Aksi terorisme telah berhasil mempermainkan emosi dan merusak harapan-harapan kita ke depan. Terorisme juga berhasil mengusik kita untuk membangun kehidupan politik dan ekonomi pascapemilu. (Edy Prasetiono, Kompas, (23/7 2009).
Pemilu yang berjalan aman meski terjadi ketidak puasan di sebagian masyarakat. Harapan bahwa Indonesia akan bangkit secara ekonomi dan politik tampak cerah. Masyarakat Indonesia dan banyak negara lain menaruh harapan besar terhadap proses demokratisasi dan keamanan di Indonesia yang akan menjadi modal pembangunan ekonomi.
Namun, tiba-tiba bom meledak di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlthon, semua orang tersentak dan marah, Presiden membuat pernyataan. Ada kekecewaan, kekhawatiran, dan kemarahan atas tragedy ini. Ratusan orang menjadi korban dan kehilangan anggota tubuh dan keluarganya, infrastruktur hancur berantakan, Indonesia dicap sebagai sarang teroris, sektor pariwisata sebagai andalan pemasukan devisa lumpuh total sehingga butuh waktu lama untuk memulihkan dan meyakinkan turis mancanegara kembali untuk datang ke Indonesia.
Secara definisi terorisme dapat dikelompokkan mulai yang bersifat umum hingga bersifat khusus, baik sebagai kekerasan yang dirancang menciptakan ketakutan di masyarakat (Thorton, 2001), maupun bentuk operasi psikologi. (McEwen, 2001). Senada dengan itu, terorisme juga dapat dibedakan dari bentuk kekerasan politik dari dua aspek, yaitu:
a). Korban adalah yang kebetulan ditempat kejadian, misalnya pengunjung, tamu hotel, satpam, penjual rokok. b). Terkait pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat atau public politik yang dimanipulasi atau diprovokasi untuk aneka tujuan sosial dan politik tertentu. (Nur Imam Subono, 2001).
Secara rasional, tindakan kekerasan ini bukan tujuan akhir, tetapi merupakan cara yang dipandang paling efektif untuk aneka capaian lain yang lebih substansial (Ivan A Hadar, Kompas, 21/7/2009). Teroris selalu bermain pada tataran ideology dan psikologis. Ia termasuk anak ideology ektrem radikal. Oleh karena itu ada berbagai type teroris, diantaranya adalah, tipe revolusioner, yaitu kelompok non negara yang berupaya melawan atau mengubah negara bangsa , undang-undang dasar, atau menggulingkan pemerintah berkuasa.
Penyerangan terhadap Hotel Ritz Carlton dan JW Mariot boleh jadi mereka anggap lambing kekuatan dunia yang harus dilawan dengan berbagai cara. Korban terorisme sebagian besar adalah musuh simbolik atau musuh imajiner yang terkontruksi, dan bukan musuh ontologis. (Masdar Hilmy, Kompas, 21/7/09). Musuh adalah konstruksi semantic yang sengaja dihadirkan dalam realitas sosial guna melegitimasi self-fulfilling prophesy teroris. Kata James Aho, If an enemy is not ontologically present in the nature of things, one must be manufactured,. Setidaknya ada lima tahapan proses terjadinya kontruksi musuh, menurut Peter Berger dan Thomas Luckman (1964) yaitu, tahap penamaan atau tahap pelabelan yang terjadi melalui sebutan antagonistik.
b. Legitimasi melalui berbagai pembenaran teologis-ideologis atas sikap permusuhan itu.
c. Pembuatan Mitos guna menggalang simpati atau dukungan kelompok internal.
d. Aksi-aksi vandalistic- kekerasan terhadap musuh.
Menyadari bahaya terorisme sangat masif maka negara memberikan respon yang sangat besar. Tanggapan negara biasanya mengeluarkan aturan, yang membatasi hak-hak politik individual. (Makmur Keliat, Kompas, 21/7/09).
