri, pria berusia 46 tahun ini bahkan sempat melihat seorang pilot yang belakangan diketahui bernama lengkap Letda Pnb Reza Yori Prasetyo keluar dari badan pesawat dengan menggunakan parasut.
Setelah itu, berjarak sekitar beberapa detik, diakuinya baru kembali terdengar ledakan lebih keras, "bommm...," katanya.
Menyaksikan insiden itu, Jefri kemudian berlari sambil berteriak, "ada pesawat jatuh, ada pesawat jatuh, awas meledak."
Sontak, situasi tenang pagi itu, sekitar pukul 09.47 WIB, menjadi riuh ketika puing bangkai pesawat tempur milik TNI AU, Skadron Udara 12 Lanud Rusmin Nurjadin Pekanbaru, berhamburan bahkan hangus terbakar.
Insiden tersebut kemudian mengundang ribuan warga untuk berbondong menyaksikan puing bangkai pesawat yang jatuh hanya berjarak beberapa meter dari hunian warga yang berada di sekitar RT 03, RW 03, Desa Pandau Permai, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau.
Peristiwa jatuhnya pesawat tempur itu diakui Jefri terjadi begitu cepat hingga mendatangkan kepanikan yang luar biasa bagi banyak warga sekitar.
"Pilotnya terlempar ke dekat kolam warga. Jaraknya sekitar 80 meter dari lokasi jatuhnya pesawat," katanya.
Tidak ada korban jiwa pada peristiwa ini.
Jarak rumah Jefri dengan lokasi jatuhnya pesawat Hawk 200 itu hanya sekitar 150 meter.
"Tidak hanya saya, waktu kejadian itu, semua warga berteriak 'ada pesawat jatuh, ada pesawat jatuh'. Pokoknya semuanya rusuh, panik, takut-takut pesawat itu kembali meledak," katanya.
Didik Herwanto (27), langsung bergegas mengambil sebuah tas berisikan kamera kesayangan ketika mendengar suara ledakan cukup keras di atas udara.
"Waktu itu, saya baru saja mau mandi. Sedang memakai handuk. Tiba-tiba ada suara ledakan cukup keras," kata Didik dengan semangat, Selasa (16/10) malam.
Kalau tidak salah, kata pewarta foto Suratkabar Riau Pos ini, waktu itu jarum jam menunjuk angka 09.30 WIB.
"Saya langsung keluar rumah. Di luar saya dengar ibu-ibu tetangga rumah teriak, 'ada pesawat jatuh, ada pesawat jatuh'," katanya.
Mendengar teriakan warga tersebut, naluri jurnalistik Didik seakan membawanya untuk melupakan sejenak 'acara' mandi untuk bergegas meluncur menuju insiden yang dimaksudkan warga.
"Waktu itu, saya memang sempat melihat pesawat yang dimaksud warga. Bahkan saya sempat melihat ada pilot yang terbang dari pesawat tempur itu," katanya.
Pria lajang anak kedua dari tiga bersaudara ini kemudian memacu sepeda motornya dengan mengajak seorang remaja yang kebetulan tengah berada di sekitar rumah.
Lokasi kejadian jatuhnya pesawat tersebut, ternyata hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari rumahnya.
Sesampai di lokasi kejadian, tepatnya pada permukiman warga RT 03, RW 03, Desa Pandau Permai, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau, Didik langsung mengabadikan peristiwa langka itu dengan memotret bangkai pesawat yang masih 'segar'.
"Ada sekitar 20 menit saya mengambil gambar bangkai pesawat. Kalau tidak salah, ada lebih seribu gambar yang telah berhasil saya rekam," katanya.
Pagi itu, diakuinya, juga belum ada petugas TNI AU yang datang sehingga pengabadian peristiwa dapat dengan leluasa dilakukan.
Namun, beberapa saat kemudian, sejumlah anggota TNI AU berpakaian dinas termasuk anggota Paskhas datang ke lokasi kejadian.
"Awalnya tidak ada masalah. Hanya ada teriakan petugas menyuruh warga untuk menjauh dari lokasi sambil berteriak katanya ada bom. Saya pun mundur menjauh dari bangkai pesawat," katanya.
