Lagi-lagi Anggodo dimenangkan kembali oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperkuat putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan dalam kasus banding Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang diajukan oleh Jaksa, Jum,at, (4/6). Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding menilai dikeluarkannya SKPP atas kasus Bibit-Chandra tidak sah secara hukum. Alasan yuridis dan sosiologis yang dibuat oleh jaksa dalam memori bandingnya dinilai tidak sah dan tidak memeliki kekuatan hukum kuat. Sedari awal, sejumlah kalangan telah menduga bahwa dikeluarkannya SKPP terhadap kasus Bibit-Chandra lemah dasar hukum. Dikeluarkannya SKPP tidak didukung dengan alasan hukum yang kuat. Kejaksaan Agung kurang cermat dalam membuat alasan dikeluarkannya SKPP sehingga begitu mudah dimentahkan oleh hakim. Di sisi lain, keluarnya SKPP ini seolah-olah bertolak belakang dengan pernyataan pihak kejaksaan yang mengatakan bahwa kasus bibit-Chandra sudah P-21. Artinya, antara perbuatan yang dituduhkan telah sesuai dengan rumusan delik dan telah siap untuk dibawah ke sidang pengadilan. Kemenangan Anggodo dalam kasus banding di pengadilan Tinggi DKI Jakarta membuat Bibit-Chandra harus bersiap-siap menempuh proses hukum. Dari empat pimpinan KPK yang tersisa, akan tinggal dua lagi, yakni bapak M. Yasin, dan Haryono Umar, atau tiga orang setelah Panitia Seleksi KPK yang bekerja saat ini berhasil memilih satu orang untuk menjadi ketua KPK. Lalu, bagaimana dengan masa depan pemberantasan korupsi? Bagaimana jalan keluar yang elegan mengatasi kisruh hukum tersebut?. Masa Depan Keluarnya putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan jelas-jelas akan mengancam pemberantasan korupsi di negeri ini. KPK yang selama ini menjadi tumpuan harapan publik menangkap koruptor kelas kakap akan dihadapkan pada proses hukum dua orang anggotanya, yaitu Bibit–Chandra yang dituduhkan melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang dan tindakan pemerasan. Kepincangan secara personal di tubuh pemberantas korupsi tersebut akan terjadi. Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK, pimpinan KPK beranggotakan sebanyak lima orang. Jika Bibit-Chandra dan ditetapkan sebagai terdakwa maka akan terjadi kekosongan kepemimpinan di tubuh KPK. Sebab, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), apabila pimpinan KPK berstatus sebagai terdakwa maka harus diberhentikan sementara sebagai wakil ketua KPK. Jika hal ini terjadi, roda pemberantasan korupsi akan mengalami kelambatan dan kepincangan dalam menyelesaikan dan mengungkap kasus-kasus besar. Beban kerja yang akan mereka pikul kian bertambah berat. Lebih jauh lagi, KPK akan semakin tidak berdaya berhadapan dengan koruptor kakap yang mengkorupsi uang negara. Pelemahan KPK akan terus mereka gelorakan, pada mulanya dimulai dari pelemahan orang-orangnya dan mengadili mereka satu per satu melalui pengadilan yang belum tentu berpihak pada pemberantasan korupsi. Pada saat yang sama, para koruptor akan merayakan kemenangan mereka karena telah berhasil melumpuhkan KPK sehingga tidak berdaya lagi dalam mengungkap kasus korupsi besar di negeri ini. Koruptor akan menang. Pendaftar terbanyak untuk pemilihan calon ketua KPK banyak diminati oleh kalangan Advokat yang telah banyak terlibat membela koruptor. Pansel tentu diharapkan bertindak tegas, dengan melihat rekam jejak para kandidat sehingga tidak salah pilih orang dalam memberantas korupsi. Yang tidak saja memerlukan kejujuran, kecerdasan namun keberanian untuk memberikan pengabdian terbaik demi menegakkan Indonesia yang bersih dari korupsi. Pansel harus bukan saja menerima pendaftaran untuk jadi calon Ketua KPK namun juga harus jemput bola menghubungi pihak-pihak terkait yang dianggap dan dinilai layak dan pantas, mempunyai track record yang baik, kepribadian yang tidak tercela, dan tidak orang-orang yang mencari lapangan kerja. Pansel harus tegas terutama dalam menetapkan pengalaman calon dan batas umur yang telah ditentukan. Pengenyampingan Perkara. Salah satu saluran hukum yang dapat ditempuh oleh pihak Kejaksaan Agung dalam mengatasi kasus Bibit- Chandra ini adalah melaksanakan asas opportunitas, yakni pengenyampingan perkara (deponering) untuk kepentingan umum. Karena cara ini telah diatur dalam pasal 35 C UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Sayangnya, pengertian kepentingan umum dalam pasal ini tidak dijelaskan secara konkrit. Sontak saja menimbulkan berbagai penafsiran yang sama-sama kuat. Untuk kepentingan umum siapa? Kepentingan Umum public secara luas, atau kepentingan para pihak yang berperkara. Namun lagi-lagi UU Kejaksaan tidak merinci dengan tegas. Bola deponering saat ini berada di Kejaksaan Agung yang memeliki otoritas untuk mengeluarkan. Apakah ia menggunakan atau tidak sepenuhnya berada di tangan kejaksaan Agung. Namun, untuk kepentingan public yang lebih luas, saluran hukum pengeyampingan perkara musti ditempuh oleh pihak Kejaksaan demi menyelamatkan dua pimpinan KPK dari jeratan hukum. Kepentingan umum harus dimaknai untuk menyelamatkan pemberantasan korupsi yang saat ini berada di titik nadir. Negara ini hampir saja bangkrut dan tenggelam akibat perilaku korup para pejabatnya. Meskipun banyak pilihan lain, misalnya kasasi ke Mahkamah Agung namun, pilihan pengenyampingan perkara adalah pilihan terbaik dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Saluran ini juga akan menghentikan pengusutan dan perdebatan terkait kasus Bibit- Chandra. KPK akan dapat bekerja dengan tenang kembali, untuk menuntaskan kasus hukum yang lebih besar, terutama untuk menyelesaikan kasus Bank Century yang akhir-akhir ini sepi pemberitaan media. Publik pun bertanya, kapal century di mana saat ini? Apakah sudah tenggelam atau masih ada. Jika masih ada maka KPK yang akan dijadikan tumpuan harapan untuk menyelesaikannya sampai tuntas.***

Pewarta : Zennis Helen, SH
Editor :
Copyright © ANTARA 2024