Siang itu, Rabu (16/11) di daerah Pasir Putih Kenagarian Kambang Utara Kecamatan Lengayang Pesisir Selatan, Sumatera Barat cuaca tampak cerah. Hari itu adalah hari yang sangat bagus bagi masyarakat sekitar untuk melakukan rutinitas harian.

Namun, cuaca itu tidak serupa dengan raut wajah Nurlison. Lelaki tua berkulit hitam itu adalah Wali Nagari (Kepala Desa/red) Kambang Utara.

     Wajahnya tampak kusam tidak seperti hari-hari sebelumnya. Ia pada hari-hari biasanya adalah orang yang murah senyum dan senang menyapa setiap kali bertemu dengan orang yang dikenal.

     Ia begitu dekat dan akrab dengan warganya. Tidak pilih tua atau muda, miskin atau kaya, semuanya sama di hati dan mata Nurlison, sehingga warga di sana menganggapnya sebagai “urangtuo” (Orangtua).

     Rabu siang itu, tatapannya hampa, lepas ke arah laut, dari tempat duduknya di teras rumah. Wajah itu seperti terbeban pikiran.

     “Ini sudah takdir Tuhan, saya bisa selamat dari amukan arus banjir. Sedangkan, dua warga saya belum ditemukan hingga kini. Satu ditemukan meninggal di laut lepas, terseret derasnya arus air bah malam itu,” sebut Nurlison membuka percakapan sembari duduk di kursi kayu yang bersandar di dinding teras rumahnya.

     Bencana banjir besar pada Kamis 3 November 2011, yang memporak-porandakan kampung tempat ia memimpin, telah membekaskan kesedihan di hati lelaki 60 tahun itu. 

     Satu di antara warganya yang menjadi korban ditemukan meninggal terapung di laut lepas beberapa hari setelah peristiwa banjir yang tiba-tiba datang di kala warga tengah lelap tertidur. Dua korban lagi lenyap tidak tahu dimana dan bagaimana nasibnya, hingga kini. 

     Malam itu, matanya sulit terpejam, hujan yang mengguyur sejak Rabu (2/11) sore itu, bertambah deras, hingga larut malam tak jua reda. Perasaannya gelisah. Ia mondar-mandir dan pada akhirnya berjalan menuju teras rumah, dalam keadaan gelap karena listrik sudah padam sejak sore.

     Seketika itu, ia mendengar gemuruh air dari arah belakang rumah. Samar-samar namun terdengar teriakan warga sekitar yang memecah bunyi hujan yang menimpa atap rumah.

     “Seingat saya, gemuruh itu terdengar sekitar pukul 03.00 WIB, Kamis dini hari,” katanya.

     Hujan semakin deras. Ia semakin galau. Samar terdengar dan sulit terlihat--tapi ia yakin-- bunyi ombak dan derasnya air bah saling kejar-mengejar, bercampur aduk dengan dentuman pohon menerpa dinding-dinding rumah di sekitarnya. Air pun sudah mulai menggenangi lantai rumah Nurlison. Hiruk pikuk suara warga semakin terdengar dalam adukan bermacam bunyi di malam itu. 

     “Sebelum kejadian, hujan turun lebat tiada henti. Saya memang khawatir akan terjadi banjir besar. Karena itu, saya tidak bisa tidur. Kira-kira pukul 03.00 WIB, terdengar suara gemuruh yang luar biasa datang dari arah hulu. Semua keluarga langsung saya suruh ke luar rumah, karena air mulai meninggi. Warga sekitar,  saya teriaki untuk menyelamatkan diri,” katanya.

     Nurlison bersama anak dan istri menyelamatkan diri ke jalan arah selatan menuju Pasar Kambang, menjauh dari jalan lintas Sumbar-Bengkulu yang berada di daerah Pasir Putih.

     Ketika telah menjauh dari rumah, tiba-tiba ia teringat, kalau ibunya masih berada di dalam rumah. Ia bergegas kembali untuk menjemput ibunya.