Lagi-lagi naluri jurnalistik membuat Didik nekat untuk kembali mengabadikan bangkai pesawat naas tersebut.
Namun, belum lagi mengabadikan bangkai pesawat itu, Didik langsung menerima perlakuan tidak menyenangkan dari seorang anggota TNI AU berpangkat Letkol.
"Anggota itu langsung menyerang saya sampai saya tersungkur. Kemudian menyusul sejumlah anggota Paskhas ikut-ikutan menginjak-injak saya. Bahkan saya dicekik," kata Didik sambil menjelaskan, belakangan Anggota TNI AU yang pertamakali 'main tangan' tersebut ternyata bernama Letkol Robert Simanjuntak.
Jurnalis andal bagi media yang mempekerjakannya ini sempat mendapat perlakuan penganiayaan selama beberapa menit sebelum akhirnya diamankan oleh Polisi Militer yang kebetulan menyusul datang.
"Kalau tidak, entah jadi apa saya ini. Saya terus dipukul seperti pelaku kriminal," katanya.
Didik mengaku juga sempat mendapat ancaman atau intimidasi dari salah seorang anggota yang melakukan pemukulan ketika itu. Bahkan akibat kekerasan oknum TNI, wajah bagian kiri Didik mengalami memar dan luka bengap di bagian punggung.
Rian FB Anggoro
Intimidasi dan tindak kekerasan oknum TNI AU juga menimpa seorang pewarta foto Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA Biro Riau, Rian FB Anggoro.
Pria lajang yang tidak lama lagi akan melangsungkan pernikahan bersama seorang dokter ini mengalami tindak kekerasan di lokasi yang sama, saat hendak mengabadikan insiden jatuhnya pesawat Hawk 200 milik TNI AU dengan kamera foto kesayangannya.
Rian harus menerima 'bogem' demi 'bogem' untuk pengabdiannya sebagai jurnalistik telaten di sebuah lembaga kantor berita.
Tidak hanya pukulan dan intimidasi, pria bertubuh atletis ini juga harus rela kehilangan kaca mata yang ia kenakan, bahkan kamera kesayangan yang menjadi 'tiang' naluri kewartawannya pun dirampas oleh oknum aparat tak dikenal.
Situasi kacau dengan 'warna' berbagai aksi kekerasan serta intimidasi di lokasi jatuhnya pesawat naas itu juga menimpa beberapa awak media lainnya.
Seperti Andika (pewarta foto Harian Vokal) yang mengalami luka di bagian telinga kiri usai menerima pukulan telak, serta Nasyuha Nasution (pewarta tulis Media Tribun Pekanbaru) yang diterjang secara beringas oleh aparat berseragam.
Kemudian ada pula beberapa reporter Riau Televisi (RTV) yang harus rela berkejar-kejaran dengan aparat untuk menyelamatkan kamera inventarisnya.
Jatuhnya pesawat Hawk milik TNI AU di Riau, menurut pewarta senior Kompas, Syahnan Rangkuti, terbukti tidak hanya manguak 'buruknya' alat utama sistem senjata (alutsista), namun juga mengungkap tabir arogansi anggota TNI dalam mengemban tugas kenegaraan.
"Karena selain menganiaya wartawan, oknum TNI juga didapati juga menganiaya warga yang tak tahu apa-apa," katanya.
Syahnan yang sekaligus Ketua Solidaritas Wartawan (Sowat) Riau ini juga menegaskan, bahwa tindak kekerasan oknum TNI terhadap sejumlah wartawan dan warga merupakan pelanggaran etika wajib TNI.
"Ada delapan wajib TNI yang sekaligus dilanggar oleh oknum TNI itu sendiri saat terjadinya insiden jatuhnya pesawat tempur Superhawk-200," kata Syahnan dalam keterangan resminya di Pekanbaru, Riau, Selasa sore.
Ia menguraikan dalam sumpah wajibnya, TNI seharusnya bersikap ramah tamah terhadap rakyat, namun pada kenyataannya, saat adanya insiden jatuhnya pesawat, oknum TNI bertindak tidak ramah dan bahkan justru melakukan kekerasan.
