Menyoal politik lewat ranah komunikasi politik harus diakui gampang-gampang susah. Gampangnya, ketika kita melihat politik kala kita tegak di pematang yang sama atau duduk sehamparan. Susahnya, saat kita memiliki frame dengan lensa kaca mata yang berbeda. Keywordnya adalah tingkat pemahaman dan kepentingan! Lebih kurang demikian jika kita mau menyederhanakannya. Mengutip pandangan dari Cangara (2009), bahwa komunikasi politik bertujuan membuka wawasan atau cara berpikir serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik. Dalam melakukan hal ini, maka unsur substansi yang dipentingkan adalah adanya faktor filosofis dari komunikasi politik tersebut, yaitu penghargaan yang tinggi terhadap demokrasi dan dilakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Makna filosofis ini harusnya berjalan secara beriringan dan menyatu sebagai mindset bagi para aktor komunikasi politik. Dalam berpolitik, kita mengenal adanya “taratik” atau etika politik. Di negeri kita Ranahminang misalnya, kebanyakan masyarakat selalu menggulirkan persoalan politik sama-sama berkehendak, yang hendaknya itu adalah berpolitik berlandaskan filosofi ABS-SBK (baca adat basandikan syara’- syara basandikan kitabullah, syarak mangato adat nan mamakaikan). Apakah kehendak itu berjalan hingga kini menjelang Pilkada 2010 di Sumbar? Jawaban kuncinya ada pada para politikus dan kita yang di luar arena adalah sebagai penonton sejati. Merenunglah! Tentunya, masing-masing kita punya jawaban yang sejati pula dengan tanpa mengingkari bisikan nurani. Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan, ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warga negara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Jelang menuju gerbang Pilkada 2010 secara serentak untuk gubernur Sumbar dan bupati serta walikota beberapa daerah telah menunjuk-ajari kita bagaimana pementasan politik yang diperankan atau dimain-mainkan oleh para politikus dan pemain politik praktis. Ada fenomena yang geli nan menggelikan. Ada kalanya dengan konsep apapun dilakukan asal tujuan tercapai yang notabene adalah merebut singgasana kekuasaan. Saling serang dan propaganda hitam (black campaign) di kemas luncurkan dengan desain produksi sedemikian rupa. Ada yang “zoom in-zoom out” atau yang “ekstrem coles up”, till up-till down (istilah dalam pergerakan kamera). Pedang terhunus, keris ditancapkan dan bahkan nyawa sekalipun dikalangkan juga demi seorang kandidat. Rasa bandunsanak tercabik-cabik. Pertanyaannya, terdidikkah kita berpolitik? Ataukah ini sebuah dagelan politik? Ungkapan bijak,”Alam takambang jadi guru”. Realitas yang terpampang di depan kita saban hari bisa dikatakan sebagai dagelan politik atau meminjam istilah Garin Nugroho (2004) sebagai opera sabun politik Indonesia. Layaknya sebuah panggung sandiwara, maka semua aktor bisa saling bertukar posisi. Semua aktor dituntut untuk bisa tampil dengan peran yang diberikan dan ia kemudian bermain dalam peran tersebut. Tentu saja peran akan tergantung dengan jalannya cerita atau skenario yang dibangun. Para aktor inilah yang menjalankan komunikasi politik dan rakyat adalah penonton dari lakon yang dimainkan. Siapa yang paling pintar dan piawai dalam bermain peran, maka kepadanyalah perhatian masyarakat akan diberikan. Dalam kajian Ilmu Komunikasi, idealnya komunikasi politik berbasiskan pada substansi nilai demokrasi dengan dasar pada kepentingan rakyat banyak. Komunikasi politik yang sangat dangkal hanya mengarah pada tujuan pencapaian kekuasaan semata. Mari kita berupaya dan berdoa semoga pilkada bandunsanak di bumi Ranah Minang terwujud nyata dan bukan retorika belaka. So pasti, siapa jawara maka dialah yang berhak dan layak menjadi pimpinan kita. ***Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi STISIP Padang

Pewarta : Menda Pamuntjak Alam
Editor :
Copyright © ANTARA 2024