Pedih, sakit, pilu dan malu, deretan kata-kata itu, menjadi bagian dari keseharian pria bernama Sunadi (46). Betapa tidak, derita yang merupakan buah dari penyakit kusta yang dideritanya, telah berlangsung hampir 20 tahun lamanya.
Derita yang ditanggungkan itu, tak jarang kadang kala mampu mengurai air bening di pelupuk mata Sunadi. Bahkan saat ini, kaki dan tangan Sunadi pun berangsur habis (buntung).
Di tengah derita yang bagaikan tiada akhir yang harus dilaluinya, Sunadi tetap mencoba bertahan mengarungi hidup yang menurutnya sangat sulit dan terjal itu.
Ketidaktahuan masyarakat banyak terhadap nasib yang dialami Sunadi, mungkin saja disebabkan keberadaan rumahnya yang berjarak sekitar 3 Km dari jalan utama (jalan kampung). Tepatnya di Dusun Guguek Bariang Jorong Lurah Nan Tigo Nagari Selayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok.
Virus yang telah mengganas di ujung jari kaki dan tangan Sunadi, seolah-olah tidak mengerti dengan nasib malang yang dialami salah satu keluarga miskin di Kabupaten Solok itu.
Akibatnya, dengan kondisi kaki dan tangannya yang berangsur habis, Sunadi hanya bisa berjalan memakai alat bantu berupa dua buah tongkat yang begitu setia menemani Sunadi menjalankan semua rutinitas kesehariannya.
Sunadi yang menggantungkan hidup dengan mencoba menjadi peternak ayam, ternyata tak bisa berbuat banyak. Usaha yang diyakininya bisa dijadikan gantungan hidup, justru makin hari makin tak menentu nasibnya sebagaimana derita tiada ujung yang harus dilaluinya.
"Awak sangko jo usaho ko bisa hiduik, tapi tanyato indak. Malah ayam awak kini tingga dua ikua saan," kata Sunadi dengan logat daerah yang kental saat menceritakan apa yang dialaminya pada antara-sumbar.com.
Walau tak meninggalkan profesi itu, saat ini, tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga dibantu oleh sang istri, Alinar (37) yang senantiasa dengan penuh cinta menyambung ekonomi keluarga dengan menjadi seorang buruh tani.
"Awak karajo indak pulo manantu doh Pak, kadang ado karajo, kadang indak, tagantuang urang mambao," kata ibu empat anak ini menimpali.
Kondisi keuangan keluarga yang tidak menentu tersebut, membuat pasangan suami istri ini, hingga sekarang belum juga mampu membangun rumah idaman bagi anggota keluarga mereka.
"Kini, jangankan untuak mambangun rumah, untuak biaya anak-anak sajo indak cukuik, ditambah jo panyakik nan indak tahu bilo ka cegak nyo doh Pak," katanya dengan mimik datar tanpa bermaksud menyalahkan siapapun.
Sunadi, di sela erangan yang kadang kala muncul tanpa disadarinya itu, menceritakan, tiga dari empat anaknya masih bersekolah di SD dan SLTP. Namun anaknya yang paling besar yaitu Andri Adila (21), tidak mau melanjutkan ke SLTA setelah tamat SLTP karena tidak tega melihat kondisi kedua orang tuanya itu.
"Anak ambo nan gadang, kini marantau ka Lampuang. Satiok hari ambo badoa, kalaupun inyo alun bisa mambantu kami, saindaknyo, pancarian nan didapeknyo bisa mambueknyo batahan hiduik," tambah Sunadi dengan mata menerawang sambil sesekali menyeka butiran bening dari kedua sudut matanya.
Alinar yang selalu setia menemaninya suaminya itu, menimpali, Sunadi beberapa waktu lalu pernah dibawa ke RSUP M. Djamil untuk mendapatkan pengobatan terkait penyakitnya yang sudah menahun tersebut. Namun setelah sampai di rumah sakit, pihak rumah sakit menyarankan agar kedua kakinya itu dipotong (amputasi).
"Karano harus diamputasi, tapaso kami tolak. Sabab, kalau dikarek, jo apo pula kami ka hiduik," kata Sunadi, sambil mengusap perlahan kakinya yang terus menebarkan rasa sakit itu.
Sekarang, Sunadi hanya bisa pasrah dengan penyakit yang dideritanya itu. Entah sampai kapan akan berakhir ia juga tidak tahu. Yang jelas sekarang ia tetap akan berjuang menjalani hidup untuk menghidupi keluarganya.
"Walau jo aie mato, ambo akan tatap bajuang untuak batahan hiduik," katanya di akhir pembicaraan. (***)
"Kusta Ini Telah Merampas Sebagian Hidupku"
Sunadi duduk di rumahnya yang reot.