TNI kata dia, juga disumpah untuk bersikap sopan dan santun terhadap rakyat, namun nyatanya (di lokasi pesawat jatuh), para oknum TNI justru bertindak gegabah dengan melakukan bentakan bahkan ancaman terhadap wartawan dan warga sekitar.
Kemudian TNI juga sebenarnya telah disumpah untuk menjunjung tinggi kehormatan wanita, namun nyatanya, banyak juga kasus-kasus terhadap wanita yang ternyata dilakukan oleh oknum TNI.
Selanjutnya, TNI juga sebenarnya telah disumpah untuk menjaga kehormatan diri di muka umum, namun pada kenyataannya, demikian Syahnan, para oknum TNI juga telah bertindak arogan dengan seragam lengkap yang dikenakannya.
"Kemudian anggota TNI juga telah disumpah untuk senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaan, namun terbukti telah menunjukkan sikap yang brutal dengan melakukan penganiayaan terhadap warga dan wartawan," katanya.
Intinya, kata Syahnan, tindak kekerasan para oknum TNI terhadap sejumlah wartawan dan warga saat terjadinya insiden pesawat jatuh yang berlokasi tepat di sekitar permukiman warga RT 03, RW 03, Desa Pandau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, telah berlawanan dengan kewajiban TNI yang merupakan 'motor' etika rakyat.
Kasus di Riau yang pasti ada hikmahnya ini juga mendapat sorotan dari berbagai kalangan, termasuk ketua DPR, pengamat, dan insan pers sendiri.
Kondisi Laik
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispen AU), Marsekal Pertama Azman Yunus yang meninjau lokasi kejadian menyatakan, sebelum terbang, kondisi pesawat Superhawk 200 buatan British Aerospace Inggris milik TNI AU itu dalam keadaan baik.
Pihaknya juga sudah memeriksa kondisi pesawat hingga laik dioperasikan saat latihan penerbangan. Pesawat itu terbang di atas perumahan warga dalam rangka latihan rutin.
Namun tiba-tiba, kata Azman, pesawat naas oleng dan akhirnya jatuh di sekitar pemukiman warga.
Pihaknya berjanji akan melakukan identifikasi guna mencari tahu penyebab jatuhnya pesawat tempur bernomor ekor TT-0212 itu.
Di kesempatan terpisah, Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) TNI Angkatan Udara Pekanbaru, Riau, Kolonel (Pnb) Bowo Budiarto mengatakan insiden kecelakaan terhadap pesawat tempur tersebut di luar dugaan mengingat pesawat selalu mendapat perawatan yang maksimal.
"Untuk kemungkinan-kemungkinan, belum bisa dijelaskan. Nanti akan diselidiki lebih dalam apa penyebabnya. Tim Mabes TNI juga telah datang ke Pekanbaru. Mereka akan langsung memeriksa lokasi kejadian." kata dia.
Sementara, terkait kondisi sang pilot, Kolonel Bowo mengakui kondisi fisik pilot tidak mengalami luka, hanya mengalami shock sehingga membutuhkan pemulihan mental.
"Intinya, pilot masih butuh pemulihan fisik. Nanti ketika sudah pulih, dia akan diperiksa untuk mengetahui penyebab pesawat bisa jatuh," katanya.
Bukan Pertama
Pesawat TNI AU yang terjatuh kali ini bukanlah yang pertama. Jika dirunut dalam beberapa tahun terakhir, insiden naas serupa juga telah berulang terjadi hingga menambah duka kondisi alusista negara.
Pada rentang waktu belum lama ini, tepatnya di tanggal 29 September 2012, pesawat AS-202 Bravo yang dipiloti oleh Marsekal Muda (Purn) Noorman Lubis dan Letkol (Purn) Toni Hartono selaku kopilot juga jatuh di Lanud Husein Sastranegara, Bandung.
