Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara RI (Polri) kembali bersitegang terkait kasus dugaan korupsi simulator Surat Ijin Mengemudi (SIM) R2 dan R4 tahun anggaran 2011 di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dengan nilai poyek sebesar Rp198,7 miliar. KPK telah melakukan penggedahan di Gedung Korlantas Polri yang terletak di Jalan di Gedung Korlantas di Jalan MT Haryono Jakarta Selatan dari Senin sore (30/7) hingga Selasa dinihari (31/7) oleh KPK. Pada Senin malam sempat terjadi ketegangan antara penyidik KPK dengan anggota Polri yang bertugas di Korlantas saat terjadi penggeledahan. Menurut Juru Bicara KPK, Johan Budi, penggeledahan itu sempat terhenti karena ada ketidaksepahamanan antara kedua pihak. Namun setelah pimpinan KPK, seperti Abraham Samad, Bambang Widjojanto serta Busyro Muqoddas bertemu dan berdiskusi dengan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Pol Komjen Pol Sutarman, maka usaha penggeledahan kembali dilakukan. Selanjutnya pada Selasa sore Pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto bertemu Kapolri, Jenderal Pol Timur Pradopo di Mabes Polri dan sepakat melakukan kerja sama penyidikan terkait kasus dugaan korupsi simulator dengan tersangka DJoko Susilo. "Tentunya kita sama-sama punya tugas penanganan penyidikan korupsi, maka kita mengarah kalau nanti sama obyeknya maka akan dilakukan 'joint investigation'," kata Timur.Hal tersebut disampaikan Kapolri seusai melakukan pertemuan dengan Pimpinan KPK. Bila nanti ditemukan adanya hal-hal yang perlu dikooperatif, maka akan dilakukan kerja sama penyidikan, katanya. Sementara itu, di tempat yang sama Ketua KPK, Abraham Samad mengatakan bahwa masih mendalami penyidikan kasus dugaan pengadaan simulator tahun 2011 yang melibatkan Djoko Susilo saat ini menjabat sebagai Gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) nonaktif. "Tujuan kita kemari untuk membangun kerja sama, tadi Kapolri menyampaikan ada ide, gagasan, niat, kalau dari hasil pengembangan perkara ini kita 'join investigation'," kata Abraham. Keduanya ada kesepakatan bahwa masalah ini tetap ditangani KPK dan Kepolisian menangani kasus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), katanya. "Kepolisian masuk penyidikan, tapi tersangkanya beda, kalau polisi tersangkanya PPK, kalau KPK ada tersangkanya DS (Djoko Susilo, red). Kita saling menghargai, menghormati, Polri tetap penyidikannya begitu pula KPK," kata Abraham. Ketua KPK mengatakan banyak hal yang dibicarakan bersama Kapolri terutama mengenai barang bukti, masalah nota kesepahaman dan sudah ada kesepakatan barang bukti dibawa KPK untuk verifikasi. "Kita sama-sama membangun bahwa KPK dan Polri mempunyai komitmen bersama untuk berantas korupsi tanpa pandang bulu, sekalipun berasal dari anggota polisi," kata Abraham. Menabrak kesepakatan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto pada Kamis (2/8) menetapkan tiga tersangka lagi Brigjen Pol Didik Purnomo yaitu Wakil Kepala Korlantas, Budi Susanto, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) yang menjadi pemenang tender proyek pengadaan simulator SIM dan Sukotjo S Bambang yaitu Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia yang menjadi perusahaan subkontraktor dari PT CMMA. Sebelumnya KPK mulai melakukan penyelidikan kasus tersebut sejak Januari 2012 dan menghasilkan surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) tertanggal 27 Juli 2012 untuk proyek dengan nilai total Rp198,7 miliar tersebut. KPK juga sudah mencegah lima orang terkait kasus ini yaitu Djoko Susilo, Didik Purnomo, Teddy Rusmawan, Wandy Rustiawan dan Budi Susilo. Didik Purnomo adalah Wakil Kepala Korlantas berpangkat Brigjen Pol sedangkan Teddy Rusmawan adalah Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Simulator dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) yang juga Kepala Primer Koperasi Korlantas Polri. Hal tersebut tentu saja dianggap pihak Polri bahwa KPK telah menabrak kesepakatan yang dilakukan dengan mengumumkan para tersangka lainnya. Polri menyatakan dengan tidak akan menyerahkan tiga tersangka tersebut kepada KPK. Polri tidak akan menyerahkan tiga tersangka