'Tok-tok, ting-ting-ting, tok-tok'. Masih ada denting martil di Bukit Tui. Bunyinya menggema di sebuah bukit endapan kapur mentah di Kelurahan Koto Panjang, Kecamatan Padangpanjang Timur, Kota Padangpanjang.
Di tengah kabut bercampur asap pembakaran, sejumlah buruh terus memecah gamping menjadi berkeping-keping. Merekalah yang percaya dan yakin hidup mereka akan terus berlanjut seiring pukulan martil dan kepul-kepulan asap.
Duapuluh tiga tahun lalu, tepatnya 4 Mei 1987, sebanyak 131 orang tewas diterjang galodo (longsor) di Bukit Tui, sembilan orang hilang. Dua desa terkubur. Namun peradaban tidaklah punah. Masyarakat senantiasa mengandalkan hidup mereka dengan menjadi buruh kapur, meski bencana dan dampak buruk lingkungan mengancam setiap saat.
"Tahun 2008 lalu tambang dan tungku pembakaran kapur di bagian Utara ditutup pemerintah. Menjelang dapat lokasi tambang baru, biaya hidup kami ditanggulangi, kebetulan waktu itu jelang Pilkada legislatif. Tapi kini kami harus menyewa lahan orang," ungkap seorang buruh di Bukit Tui, Rao-rao Dalam, Ujang (51) ketika berbincang dengan antara-sumbar.com di lereng bukit.
Menyewa lahan orang, aku Ujang, berarti membuat penghasilan mereka berkurang. Apa yang bisa dilakukan Ujang sebagai warga asli lereng Bukit Tui, tawaran berdagang di pasar pun ia tolak. Ia hanya paham bagaimana memecah batu gamping dan menaikannya ke atas truk.
Keping-kepingan gamping tersebut dibawa menggunakan truk Chevrolet 6400 keluaran tahun 1948 dengan kapasitas berat maksimal 18 ton, untuk dibakar di pondok pembakaran gamping hingga dapat digiling menjadi kapur. Laki-laki seperti Ujang memilih bekerja sebagai pemecah gamping di lereng bukit dan lainnya bekerja membakar kapur di tungku pembakaran, sedang perempuan umumnya bekerja sebagai pemecah batu kapur yang sudah dibakar kemudian dikemas dalam karung.
Ujang menyebutkan, buruh laki-laki setiap hari biasanya mendapatkan upah sebesar Rp40 ribu, sedangkan para wanita Rp25 ribu hingga Rp30 ribu. Seorang buruh pengemas kapur dalam sehari katanya harus menyiapkan 60 karung batu kapur siap kirim. Hasil produksi sebagian kecil dipasarkan ke Propinsi Riau dan Sumatera Utara, untuk diolah sebagai pasta gigi, cat tembok dan sebagainya, di samping pemenuhan kebutuhan lokal.
Menurutnya, pembakaran batu kapur dilakukan selama seminggu. Ujang bersama buruh lain bekerja mulai pukul 06.30 hingga 17.00 WIB, dengan hasil 10 hingga 12 ton per harinya. Harga Rp250 ribu per ton, tidak sebanding dengan dampak kesehatan yang diakibatkan, seperti udara yang bercampur dengan debu kapur dan asap pembakaran dengan bau menyengat, membuat pekerja sesak napas dan menyebabkan gangguan pernafasan lainnya.
Tetapi, batu gamping yang Ujang pecahkan setiap hari itu tetap keras sekokoh hatinya untuk terus menyambung hidup. Bukit kapur itu menyediakan cadangan kapur mentah terbesar di Sumbar yakni sebanyak 43.065.000 ton dengan luas 124 hektar area, belum lagi yang terbentang dari Malalo sampai ke Kayu Tanam. Kekayaan alam yang raya, tak pernah habis.
Penutupan Tidak Jelas Ujung-Pangkalnya
Dilarang menambang di Bukit Tui bagian Utara, demikian seruan yang ditegaskan kepolisian setempat kepada masyarakat sejak dua tahun lalu. Tokoh masyarakat Adnan Datuak Tuo (73), menilai penutupan tersebut tidak jelas ujung-pangkalnya.
Sekitar bulan November 2008 yang lalu, Polres Padangpanjang melakukan penggusuran tungku pembakaran dan melarang warga untuk melakukan produksi batu kapur di daerah Bukit Tui bagian utara. Adnan Datuak Tuo mewakili warga, menyatakan penggusuran dilakukan tanpa alasan yang jelas dan tanpa ganti rugi. Penggusuran ini tentu merugikan sekali bagi warga sekitar dan pemilik tungku pembakar, karena menghilangkan mata pencaharian sebagian warga.
"Penggusuran ini memang tidak jelas ujung-pangkalnya. Longsor sudah berlalu, lagipula lokasi longsor bukan yang sekarang ditutup itu, karena daerah ini bukan daerah longsor," katanya kepada antara-sumbar.com saat ditemui di bekas tambang kapurnya.
Selain itu, Adnan Datuak Tuo yang ikut membakar kapur sejak tungku pembakaran masih berupa bangunan panggung itu mengaku masyarakat tidak kompak sehingga aspirasi yang ada tidak benar-benar ditanggapi. Mereka kini memikirkan hidup sendiri-sendiri, lirihnya.
Data didapat antara-sumbar.com, berdasarkan pernyataan Kapolres Padangpanjang saat itu, Kepolisian hanya menjalankan tugas seusai dengan UU demi tegaknya hukum, terkait dengan pertambangan industri pondok batu kapur dan mengacu kepada UU No.11 Tahun 1967, Pasal 14 dan 15 yang intinya 'Barang siapa yang melakukan usaha pertambangan tidak mempunyai kuasa pertambangan maka ketentuan pidananya dapat dihukum dengan hukumam kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau dengan denda setingi-tingginya lima ratus ribu rupiah'.
Walaupun industri batu kapur Bukit Tui di Padangpanjang ini adalah sumber daya alam yang sangat berpotensi untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan di segala sektor, namun hal ini tidak berjalan semestinya dan mengalami dilema sangat serius, akibatnya banyak pencari nafkah industri batu kapur ini beralih profesi menjadi tukang ojek di bumi Serambi Mekah ini.
"Gara-gara kami 'perai' (libur _red) menggali batu, sampai-sampai uang sekolah anak tidak terbayar, listrik rumah tidak terbayar. Sekarang ini kami harus menyewa, karena sebelumnya kan sudah ada yang menggali di sini," aku Ujang.
Sebagian teman-temannya sesama buruh kapur, memang memilih beralih profesi. Ada yang menjadi tukang ojek dan pedagang di pasar. Tapi Ujang, bersama sebagian kecil buruh yang bertahan tetap menopangkan hidupnya pada keping-keping batu kapur.
"Kami patuh dengan Undang-undang dan hukum yang berlaku, tapi setidaknya lahan kami yang ditutup ada ganti rugi yang layak, atau hidupkan kembali lahan itu," ucapnya.
Seolah-olah, suara para buruh benar-benar dibungkam. Dirinya bersama buruh lainnya, sudah berkoar-koar di berbagai media, namun tidak ada juga yang mendengar. Pemerintah Kota Padangpanjang, kata Ujang, tak jarang memboikot aspirasi para buruh dengan membeli semua media yang memberitakan tentang penderitaan buruh. Kini auara mereka tidak lagi didengar. Meskipun ada, namun gaungnya hanya samar terhimpit denting-denting martil di lahan gamping yang makin menghilang ditelan kabut. [***]
Denting Martil Itu Masih Terdengar di Bukit Tui
Seorang buruh di dekat tungku pembakaran.