Prolog Di situ ada asap pembakaran ranting-ranting cemara laut. Pedihnya buih yang kautatap di sini, dan di sana ada bau amis bercampur celoteh-celoteh nelayan menukar ikan dengan uang. Di selingkar pandang ada laut, pantai, pepulauan, serta payang yang sesekali goyang disentuh ombak. "Di sini aku lahir dan dibesarkan. Aku hanya mengenal kota ini sebagai kota yang ramai hanya pada saat orang-orang dari laut tiba dan membongkar kapalnya yang penuh dengan ikan. Selebihnya, sepi...." renung seseorang pemuda bertelanjang dada di tepian teluk (Taluak). Desa Taluak, kampung halamannya. Dari sana ke arah utara menuju Pantai Gandoriah, Kota Pariaman, Sumatera Barat, terlebih dahulu harus melintasi sebuah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang lengkap dengan segala 'tetek-bengek' kehidupan; amis, ramai, basah, dan panas. Siapa yang tahu, bahkan pemuda pribumi tadi, bahwa Kota Pantai itu lebih dulu didatangi pedagang asing dibandingkan Barus, Sibolga, Inderapura dan Airhaji sejak abad ke-16. Seperti yang dipaparkan Sosiolog dan Budayawan, Mestika Zed (dalam Bagindo, 2006 : xxvii), bahwa Kota Pariaman sekali waktu pernah menjadi outlet bagi jalur perdagangan yang dikontrol kerajaan Minangkabau di pedalaman, lalu kemudian di bawah pengaruh Aceh, lalu VOC sebelum akhirnya berada di bawah kekuasaan kolonial Hindia-Belanda sejak abad ke-19. Menurutnya, salah satu ciri kota Pantai ialah bahwa eksistensinya tidak pernah berdiri sendiri (atau kota mandiri), melainkan ditentukan oleh peranannya sebagai entrepot --kota pelabuhan yang berperan sebagai titik simpul dari mata-rantai jalur perdagangan laut. Maka kini setelah berabad-abad lalu, kota pantai itu tidak lagi disandari kapal-kapal pedagang dari luar daerah atau luar negeri. Secara tidak langsung, peranan sebagai entrepot kandas, hilang, dan bahkan tak lagi dapat dikenang. Sejak abad ke-16 entrepot Pariaman memang dikunjungi orang-orang asing, sehingga integrasi antara penduduk pribumi dengan para pendatang itu menjadikan masyarakat Pariaman bersifat "terbuka" --sebuah ciri dunia perdagangan pantai yang membuat daerah ini sangat maju pada abad ke-19. Pariaman menjadi gerbang Minangkabau saat itu. Karena fungsinya sebagai salah satu entrepot penting di pantai barat Sumatra, membuat Kota Pariaman menjadi tempat persinggahan dan tidak jarang menjadi tempat tinggal bagi orang asing. Penduduk Pariaman (seperti halnya Barus di Utara) sudah cukup lama berciri internasional, sudah sejak zaman kejayaan pedagangan lada di abad ke-16 dan 17. Di entrepot ada orang India, Belanda, Bugis, Cina, Aceh, Bengkulu, Arab, Nias, Batak, dan Mentawai. Kondisi demikian selama seabad tidak tercium baunya lagi. Dipastikan sejak kereta api mulai beroperasi dan Teluk Bayur telah menjadi pelabuhan, Pariaman sepi dari kapal-kapal yang bersandar. Tidak jarang, kapal-kapal daerah lain hanya melintas, atau sesekali menebar jaring guna mengambil kekayaan lautnya. Dari bawah rindangnya pohon waru, pemuda pribumi itu dapat melihat bagan-bagan nelayan yang sejajar dengan pepulauan. Bagan penangkap ikan milik warga setempat itu senantiasa menerangi laut Pariaman saat malam. Tempatnya berdiri adalah Pantai Cermin (Cemara Mini), pantai yang landai diteduhi cemara laut yang entah usianya sudah berapa tahun. Belakangan banyak yang bertumbangan. Dan dari situ, ia akan mengayuh sepedanya ke Pantai Gandoriah, pusat wisata pantai yang dimiliki Kota Pariaman. Dilewatinya kedai-kedai nasi yang menyajikan makanan khas Pariaman, nasi Sek. Dilewatinya pula pondok para nelayan yang menyerut gelondongan kayu untuk dijadikan biduk. Disebutkan sebelumnya, integrasi antara penduduk pribumi dengan para pendatang pada masa berjayanya entrepot menjadikan masyarakat Pariaman bersifat "terbuka". Namun konon, pasca sejumlah tragedi antar suku pada zaman perjuangan, menjadikan masyarakat setempat menolak kehadiran suku tertentu. Tidak heran, bila berkeliling dan menyempatkan bermalam di Pariaman, tak ditemui seorang pun yang dimaksud tersebut. Mereka --orang-orang