Komunikasi sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Kegiatan ini bersifat empiris karena dilakukan secara nyata dalam kehidupan sosial. Sedangkan sebagai kegiatan ilmiah maka kegiatan komunikasi politik adalah suatu kegiatan politik dalam sistem politik.
Komunikasi politik adalah suatu usaha untuk mempersuasi orang lain agar sependapat dengan dirinya. Oleh karena itu tujuan dan proses komunikasi politik pun sangat erat dengan hal persuasif. Persuasi itu sendiri banyak defenisi diantara, yaitu mengubah sikap dan prilaku orang dengan menggunakan kata-kata baik secara lisan maupun tertulis, menanamkan opini baru, dan usaha yang disadari untuk merubah sikap, kepercayaan, atau prilaku orang melalui transmisi pesan.
Persuasi bisanya melibatkan tujuan suatu usaha komunikator untuk mencapai tujuan melalui pembicaraan. Pada umumnya komunikasi politik dilakukan untuk mengkondisikan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menerima informasi baru yang belum diyakini oleh masyarakat. Pada pilkada serentak ini komunikasi politik lebih cendrung diartikan sebagai kampanye politik.
Sering orang mengartikan komunikasi politik sebagai cara politisi menyampaikan pesan. Itu betul, tapi hanya sebagian. Komunikasi politik secara keseluruhan memerlukan kematangan pada dua pelaku komunikasi, yaitu pemberi pesan dan penerima pesan. Untuk mencapai komunikasi yang efektif, diperlukan bukan hanya cara berpidato belaka.
Selain dari pemberi pesan dan penerima pesan, ada unsur ketiga dalam sistem komunikasi yang efektif , yaitu medium atau perantara penyampaian pesan. Adalah media massa, fungsinya menyebarluaskan informasi-informasi, menyebarluaskan program kesejahteraan masyarakat, membahas kondisi politik dalam dan luar negeri, melakukan fungsi pendidikan dan sosialisasi politik, membentuk karakter bangsa, membentuk image bangsa, meningkatkan perhatian masyarakat terhadap baik partisipasi maupun aspirasi politiknya dan sebagai sarana kandidat pilkada untuk mendapatkan suara (kampanye).
Fungsi Bahasa dalam Politik
Dalam dunia politik, peranan bahasa sangatlah besar. Proses politik merupakan paraktik komunikasi, bagaimana mendayagunakan bahasa sebagai alat komunikasi yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks sosial, politik, dan kultural, bahasa yang digunakan untuk mengontrol dan mengendalikan masyarakat melalui pengontrolan makna.
Pangebean, mengatakan bahwa tokoh-tokoh politik mempergunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan pendapatnya melainkan menyembunyikannya. Hal itu karena di balik pikiran itu terdapat kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan. Untuk menyembunyikan pikiran-pikiran politik tersebut, bahasa politik harus ditata sedemikian rupa karena dalam struktur linguistiknya penuh dengan muatan-muatan kekuasaan yang tersembunyi.
“bahasa adalah kekuasaan,”seperti yang dikemukakan Barnes, bahwa politik adalah suatu seni atau kegiatan untuk memperoleh kekuasaan dan menambah kekuasaan. Dengan demikian, politikus harus menguasai bahasanya untuk alasan penting karena siapapun yang menguasai bahasa, ia akan berkuasa. Akan tetapi pendapat Barnes terbantahkan, dengan bahasa seseorang dapat tercerabut dari kekuasaan. Contoh konkretnya adalah pernyataan Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang gemar membuat ‘blunder’ bahasa, “Anggota DPR kok seperti taman kanak-kanak”, atau “Begitu aja kok repot”.
Pernyataan tersebut menyebabkan anggota DPR gerah dan akhirnya melawan Gus Dur jatuh dari singasana kekuasaan. Pernyataan Gus Dur dalam kajian pragmatic dianggap telah melanggar sejumlah maksim kerjasama dan maksim kesantunan.
Tujuan komunikasi adalah menjaga dan memelihara hubungan sosial penutur dengan dan pendengar, oleh karena itu strategi yang digunakan adalah dengan mematuhi maksim-maksim prinsip kerja sama Grice sehingga ujaran-ujaran benar-benar informative, betul, relevan, singkat dan tertib. Wijayana mengatakan, “Bahasa yang digunakan sebagai alat harus berisi kaidah-kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya seseorang bertutur agar hubungan interpersonal antar pemakainya terpelihara.
John R Searle dalam bukunya Speech Acts : An Essay in the Philosophy of Languace membagi praktik penggunaan bahasa menjadi tiga macam tindak tutur, yaitu :
1. Tindak Lokusioner
Yaitu tidak tutur dengan kata, frasa dan kalimat itu (the act saying something). Dalam hal ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Semua kalimat dalam kampanye politik 2009 merupakan tindak kolusi.
2. Tindak Ilokusioner
Adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu (the act of doing something). Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat bukan dimaksudkan untuk memberi tahu petutur saja tetapi ada keinginan petutur melakukan tindakan. Tindak ilokusioner digunakan dalam kampanye untuk menyampaikan informasi dan menginginkan mitra tutur melakukan sesuatu yaitu memilihnya.
3.Tindak Perlokusioner
Digunakan sebagai upaya menarik simpati masyarakat. Tindak perlokusioner adalah tindakan menumbuhkan pengaruh (effect) pada mitra tutur (the act of effecting someone) atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruhnya dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya.
* Dosen Luar Biasa Komunikasi STISIPOL-YPMI Padang