"Aaa...Uuu...Aaa..Uuu,"jawab Ega (12 tahun) saat dipanggil ibundaya Ermawati (45). Dengan tertatih-tatih Ega pun berusaha keluar dari kamar tidur sumpek karena menjadi satu dengan dapur rumah. Wajahnya tanpa ekspresi, pucat pasi seolah tak pernah tersentuh sinar matahari. Badannya kurus membuat langkahnya seolah tidak bertenaga. Ega adalah anak lelaki yang mengalami keterlambatan pertumbuhan tubuh disebabkan kekurangan asupan gizi akibat kemiskinan yang melilit keluarganya. Ega, ibunda dan saudaranya tinggal di rumah kayu ukuran 4 x 4 meter yang hampir roboh di Jorong Rawang, Nagari Pasir Talang Selatan, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan, Sumatera Barat, tepatnya di belakang masjid Jannatul Firdaus. Mata Ega tak berkedip ketika memandangi antara-sumbar.com saat menyambangi rumahnya, Selasa (24/5) lalu. Lelaki kecil ini harus menerima kenyataan pahit karena mengalami keterlambatan pertumbuhan badan. Umurnya benar-benar tak sesuai dengan pertumbuhan badannya. Meski sudah berumur 12 tahun, tapi Ega masih tampak seperti anak-anak di bawah usia lima tahun. Dengan kondisinya ini, Ega sangat susah diajak berkomunikasi. Ega hanya mampu menunjuk dan berucap "Aaa...Uuu..." serta kata-kata lain tanpa arti yang jelas. Dengan kondisinya ini, Ega menjadi terisolasi dari lingkungan pergaulan anak-anak sebanyanya. Setiap hari Ega hanya tinggal dan berdiam diri di rumah kayu yang sudah dua tahun ini mereka tempati bersama keluarganya. Canda dan tawa teman-teman sebayanya benar-benar tidak pernah ia rasakan. Saat pagi hari, ketika teman-teman sebanyanya ceria bermain-main di halaman sekolah saat jam istirahat, Ega harus dipapah sang ibunda ke sungai terdekat untuk mandi. Setelah itu Ega kembali terkurung di dalam keterasingan rumah kayu yang sudah sedikit miring. Begitulah Ega menjalani hari-harinya tanpa ada harapan yang pasti. Ketika ditanya mengenai kondisi Ega, sang ibunda serasa enggan menceritakan keadaan anak ketiganya ini. Ermawati malah duduk sedikit menjauh dan hanya menjawab seadanya. Untung sang menantu, Susrianto (35) turut membantu menjelaskan dan menceritakan mengenai perjalanan hidup Ega dan keluarga itu. Menurut Ermawati, anak ketigannya ini saat balita tidak mengidap suatu penyakit apapun. Malah ia sangat patuh dengan program pemerintah dengan membawa Ega ke Posyandu sesuai jadwal. Bahkan, Ega mendapat makanan pendamping (MP) ASI. Pun ketika Erma memeriksakan kesehatan anaknya ke Puskesmas terdekat, yang berjarak sekitar satu kilometer, pada 2009 lalu dokter tidak menemukan adanya penyakit di tubuh lelaki mungil ini. "Waktu saya bawa ke Puskesmas, dokter tidak mengatakan anak saya sakit. Kemudian saya hanya diberi vitamin-vitamin," ungkap Ermawati. Putus asa dengan kondisi Ega yang tidak mengalami perkembangan, akhirnya Ermawati tak pernah lagi memeriksakan kondisi Ega ke Puskesmas. Ermawati pun menerima nasib yang memeluknya. Sekarang Ermawati lebih mengutamakan posisinya sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga. Perempuan yang telah ditinggal pergi suaminya ini, setiap harinya bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan yang tidak menentu. Khusus pada Selasa dan Kamis, Ermawati menjadi pasukan kuning (petugas kebersihan) Pasar Muaralabuh yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah mereka. Atas jasanya dua hari seminggu itu, pemerintah kecamatan setempat memberi upah Rp35.000 sehari. Dengan penghasilan yang tidak tetap, Erma memikul beban tiga dari empat orang anaknya. Anaknya yang pertama, Irawati (24) sudah menikah dan