yang ditolak-- juga tak berani singgah ke kota Tabuik itu. Alhasil, sejauh kaki berjalan, hanya ditemui orang Pariaman, atau daerah 'darek' dan sekitarnya. Meskipun ada pula sejumlah orang Eropa maupun Asia lainnya. Padahal, Walikota Pariaman, Mukhlis R telah mengangkat wacana "Pariaman Terbuka". Bahkan, direncanakan, dalam mewujudkan 'Pariaman for All People', pada Pesta Budaya Tabuik 2010 ini bakal menampilkan pertunjukan Barongsai. "Rencana tahun 2010 ini pergelaran budaya Tabuik akan kita tampilkan juga dengan kesenian Barongsai," ujar Mukhlis R, dan menambahkan bahwa dulu di Pariaman ada Kampuang Cina, kampung Kaliang (India) serta ada kuburan Belanda, artinya sejak dahulu sebenarnya orang Pariaman itu terbuka, ramah terhadap pendatang sehingga para pendatang dapat tinggal bahkan menjadi sebuah perkampungan. Mukhlis sangat mengharapkan, masyarakat Pariaman mendukung program Pariaman terbuka, sebab semua itu dilakukan untuk mengembangkan potensi Kota Pariaman yang dapat dinikmati semua kalangan tanpa memandang ras, suku, dan golongan. Ya, walaupun membuka diri untuk siapapun, tetapi apa yang membuat Walikota begitu yakin bahwa Pariaman itu patut disinggahi atau dikunjungi semua orang? Pesta Tabuik pun hanya mampu membuat kota itu ramai setahun sekali. Lalu hal lain apa yang membuat orang tertarik untuk datang ke Pariaman? Kota Pelabuhan Hanya Masa Lalu Pemuda pribumi itu sudah sampai di Gandoriah, dan ia tak ingin mengingat masa lalu. Ia lebih memilih memikirkan masa depan, sebab di Muara Pariaman, telah ia lihat banyak gadis-gadis yang menyaksikan senja tenggelam. Tentunya, menikah dan berkeluarga adalah masa depan yang menjanjikan. Pariaman di masa lalu, sebagai pelabuhan dan gudang (entrepot) perdagangan dunia. Namun di masa sekarang, apa pelabuhan internasional dapat diwujudkan? Pada bulan September 1911, seorang pegawai tinggi Belanda di Sumatra Barat, L.C. Westenenk, pernah melakukan ekskavasi arkeologi di Pariaman dan menemukan bukti bahwa entrepot Pariaman telah lebih dulu didatangi kapal-kapal asing. Dalam penelitiannya melalui penelaahan peta, ekskavasi, dan mendengarkan cerita-cerita lisan serta melakukan wawancara dengan tetua setempat, Westenenk yakin bahwa dahulunya Taratak (salah satu kelurahan di Kota Pariaman yang jauh dari pantai) berada di pinggir laut, di sebuah teluk yang memiliki pelabuhan. Sedemikian yakinnya, Westenenk menunjukkan bukti lain bahwa di dekat Taratak ada sebuah kampung atau kelurahan bernama Galombang (gelombang), yang menandakan gelombang laut. Di tempat itu sekitar 20 tahun sebelumnya ditemukan banyak porselen buatan Cina. Tetua setempat menceritakan kepada Westenenk bahwa konon tumpukan porselen itu adalah bagian dari kekayaan yang tersimpan dalam kapal milik Kaisar Tiongkok yang tertambat di pelabuhan. Hal tersebut tentu tidak mengherankan, sebab Pariaman sebagai kota pelabuhan sudah ada sejak abad ke-16. Kendati pun demikian, pada kondisi sekarang di pantai Pariaman telah terjadi degradasi lingkungan, yaitu berupa abrasi pantai, yang menyebabkan rusaknya berbagai sarana dan prasarana objek wisata pantai Gandoriah serta mengancam perumahan penduduk rumah ibadah serta fasilitas lainnya. Syaiful Azman, dalam makalahnya (18 September 2009) memaparkan, bila dibandingkan kondisi pantai Pariaman sekarang dengan kondisi 25 tahun silam, ini merupakan suatu proses alam yang biasa, sebab selama 25 tahun tersebut telah terjadi proses sedimentasi yang cukup pesat, sehingga bertambahnya luasan tanah timbul atau 'pasia maelo' yang cukup luas. Akibat adanya interfensi manusia terhadap lingkungan pesisir tersebut, serta tidak tegaknya peraturan tentang sempadan pantai, maka alam tersebut akan mencari keseimbangan yang baru. Dan akhirnya laut pun menjadi daratan. Jadi, untuk mewujudkan kota pelabuhan seperti abad-abad lalu, Pariaman harus memiliki teluk, tempat di mana kapal-kapal besar dapat bersandar melepas jangkar. Teluk yang ada sekarang di desa Taluak, hanya dapat disandari kapal-kapal kecil sekelas biduk. Setidaknya, pesisir