Namun ada variasi dalam pemberian respon tersebut, untuk tanggapan yang lembut, misalnya AS setelah peristiwa 11 September , pemberlakuan UU Patriot oleh Bush tahun 2001, setelah serangan terorisme, member ruang yang lebih luas bagi pemerintah AS untuk membatasi hak politik individual warganya.
Namun pemberlakuan UU ini tidak serta merta mengakibatkan terjadinya pengebirian proses demokrasi di negeri tersebut. UU Patriot dikeluarkan untuk melindungi dan melanjutkan pelembagaan dan mekanisme demokrasi di AS.
Berbeda halnya dengan negara Filipina, yakni yang diperlihatkan oleh Marcos saat terjadi ledakan bom di Filipina 21 Agustus 1971, yang menewaskan Sembilan warga sipil, yang dikenal dengan peristiwa “Plaza Miranda”. Marcos menuding teroris ebagai pelaku, ia memberlakukan Undang-undang Darurat Perang. Hal ini mengakibatkan terbungkamnya demokrasi lebih dari satu dasawarsa dan memunculkan rezim otoriter.
Kisah di AS dan Filipina menyampaikan pesan bahwa uaya negara memonopoli penggunaan kekerasan, khsusnya saat berhadapan dengan terorisme.
Hasil akhirnya dapat mengakibatkan dua hal yang berbeda, yaitu dapat melindungi demokrasi, tetapi juga dapat membunuh demokrasi.
Khsusus untuk Indonesia, kita memilih untuk melindungi demokrasi bukan dengan membunuh demokrasi. Perlu adanya koreksi terhadap dinas intelijen kita. Instrumen intelijen mungkin tidak efektif untuk melaksanakan fungsi utamanya yaitu menghindarkan terjadinya kejutan strategis.
Secara teoritik konseptual ada dua hal yang menyebabkan intelijen tidak efektif memerangi teroris, yaitu :
1. Informasi tentang adanya serangan teroris sebenarnya diperoleh, tetapi tidak ditindak lanjuti.
2. Memang tidak ada informasi sama sekali tentang kemungkinan adanya seragan teroris
Maka seiring dengan gencarnya perburuan terhadap teroris, DPR diam-diam terus membahas usul inisitaif pembentukan RUU Intelijen. (Media Indonesia, 14/3/2010)Pembahasan RUU tersebut akan diprioritaskan tahun ini. Pembentukan RUU Intelijen saja tidak cukup, pemerintah perlu mengurangi ketimpangan sosial dengan meningkatkan perekonomian masyarakat lemah. Sebab kemiskinan dan ketidakadilan sosial merupakan sumber dan pemicu yang meyuburkan gerakan radikal bersenjata.
Senada dengan itu Thamrin Amal Tomagola, mengatakan, terorisme berkembang subur karena terjadi proses marjinalisasi ekonomi dan politik terhadap masyarakat, khususnya masyarakat Muslim. (Thamrin Amal Tomagola, Kompas, 13 Maret 2010).
Disamping itu, menurut Filosof Jurgen Habermas (Giovanna Borradori, Philosophy in a Time of Teror: Dialogues with Jurgen Habermas and Jacques Derrida, 2003) mengatakan bahwa, merebaknya terorisme karena kegagalan komunikasi. Terorisme begitu merajalela akibat dialog menemui kebuntuan. Spiral kekerasan mulai ketika spiral komunikasi yang terdistrorsi mengarah kepada spirak ketidakpercayaan yang berjalan resiprokal.
Hal itu juga dibenarkan oleh Habermas yang melihat terorisme bukan persoalan budaya atau pun ideology., melainkan ekonomi. Ketimpangan akibat globalisasi mengakibatkan dunia terbelah: yang berdaya dan tak berdaya. Korban globalisasi semakin mengalami pemiskinan. Dialog buntu diatasi dengan kekerasan. Maka terorisme adalah jawaban terhadap telinga penguasa yang tak sudi mendengarkan aspirasi yang terpinggirkan. (*)
*Penulis adalah wartawan Perum LKBN Antara Sumbar di Pasaman