Inovasi dan kreasi tak selalu tercipta oleh generasi muda dan tidak harus berpendidikan tinggi. Hal ini dibuktikan oleh seorang tukang tambal ban di Nagari Pulakek Koto Baru, Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat, bernama Natasril (54). Dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan dan sertifikat yang dimilikinya, lelaki paroh baya ini berhasil menciptakan alat tambal ban praktis dengan menggunakan elemen setrika yang dijalankan dengan energi listrik. Saat ditemui antara-sumbar.com, Natasril sedang di teras rumah semi permanennya yang ia fungsikan sebagai warung kecil-kecilan dan usaha menjahit sang istri tercinta. Lelaki yang mengidap penyakit asam urat itu gembira saat antara-sumbar.com menyampaikan niat untuk 'mengorek' cerita terciptanya alat tambal ban dengan listrik. "Belum dihak-patenkan, Dik," katanya berkelakar. Alat tambal ban dengan listrik itu, tercipta sekitar tiga tahun lalu ketika minyak tanah sulit diperoleh di Solok Selatan. Walaupun ada, harganya cukup mahal waktu itu. Alat tambal ban itu terbuat dari elemen seterika, untuk menciptakan panas, yang dijepit dua buah lempengan besi menyerupai seterika. Menurut penciptanya, alat itu terinspirasi oleh mesin pengkop ban yang digunakan untuk vulkanisir ban. "Saya terinspirasi oleh mesin pengkop ban di salah satu usaha vulkanisir ban di Jambi. Mesin itu saya lihat sekitar tahun 1988, waktu itu harga mesin mencapai Rp3 juta per unit. Dari situ saya mempunyai gagasan (ide) membuat alat tambal ban dengan listrik," jelas Natasril. Ide itu kemudian ia bicarakan dengan salah seorang anaknya yang berada di Jambi. Tak lama, alat itu tercipta. Saat pertama tercipta tidak serta merta alat itu bisa digunakan secara mulus karena ada lempengan besi yang tidak rata sehingga menghasilkan tambalan yang kurang sempurna. "Lempengan besi harus licin agar hasil tambalan rapi. Kalau lempengannya tidak rapi, hasilnya juga kurang bagus," terangnya. Selain murah, menghabiskan biaya Rp30.000-Rp40.000 per unit dan lempengan besi yang menyerupai seterika bisa menggunakan besi bekas, alat tambal ban dengan listrik memiliki efisiensi, praktis, hemat dan tidak beresiko. "Kalau alat tambal ban dengan kompor, biaya minyak tanah dalam sebulan sampai Rp20.000, sementara dengan listrik hanya Rp5.000. Selain itu, alat ini juga praktis, efisien, tidak beresiko. Kalau dengan kompor memiliki resiko besar kalau sampai meleduk," tutur lelaki yang pernah merantau di Jambi selama 10 tahun ini. Satu elemen seterika, kata dia, mampu bertahan selama enam bulan. "Yang penting tidak jatuh sebab kalau jatuh, elemen itu akan bergeser dan rusak. Otomatis tidak bisa dipakai lagi," ungkapnya. Hasil tambalan dengan menggunakan alat ini tak kalah dengan panas yang dihasilkan oleh kompor sebagai bukti belum ada pelanggan yang komplen atas kinerja alat itu. Meskipun sudah memiliki alat yang praktis, efisien, dan hemat, tapi Natasril tidak melupakan kompor. Sewaktu-waktu ia masih menggunakan kompor, terutama saat listrik mati karena belum memiliki genset. Usaha tambal ban yang telah ia rintis sejak tahun 1993 itu sekarang dikelola oleh anak bungsunya, Febi (19). Febi lah yang sehari-hari menggantikan bapaknya yang tengah diserang asam urat. Meskipun sudah lulus SMK, namun ia enggan melanjutkan ke bangku kuliah. "Mungkin karena sudah tahu enaknya uang dan nyari uang sendiri makanya ia malas melanjutkan ke kuliah," kata Nas, panggilan akrab Natasril, sambil tertawa. Selama menggunakan alat tambal ban dengan listrik ini, pelanggannya mulai bertambah. "Belum pernah ada yang komplen justru pelanggan bertambah," kata Febi yang ikut nimbrung dalam wawancara itu dengan baju kerjanya yang penuh oli. Ketika ditanya berapa penambahan pelanggannya, Febi tak mau menjawab. Hanya tersipu malu. Usaha tambal ban Natasril tak beda dengan usaha tambal ban lainnya. Di depan bagian kanan usaha tambal itu tumbuh pohon ceri, bahasa Jawanya talok, yang terus berbuah dan membuat halaman tempat tambal ban itu teduh. Sambil menunggu tambal ban selesai, kita bisa mencari buah seri matang yang rasanya manis atau duduk-duduk di atas tumpukan ban yang berada di bawah pohon ceri itu. Sebuah bus antar kota dalam propinsi (AKDP) berwarna putih jurusan Padang Aro-Solok tiba-tiba berhenti di depan usaha tambal ban Natasril. Febi langsung mendekati kernek bus yang datang membawa ban. "Ganti ban ciek Da," ujar sang kernek. Sebelum menutup perbincangan dengan antara-sumbar.com siang itu, Natasril mengingatkan agar tukang tambal ban yang menggunakan alat sepertinya selalu siap menyiapkan tespen. "Untuk antisipasi kalau ada korsleting," katanya sambil terkekeh. Melalui image yang diaktualisasikan, akan tercipta karya yang bermanfaat bagi orang lain. Berbahagialah Natasril yang mampu menyumbangkan karyanya walaupunya hanya untuk tukang tambal ban. Semoga ada pihak yang bersedia menghak-patenkan alat itu dengan namamu. ***

Pewarta : 172
Editor :
Copyright © ANTARA 2024