KEBERADAAN Jorong Kabun di Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung hingga kini tak menentu nasibnya, entah kampung itu memang sebuah jorong, entah merupakan kampung tak bertuan yang tak jelas sistem dan pola pemerintahannya. Itu terjadi sejak berobahnya sistem pemerintahan dari pemerintahan desa ke pemerintahan nagari. “Hidup kami ini memang tak jelas, entah kami ini masyarakat sebuah nagari entah warga sebuah jorong, karena sampai sekarang tak ada pemerintahan yang jelas yang mengatur di kampung kami ini,” ujar salah seorang tokoh pemuda Kabun, Bakirman (22) bersama Mak Ahur (47) tokoh masyarakat Kabun Rabu (12/10) lalu. Akibat ketidak jelasan status pemerintahannya menyebabkan berbagai aktivitas pembangunan dan pemerintahan di Kabun vakum. Ini jelas sangat berdampak sekali terhadap kehidupan masyarakat setempat, tidak saja tertinggal disektor pembangunan dan pemerintahan, tapi juga terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan, termasuk ekonomi, kesehatan dan pendidikan. “Kami tak obahnya bagaikan warga yang tinggal didaerah perbatasan, segala-galanya selalu dalam serba kekurangan karena tidak ada yang memperhatikan,” kata Bakirman. Dulu tambah Bakirman, semasa masih pemerintahan desa roda pembangunan dan pemerintahan di Kabun berjalan dengan baik, karena adanya seorang kepala desa yang memimpin masyarakat. Tapi sejak keluarnya undang-undang otonomi daerah, UU No 22 Tahun 1999 dan dibarengi dengan Perda Sumatera Barat No 9 Tahun 2000 tentang ketentuan pemerintahan nagari serta Perda Kabupaten Sawahlunto Sijunjung Nomor 22 tahun 2001 tentang pemerintahan nagari, maka telah membawa perubahan terhadap masyarakat. Hanya saja perubahan itu bukan ke arah yang lebih baik dan maju sebagaimana yang diharapkan, melain kearah yang semakin memiriskan. Hal bukan disebabkan masyarakat tidak menerima perubahan sistem pemerintahan yang telah ditetapkan pemerintah dari sistem pemerintahan desa ke pemerintahan nagari. Tapi dikarenakan masyarakat Kabun ingin memiliki pemerintahan nagari sendiri, tidak tergabung dalam pemerintahan nagari Sisawah yang merupakan nagari induk dari jorong Kabun. “Perubahan sistem pemerintahan itu sangat kami terima, sebab masyarakat juga sangat mendambakan hidupnya kembali pemerintahan nagari, hanya saja kami ingin punya pemerintahan sendiri, yaitu pemerintahan nagari Kabun dengan pertimbangan daerah kami ini jauh dari pusat pemerintahan nagari yang berada di Sisawah, serta jalan yang harus ditempuh untuk sampai ke pusat pemerintahan nagari juga masih jalan setapak,” jelasnya. “Dan yang lebih menyedihkan lagi, pernah dulu ada warga Kabun yang ingin melangsungkan pernikahan, sesampainya di Sisawah oleh P3N malah ditolak dengan alasan yang tidak jelas, sejak itu kami masyarakat Kabun sudah bertekad ingin memiliki pemerintahan sendiri dan itu sudah merupakan harga mati,” tutur Bakirman dan Mak Ahur. Kalaupun harus bergabung dengan nagari lain ulasnya, maka warga Kabun lebih memilih bergabung dengan Nagari Muaro atau Nagari Padang Laweh, karena kedua nagari tersebut bertetangga dengan Kabun serta transportasi ke kedua nagari itu juga sudah lancar dan dapat ditempuh dalam hitungan menit. “Sebenarnya kami warga Kabun sangat menyadari kalau secara historis hubungan Kabun dengan Sisawah sangat erat sekali, tapi keinginan kami memekarkan nagari bukanlah untuk memutus hubungan