ke KPK," kata Kabareskrim Polri, Komjen Pol Sutarman di Jakarta, Jumat (3/8). Tiga tersangka yang telah ditetapkan KPK juga ditetapkan oleh Polri. "Pada tanggal 31 Juli 2012, Bareskrim Polri menetapkan penyelidikan menjadi penyidikan dan menetapkan Budi Susanto dan kawan-kawan selaku penyedia barang sebagai tersangka dalam perkara pengadaan simulator R2 dan R4 di Korlantas," kata Sutarman. Hal tersebut sesuai dengan Sprindik No : Sprindik /184 a/VII/20112/Tipidkor tanggal 31 Juli2012 dan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) No SPDP/15/VIII/2012/Tipidkor tanggal 1 Agustus 2012 dikirim ke KPK dan Kejaksaan Agung. Pada tanggal 1 Agustus 2012, Bareskrim Polri juga menetapkan empat tersangka yakni Didik Purnomo,Sukotjo S Bambang, Budi Susanto dan Teddy Rusmawan. Kemudian pada Kamis (2/8) di beberapa media, KPK telah menetapkan Didik Purnomo,Sukotjo S Bambang dan Budi Susanto, kata Sutarman. "Pada Jumat ini di beberapa media menyatakan bahwa penyidik Polri tidak berwenang lagi jika kasus korupsi ditangani KPK. Padahal 'joint investigation' dalam penanganan perkara seperti ini sudah pernah KPK lakukan dengan dengan penegak hukum lain tahun 2011 yaitu kasus penyalahgunaan APBD Kabupaten Langkat dengan tersangka Syamsul Arifin," kata Sutarman. Semakin meruncing Polemik antara Polri dan KPK dalam penanganan kasus dugaan korupsi simulator SIM semakin meruncing, karena Polri tetap akan melanjutkan penyidikan. Bahkan Polri menahan empat tersangka kasus tersebut pada Jumat tengah malam (3/8), dimana tiga tersangka ditahan di Rutan Korps Brimob dan satu tersangka ditahan di Rutan Bareskrim. Tiga tersangka yang ditahan di Rutan Korps Brimob yakni Didik Purnomo,Teddy Rismawan dan Kompol Legimo. Sementara satu tersangka, Budi Susanto ditahan Rutan Bareskrim. Terkait polemik tersebut menimbulkan reaksi berbagai pihak diantaranya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Hikmahanto Juwana meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepatutnya segera bertindak untuk meminta Polri mematuhi Undang-Undang KPK dan segera menyerahkan kasus dugaan korupsi simulator SIM ke KPK. "Ketegasan ini harus dilakukan di tengah kesan keengganan Polri untuk melimpahkan kasus dugaan korupsi simulator ke KPK," kata Hikmahanto yang merupakan mantan Anggota Tim 8 di Jakarta. Menurut dia tindakan SBY dibutuhkan agar kasus Cicak Buaya tidak terulang kembali. Kondisi masyarakat yang terbelah dari kasus hukum yang mencuat harus dihindari. "Kelambanan Presiden dalam bertindak justru akan menjadikan kasus simulator SIM menjadi beban Presiden ketika masyarakat mengambil alih permasalahan ini ditangan mereka sendiri melalui berbagai cara, termasuk sosial media," kata Hikmahanto. Kejadian Cicak dan Budaya seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk diwaspadai agar tidak terulang, katanya. "Perintah Presiden kepada Kapolri sebagai atasannya untuk mematuhi UU KPK bukanlah intervensi hukum. Perintah tersebut merupakan komitmen dan keberpihakan Presiden untuk tegaknya negara hukum," kata Hikmahanto. Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengusulkan Polri dan KPK segera duduk bersama untuk menghindari komplik antar lembaga sesama penegak hukum. Kompolnas sendiri saat ini akan menyarankan kepada Presiden agar ikut memediasi kedua lembaga ini agar saling menghargai dan bersinergi dalam penegakan hukum untuk menangani kasus dugaan korupsi simulator SIM. Kompolnas sudah menyiapkan rekomendasi kepada Kapolri, agar segera melakukan langkah-langkah untuk mengambil sikap agar penegakan hukum bisa dilaksanakan dalam melaksanakan semangat pemberantasan korupsi. Rekomendasi itu akan diserahkan kepada Kapolri, Senin (6/8). "Bagi masyarakat siapapun yang menangani korupsi tidak masalah, yang penting penanganannya dilakukan secara profesional dan transfaran,"kata Anggota Kompolnas, Edi Saputra Hasibuan. Melihat kondisi yang terjadi saat ini, Kompolnas menilai perebutan penanganan korupsi simulator SIM antara Polri dan KPK sangat tidak baik karena lebih banyak menonjolkan kompliknya dari pada kasusnya sendiri, katanya. (*)

Pewarta : Susylo Asmalyah
Editor :
Copyright © ANTARA 2024