Tinggal di pengungsian bukan berarti sebuah halangan untuk ikut bergembira di saat datangnya hari kemenangan. Karena bergembira di hari lebaran merupakan hak semua orang, termasuk bagi mereka yang tergolong orang-orang berkekurangan. Sabtu (11/9), puluhan anak-anak, yang tinggal bersama orang tua mereka di kawasan pengungsian Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam terlihat ceria. Dengan memakai pakaian kesenian tradisional Minangkabau mereka bersiap memperlihatkan kebolehan masing-masing di atas panggung. Rona bahagia dan gembira terlihat di wajah mereka, meski di samping panggung berderet pondok sederhana, yang disebut Integrated Community Shelter (ICS). ICS merupakan shelter atau rumah terpadu yang dipersiapkan untuk tempat tinggal bagi warga korban gempa Kabupaten Agam. ICS dibangun oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) Kabupaten Agam, 24 Desember 2009 lalu dan mulai ditempati korban gempa 24 Januari 2010. Di kawasan ICS Sungai Batang terdapat 175 unit shelter, satu unit mushalla, satu unit perpustakaan, satu unit klinik, dua unit ruang relawan dan satu unit kantor ICS. Disini hidup sebanyak 172 Kepala Keluarga (KK) korban gempa, dengan jumlah jiwa sebanyak 669 orang, terdiri dari 324 orang laki-laki dan 345 orang perempuan. Mereka harus tinggal di pengungsian akibat rumah dan harta benda mereka musnah saat terjadinya gempa bumi dan musibah galodo September 2009 lalu. Setelah hidup di tenda pengungsian selama tiga bulan, Januari 2010 lalu mereka disediakan komplek pengungsian di Nagari Sungai Batang, oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Agam melalui ACT membangun ICS di kawasan pengungsian tersebut. Meski hidup kekurangan di pengungsian, ratusan korban gempa ini tetap merayakan lebaran dengan meriah. Saat antara-sumbar.com berkunjung kekawasan tersebut, Sabtu (11/9) tengah digelar hiburan anak-anak. Dalam aksi hiburan ini puluhan anak-anak pengungsi akan tampil membawakan sejumlah tarian dan nyanyian untuk menghibur diri sendiri dan orang tua mereka. Ikut menghadiri kegiatan ini Wali Nagari Sungai Batang, Wali Nagari Tanjung Sani serta Ketua kAN Sungai Batang dan Tanjung Sani. Wali Nagari Sungai Batang, A Dt. Bandaro Kayo mengatakan, musibah gempa dan galodo yang terjadi September 2009 lalu merupakan cobaan dari Allah SWT. Dia berharap musibah tersebut jangan sampai menjauhkan manusia dengan Sang Pencipta. Makanya dia meminta seluruh warga korban gempa untuk mengambil hikmah dibalik musibah yang terjadi, serta kembvali menjalani hidup seperti biasanya. Sementara Yunizar (47), salah seorang korban gempa asal Batu Nanggai mengaku belakangan kehidupannya semakin sulit. Sebelum terjadinya gempa dia dan suaminya, Nasrul (47) hidup sebagai nelayan pengelola karamba di tepian Danau Maninjau. “Saat itu kami memiliki sampai 16 buah karamba, sehingga kehidupan kami berkecukupan. Namun semua karamba tersebut musnah dilanda galodo saat terjadinya gempa,” ucapnya sambil menerawang jauh. Ditambahkan Yunizar, setelah tinggal di shelter pengungsian dia memulai kembali usaha keramba di tempat tinggalnya dulu di Batu Nanggai bermodalkan sedikit simpanan yang dimilikinya. “Berawal dari dua buah karamba usaha kami terus berkembang dan saat ini kami telah memiliki enam buah karamba,” tegasya. Untuk mengelola karamba tersebut tambah Yunizar, mereka siang hari pergi ke Batu Nanggai mengelola karamba, sementara malam hari mereka kembali ke shelter untuk beristirahat. “Begitulah rutinitas kami sehari-hari,” tegasnya. Selain itu tambah Yunizar, dengan simpanan yang dimiliki, dia dan keluarga juga membeli sebidang tanah di Jorong Sungai Tampang, Nagari Tanjung Sani. Saat ini dia tengah mengangsur membangun rumah diatas tanah tersebut. “Kita terpaksa membeli tanah tersebut akibat kampung kita Batu Nanggai dinyatakan garis merah untuk tidak didiami oleh pemerintah,” tegasnya. Yunizar menyebutkan dari ratusan kepala keluarga yang hidup di pengungsian, dia dan keluarganya termasuk yang cukup beruntung. Karena sebagian besar pengungsi lainnya justru harta bendanya musnah tidak bersisa. “Akibat tidak memiliki dana lagi untuk berusaha keramba, sebagian mereka ada yang banting stir menjadi buruh bangunan. Bahkan ada juga yang telah mendaftarkan diri untuk ikut transmigrasi,” tegasnya. Apalagi tambah Yunizar, dua orang anaknya, masing-masing Bintan (23) dan Widia (19), anak pertama dan keduanya telah menamatkan kuliah di perguruan tinggi. Bahkan Bintan saat ini juga telah mendapatkan pekerjaan di PT. Trakindo. “Sehingga kami tinggal memikirkan biaya hidup tiga orang anak kami lainnya masing-masing Iqbal (16), siswa kelas III STM Maninjau, Rada (14) siswa kelas III SMP Maninjau dan Nina (9) siswi kelas IV SD,” terangnya. Terlepas dari berbagai kesulitan selama di pengungsian, Yunizar dan ratusan pengungsi lainnya tetap bersyukur karena di waktu lebaran kali ini mereka tetap merayakan lebaran dengan perasaan bahagia. Dan mereka berharap kebahagiaan ini akan terus berlanjut sekaligus berdo’a agar mereka tidak lagi mendapatkan musibah seperti yang dialami sebelumnya. “Kedepan kita tetap mengharapkan hidup bahagian, berkecukupan dan jauh dari malapetaka,” kata Yunizar. ***

Pewarta : Aurizal
Editor :
Copyright © ANTARA 2024