Bedanya, pesawat canggih ini terjatuh dengan begitu 'kejam' saat dilakukannya atraksi terbang di Bandung Air Show, di mana kedua awak pesawat pengendalinya tewas bersama bangkai alat perang negara itu.
Namun penyebab atas insiden maut tersebut, hingga nyaris melampaui rentang waktu satu bulan ini, belum kunjung diketahui.
Bergeser pada beberapa bulan sebelumnya di tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 21 Juni 2012, pesawat Fokker yang ditumpangi sebanyak tujuh awak juga jatuh secara tiba-tiba tanpa kendali maksimal.
Insiden ini juga terjadi ketika opreasional latihan rutin TNI AU dalam mengarungi udara bebas. Bahkan parahnya, pesawat naas tersebut terjatuh tepat di wilayah permukiman warga yang berlokasi di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Pada insiden ini, pesawat tersebut sempat mengalami ledakan hebat hingga menyebabkan sepuluh korban jiwa dan belasan warga mengalami cedera cukup serius.
Jika dirunut lebih jauh lagi, di tahun 2009 juga sempat terjadi beberapa kali kecelakaan pesawat milik TNI AU. Semisal di tanggal 12 Juni 2009, di mana helikopter Puma H3306 milik TNI AU juga lepas kendali di Lapangan Udara Atang Senjaya, Bogor, Jawa Barat.
Insiden ini menyebabkan dua anggota TNI AU yang merupakan pilot dan kopilot tewas hangus terbakar bersama bangkai pesawat.
Di tahun yang sama, juga terjadi kecelakaan helikopter TNI AU jenis Bolkow 105 buatan PT Dirgantara Indonesia yang jatuh di Desa Situhiang, Kelurahan Pagelaran, Cianjur hingga menyebabkan sebanyak tiga awaknya tewas.
Rentetan insiden kecelakaan pesawat milik TNI AU ini setidaknya menambah keprihatinan alutsista negara. Tidak tahu, di mana salahnya.
Tambah Anggaran
Namun yang jelas, belum lama ini, pihak Kementerian Pertahanan menyatakan, kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) negara sudah banyak yang uzur. Tak ada cara lain, selain melakukan modernisasi mesin tempur Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Terkait dengan hal itu, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Keamanan Hartind Asrindi Jakarta beberapa waktu lalu menyatakan, tahun depan (2013), pemerintah telah menyiapkan anggaran untuk membeli peralatan perang baru maupun memperbaiki yang lama, di mana total anggaran yang dibutuhkan yakni sebesar Rp28,2 triliun.
Jumlah tersebut meningkat sekitar 36,31 persen dari total rencana anggaran teralokasi untuk belanja Kementerian Pertahanan yang mencapai Rp77,7 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) tahun 2013.
Jumlah tersebut bahkan juga meningkat sebanyak Rp4,8 triliun atau sekitar 6,6 persen dibandingkan dengan anggaran belanja Kemhan di APBN Perubahan 2012 yang hanya sebesar Rp 72,9 triliun.
Anggaran belanja hingga mencapai Rp77,7 triliun ini berasal dari keuangan negara sebesar Rp 64,4 triliun, pinjaman luar negeri sebesar Rp 12,8 triliun, dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp600 miliar.
Hartind juga mengatakan, kenaikan anggaran dari Rp72,9 triliun menjadi Rp77,7 triliun akibat melonjaknya seluruh aspek anggaran, mulai dai belanja pegawai, belanja barang hingga belanja modal.
Sedangkan anggaran belanja alutsista merupakan rencana strategis empat hingga lima tahun (berjangka), yakni 2010 sampai 2014, di mana total anggaran belanja alutsista selama lima tahun mencapai Rp150 triliun.
Pengalokasian anggaran yang tidak sedikit itu tentunya disertai harapan agar kondisi alutsista negara dapat lebih maksimal, sehingga insiden kecelakaan seperti jatuhnya pesawat tembur Superhawk 200 di Riau, jangan lagi terlulang. (*)
* Wartawan Antara
Naluri Jurnalistik Ingin Mengabadikan Peristiwa Langka
Superhawk TNI AU yang jatuh dan terbakar di Pekanbaru.