Pariaman memiliki dasar laut yang dalam di tepian. Sepanjang 12,5 kilometer panjang Pantai Pariaman, tidak ada yang dapat diandalkan untuk dijadikan pelabuhan. Itu dibuktikan, dengan kedatangan sejumlah kapal Australia yang akan membantu penanganan pasca gempa 30 September 2009 lalu di Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman. Kapal induk tentara Australia hanya dapat melepas jangkar di balik Pulau Ansoduo, kemudian melepas kapal kecil sebesar bagan nelayan untuk membawa sejumlah alat berat ke daratan. Itu pun, kapal yang menepi di Pantai Gandoriah didesain khusus tanpa lambung kapal agar bisa bersandar. Bagaimana mewujudkan pelabuhan bila kapal besar besar pun tidak bisa menepi? Jauh dari kemelut pikiran tersebut, pemuda pribumi Pariaman itu masih duduk di tepian Muara, menjuntaikan kakinya sambil melemparkan mata kail ke tengah airnya. Ia gemar memancing dan menanti tongkang nelayan melintasi muara. Bekas jalan kapal dan ombak yang makin ke tepi makin mengecil, telah membuatnya lupa akan gadis-gadis yang bisa mewarnai masa depannya. Barangkali ia sedikit ingin terkenang masa lampau. Masa yang lebih ramai. Entrepot memang telah membuat Pariaman didatangi banyak orang dari seluruh dunia pada masa itu. Tidak hanya didatangi, namun juga disinggahi dan dijadikan tempat tinggal bagi bangsa asing. Maka tidak heran, jumlah penduduk asing yang tinggal di Pariaman dari abad ke abad bertambah. Sensus tahun 1852 mencatat, Pariaman dihuni sebanyak 60.518 jiwa, dengan rincian: 48 orang Eropa, 59.887 pribumi, 223 etnis Cina, 209 bangsa Asia lainnya, dan 151 budak (lihat Graves 1971:21-25 dalam Suryadi 2004:142). Meskipun muskil rasanya mewujudkan kota pelabuhan pada zaman sekarang, namun Pariaman masih sangat berpeluang dapat dikunjungi semua orang dari seluruh dunia. Bila jeli, Pemerintah Kota Pariaman dapat memanfaatkan sumber daya lingkungan yang ada untuk dijual kepada dunia, kepada pendatang baik domestik maupun mancanegara. Hal itu menjawab mengenai apa yang membuat orang tertarik untuk datang ke Pariaman? Lihat saja, Pariaman sebagai kota pantai memiliki geografis yang indah, dengan gugusan pulau yang bila dikembangkan dapat mengundang banyak wisatawan. Peluang investasi dibuka pada perencanaan kawasan Marina di Pantai Gandoriah, Muaro Batang Pariaman, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman dengan ketersediaan lahan seluas 1,8 Km² Pemko juga melihat peluang pada Pulau Ansoduo di perairan Kota Pariaman yang kini terus dibenahi. Direncanakan Pemko Pariaman akan membangun dermaga apung di Pantai Gandoriah menyamai dermaga yang sudah dibangun di Ansoduo. Pada suatu kesempatan, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyebutkan bahwa pembangunan dermaga apung tersebut untuk mendukung wisata ziarah di Pulau Ansoduo. "Pembangunan dermaga apung ini sudah teranggarkan dan kalau dermaga apung ini berhasil dibangun tentu mendukung keberadaan dermaga yang telah ada di pulau Ansoduo," ujarnya, dan menambahkan, bahwa enam buah pulau di kota Pariaman ini sementara pengembangannya akan difokuskan pada pembenahan pulau Ansoduo. Tahun ini Pemko juga akan mendirikan surau Tuanku di sekitar kuburan panjang dan akan menjadikannya sebagai objek wisata ziarah. Tidak tanggung-tanggung memang, berbagai perencanaan dibuat Pemko dalam rangka mewujudkan wisatan marina. Di Muara Pariaman, misalnya, juga akan dibangun dermaga terpadu yang pembangunannya dimulai tahun 2010 ini, sebagai pendukung pengembangan wisata marina dan wisata pulau. Pembangunan dermaga terpadu itu menggunakan anggaran dari pemerintah pusat mencapai Rp7,2 milliar lebih, ditambah dana sharing melalui APBD Kota Pariaman berkisar Rp2,8 milliar. Dibangunnya dermaga terpadu ini nantinya diharapkan akan berdampak besar bagi pengembangan kawasan wisata pulau yang ada di Kota Pariaman, apalagi di Pantai Pariaman akan dibuat jembatan penghubung ke Pulau Ansoduo sesuai konsep kawasan wisata marina. Baru-baru ini, sebuah develepor PT Vector International Trust juga berencana