     Ia menyebutkan, saat itu banjir baru menggenangi badan jalan lintas Sumbar-Bengkulu yang berada di daerah Pasir Putih, air masih setinggi betis.

     “Sekarang, jalan itu telah hancur,” ujarnya.

     Sekembali dari rumah, arus banjir semakin kuat dan menyebabkan Nurlison dan sang ibu yang berada di gendongan pun terseret hingga beberapa meter. Sebagian kecil rumahnya rusak, namun tidak hancur dan tidak terseret banjir.

     Banjir yang datang tiba-tiba itu, menyebabkan jalan di sekitar rumahnya terbelah menjadi tiga, hingga membentuk muara. Rumah yang dulu ditempati bersama keluarga, kini berada di tengah-tengah muara. Rumah Nurlison seperti berada di pulau kecil.

     “Untung Tuhan masih memberikan perlindungan. Tanpa disadari, saya dan ibu tersangkut di akar pandan hingga pagi, sebelum dievakuasi warga,” katanya.

     Menurut dia, tiga warga yang hilang terseret banjir berlari ke jalan lintas arah utara (arah menuju ke Kota Padang). Satu diantaranya ditemukan meninggal. Sedangkan dua lagi tidak ditemukan hingga kini.

     Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan telah memasukan status rumah milik Nurlison ke dalam daftar rumah hancur bersama 39 rumah lainnya di Pasir Putih Nagari Kambang Barat. Meski demikian, Nurlison bersama beberapa kepala keluarga lainnya, kini masih bertahan sebagai penghuni setia dan tidak ingin beranjak ke pengungsian.

     Bagi Nurlison, banjir itu merupakan kejadian luar biasa. Sebab, disamping menghanyutkan puluhan rumah permanen milik penduduk dan menyeret mengakibatkan korban jiwa. Selain itu, air bah yang datang tiba-tiba itu juga menghancurkan jalan lintas Sumatera menjadi muara sungai.

     “Kini rumah saya sudah berada di tengah-tengah muara sungai. Di sampingnya, langsung bertemu dengan air sungai. Sebelumnya di tempat itu terdapat rumah warga, di depannya terbentang jalan lintas Sumbar-Bengkulu,” sebutnya.

     Setiap kali Nurlison dan keluarga hendak bepergian, mereka harus mendayung perahu atau menaiki rakit bambu menyeberang air di muara itu.

    Akibat Banjir

     Posko Informasi Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan mencatat, rumah hancur atau hanyut akibat banjir besar yang melanda 11 kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan sebanyak 86 unit. Sebanyak 39 unit diantaranya berada di daerah Pasir Putih Kambang Kecamatan Lengayang.

     Sebanyak 75 rumah mengalami rusak berat, 20 diantaranya terdapat di Pasir Putih Lengayang. Total kerugian dari kerusakan rumah akibat banjir tersebut yang melanda 11 Kecamatan di Pesisir Selalatan pada 3 November 2011 senilai Rp88,34 miliar.

     Banjir juga menyebabkan kerugian pada fasilitas umum lainnya, seperti sarana ibadah yakni masjid dan mushala. Kerugian di sektor peternakan yakni kerbau, sapi, kambing dan ayam senilai Rp5,15 miliar.

     Total kerugian dari semua sektor baik, peternakan, pertanian, prikanan, jalan dan jembatan, irigasi, sarana pendidikan, kesehatan, sarana air bersih dan energi senilai Rp289,30 miliar.

      Banjir juga mengakibatkan enam korban jiwa. Tiga warga Pasir Putih Lengayang, dua diantaranya Ismaidarni (40) dan Syintia (22) belum ditemukan hingga sekarang. Sementara Naisya (8) ditemukan meninggal di laut lepas sekitar satu mil dari pinggir pantai.

     Tiga korban lainnya warga Rantau Simalenang Kecamatan Linggo Sari Baganti yakni, Kidit (65), Rayos (40) dan anaknya Azil (1) yang ditemukan meninggal di lokasi dekat perkebunan masyarakat atau sekitar satu kilometer dari tempat awal terseret. 


Pewarta : Junisman
Editor :
Copyright © ANTARA 2024