sejarah yang telah ada, melainkan untuk kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, dan keinginan ini sudah berkali-kali disampaikan ke Pemkab Sijunjung, hanya saja sampai sekarang keinginan itu belum jua kesampaian, sementara rekan kami di Bukit Bual yang sama-sama berjuang untuk pemekaran nagari sekarang sudah memiliki pemerintahan sendiri. Akankah Pemkab tetap membiarkan kami di Kabun ini terus hidup dalam ketidak pastian seperti sekarang ini ?,” katanya dengan nada bertanya. Menyinggung tentang kondisi Kabun sejak dicetuskannya kembali pemerintahan nagari, Bakirman dan Mak Ahur mengaku, roda pembangunan dan pemerintahan memang tak berjalan, berbagai program pembangunan boleh dibilang tak ada untuk warga Kabun, kecuali satu buah Sekolah Menegah Pertama (SMP) 39 yang diusung oleha Dinas Pendidikan serta masuknya PLTS oleh Distamben. Sementara untuk pembangunan fisik lainnya, tak ada yang dilakukan pemerintah untuk warga Kabun. “Jangankan pembangunan fisik, bantuan langsung tunai (BLT) dan Raskin saja warga kami tak bisa mencicipinya,” terangnya. “Semua itu mungkin konsekuensi dari keinginan kami untuk memekarkan nagari, sebab memang tak ada lembaga yang mengusung berbagai keinginan dan kebutuhan masyarakat,” pintasnya lagi. Namun demikian, andai saja Pemkab Sijunjung arif dan bijaksana dalam menyikapi kondisi warga Kabun, hal tersebut tentu tak akan terjadi. Sebab walau bagaimana pun warga Kabun adalah bagian dari masyarakat Kabupaten Sijunjung, yang semestinya berhak mendapatkan berbagai program pembangunan. Bila ditelusuri lebih dalam lagi, jorong atau kampong Kabun yang berpenduduk sekitar 700 jiwa dengan 162 kepala keluarga (KK) ini adalah sebuah daerah yang kaya dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA). Dikampung yang dikelilingi bukit barisan ini banyak memiliki potensi sumber daya alam, baik yang telah digarap maupun yang belum terkelola, sebut saja kandungan mineral seperti batu bara, minyak bumi, emas, mar-mar serta hasil hutan lainnya berupa rotan, manau dan kemungkinan terdapatnya sarang walet didaerah tersebut. Dari beragam potensi kekayaan alam itu, hanya batu bara yang telah digarap dan telah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. “Kalau tak ada investor batu bara itu berkemungkinan jalan ke tempat kami ini takkan pernah terbuka, dan kami tetap hidup dalam keterisolasian,” aku Bakirman. Keberadaan pengusaha batu bara di Kabun sejak beberapa tahun lalu sambungnya, memang sangat dirasakan sekali manfaatnya oleh masyarakat Kabun. Karena berkat sumbangan dari pengusaha batu bara, jalan dipemukiman mereka yang selama ini masih berupa jalan tanah, kini telah dilakukan pengerasan meski belum sampai pada tahap kesempurnaan. Tak hanya itu, berbagai program pembangunan yang dilakukan masyarakat juga tak luput dari perhatian pengusaha tersebut. “Kami sangat bersyukur adanya pengusaha batu bara di tempat kami, telah banyak bantuan yang mereka berikan untuk masyarakat, seperti bantuan untuk pembangunan masjid, serta bantuan pembangunan rumah guru SMP 39. Tanpa adanya bantuan itu mungkin takkan ada pembangunan ditempat kami ini, sebab kami hanya orang pinggiran yang luput dari perhatian berbagai pihak, entah sampai kapan derita ini akan kami lalui, tanyalah pada rumput yang bergoyang,” keluhnya dengan nada pilu. (*)

Pewarta : Efriwan
Editor :
Copyright © ANTARA 2024