mewujudkan 'Pariaman Beach City' setelah meninjau kota Pariaman selama beberapa hari. PT vector International Trust berencana akan membangun secara bertahap, bukan hanya membangun infrastruktur saja, tapi juga budaya masyarakat sekitar dalam mendukung program Pemko Pariaman mengembangkan objek wisata pantai. Aih, kalau seperti itu, si pemuda pribumi tadi akan kembali menatap masa depan. Ia membayangkan Pariaman di masa depan layaknya resor terpadu Marina Bay Sands di Singapura. Anak-cucunya pasti tidak akan susah, bisa memiliki kedai nasi sekelas restoran, memiliki usaha penyewaan biduk dan jetski, atau paling menyedihkan menjadi 'room boy' hotel bintang lima. Semua memang baru rencana. Dapat dimaklumi, semenjak ditetapkan sebagai kota otonom, lepas dari Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman hingga kini baru berusia sewindu (delapan tahun). Usia yang sangat muda sebagai kota. Lebih-lebih, kota itu baru saja dilanda bencana yang menghancurkan sebagian besar infrastruktur. Maka semua butuh proses. Kendatipun terwujud, adakah diperhatikan dampak lainnya? Sejauh pembahasan mengenai investasi dan perencanaan pembangunan kota wisata pantai, tidak pernah dibahas sedikit pun, bahkan niat, untuk membangun 'sea wall' atau tembok pembatas, di samping berbagai fasilitas pantai lainnya, seperti 'revetment', 'training jetty', 'bulkheads', 'groyne' dan 'breakwater'. Mestinya 'sea wall' ini atau shelter penyelamatan warga, adalah yang pertama kali harus dibangun walau pantai Pariaman cenderung landai. Kini Pantai Gandoriah saja, hanya memiliki tembok pembatas setinggi satu meter jaraknya dari pasir, dan kurang lebih dua meter dari jarak terjauh pantai. Mengapa begitu, sebab Sumatera Barat rawan gempa, dan gempa dapat memicu gelombang tsunami yang bisa saja menghabiskan sebuah kota pantai seperti Pariaman. Sejarah telah mencatat, seorang yang menyebut dirinya "Moesafir di Tano Bato" menulis dalam berkala Matahari Terbit no. 5 (1896:101-103) bahwa pada bulan Februari 1861 sebuah gempa tektonik dengan episentrum di utara pulau Nias telah menghoyak bagian utara pantai Barat Sumatra. Gempa yang cukup kuat itu menimbulkan gelombang tsunami hebat yang kemudian memporak-porandakan entrepot-entrepot pantai Barat Sumatera termasuk Pariaman. Meskipun kota Pariaman kini dilindungi enam buah pulau, dan perencanaan penanaman tanaman manggrove di tepi pantai, bukan tidak mungkin, dan apapun bisa terjadi. Epilog Kota pantai, memang eksistensinya tidak pernah berdiri sendiri, melainkan ditentukan oleh peranannya sebagai entrepot. Pernyataan tersebut dibantah, bila Pariaman dapat mewujudkan 'Pariaman Beach City' yang lengkap dengan fasilitas pendukung, tanpa harus kembali menjadi pelabuhan. Pengembangan sebuah kota butuh waktu bertahun-tahun. Tidak tertutup kemungkinan, Pariaman dapat menjadi kota besar seperti Padang. Namun kita tidak dapat mengkritik sekarang, sebab waktu tengah berjalan. Pemko kini sedang membenahi Pulau Ansoduo, dan dalam waktu dekat akan dilakukan peletakan batu pertama di sana untuk pembangunan Surau Tuanku. Pantai Gandoriah dan tamannya serta jajanan kuliner, terus ditata walau Pemko masih disibukkan dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dianggap merusak keindahan. Sementara di Muara Pariaman, tempat pemuda pribumi tadi memancing, sedang dilakukan pula penyemenan sisi muara. Di Pantai Manggung, beberapa kilometer ke arah utara, DKP dalam tahap pengembangan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) lengkap dengan penyu-penyu yang ditangkar. Maka ada alasan tepat, mengapa Walikota menggalakkan 'Pariaman for All People' atau Pariaman terbuka. Si pemuda pribumi juga memiliki alasan kuat untuk kembali ke kampung halamannya sesudah niatnya merantau kesampaian. Senja sudah jatuh ke dalam laut, pemuda pribumi itu belum juga mendapatkan seekor ikan pun yang menggigit pancingnya kecuali beberapa kepiting yang tersangkut. Ah, di pantai ini tak ada ikan, keluhnya. ***

Pewarta : Iggoy El Fitra
Editor :
Copyright © ANTARA 2024