memiliki seorang anak, tapi masih tinggal bersamanya. Selain untuk makan sehari-hari, penghasilan Ermawati harus dibagi pula dengan biaya sekolah kedua anaknya Yunasril (13) yang sekarang duduk di kelas V dan si bungsu Irana (8) yang sekarang belajar di kelas II. Untung rumah yang mereka tempati tidak dipungut uang sewa oleh pemiliknya. Sebelum pindah ke rumah mereka sekarang, Ermawati dulunya tinggal di kaki bukit pinggir kampung. Di kaki bukit yang sepi, gelap dan jauh dari pemukiman penduduk. Kepala Bidang Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Solok Selatan, Dausmaini, Rabu (24/5) mengatakan pihak Puskesmas Muaralabuh sudah melihat kondisi Ega. Dari keterangan dokter Puskesmas Muaralabuh, penyebab terlambatnya pertumbuhan Ega karena kekurangan asupan gizi. "Ega bukan lagi kewenangan Posyandu karena berumur 12 tahun. Keterangan dokter, saat masih balita, Ega memang selalu mendapatkan MP ASI dan pertumbuhannya bagus. Setelah enam tahun, Posyandu tidak mengontrol lagi sehingga tidak tahu perkembangannya," kata Dausmaini. Menurutnya, kemiskinan yang melilit keluarga Ega menyebabkan kebutuhan gizinya tidak terpenuhi, sehingga memperlambat pertumbuhannya. Dengan ibu yang kurang memahami kebutuhan anak pada masa pertumbuhan, disibukkan karena mesti menafkahi anak-anak serta tidak bisa tulis baca membuat Ega seolah terlantar dan tidak terasuh seperti anak-anak kebanyakan. "Ini bukan hanya tugas Dinkes, tapi sudah merambah ke instansi lainnya seperti Dinas Sosial. Bersama-sama, kita mesti memberi perhatian kepada keluarga Ega dan keluarga-keluarga lainnya yang hidup di bawah garis kemiskinan," sebutnya. Kurang Paham Jamkesmas Ermawati sebanarnya salah satu keluarga miskin yang terjaring Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Namun, faktor pendidikan yang sekolah dasar (SD) saja tidak tamat membuat Ermawati masih dimomoki kalau berobat itu membayar. Karena ketidaktahuannya akan fungsi Jamkesmas membuat Ermawati kurang peduli dengan kesehatan. Ini terbukti ketika antara-sumbar.com memintanya menunjukkan kartu Jamkesmas. "Aduh saya lupa di mana menyimpannya. Besok saya cari," katanya salah tingkah. Bukan hanya Ermawati, sang menantu juga mendapatkan kartu Jamkesmas. Sebelum mendapatkan kartu Jamkesmas, menantunya Susrianto juga terjaring dalam program Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) sebelum dirubah menjadi Jamkesmas. Dengan adanya Jamkesmas, Ermawati bisa membawa anaknya berobat secara gratis di Puskesmas atau RSUD Solok Selatan, bahkan ke RSCM Jakarta. Namun yang menjadi dilema bagi Ermawati, ketika dirinya harus menunggui anaknya di rumah sakit, siapa yang akan mencari nafkah? sementara ia masih memiliki dua orang anak lainnya yang membutuhkan keperluan makan dan perhatian setiap hari. Tidaklah mungkin pikirannya hanya dikonsentrasikan untuk menunggui Ega di rumah sakit. Ermawati harus membuat keputusan yang sulit demi kelangsungan hidup seluruh anaknya. Mungkin dengan tetap mengasuh Ega di rumah berkumpul dengan saudaranya dan hanya memberikan makanan ala kadarnya merupakan pilihan terbaik bagi Ega, saudaranya dan Ermawati sendiri. Kendati Ermawati harus mengorbankan perawatan Ega agar si buah hati bisa tertawa dan bercanda bersama teman-teman sebayanya. Bantuan tetangga, orang-orang yang peduli tanpa belas kasih menjadi harapan agar Ega bersama keluarganya keluar dari jeratan kemiskinan. Meskipun masih banyak Ega-ega lainnya yang patah sayapnya. Terpuruk dalam kehidupan miskin di masa indahnya. (*)

Pewarta : 172
Editor :
Copyright © ANTARA 2024