Banyak simbol yang dilekatkan pada diri pemuda, salah satu dari simbol itu adalah pemuda harapan bangsa dan harapan masa depan. Yang akan diharapkan peran dan kontribusinya dalam memimpin bangsa ini dua puluh tahun yang akan datang.
Dengan adanya simbol itu, terkandung tanggung jawab yang sangat besar. Artinya, pada diri seorang pemuda harus mempergunakan seluruh energi, waktu, perasaan dan seluruh potensi yang dimilikinya kepada hal-hal yang bermanfaat, produktif guna untuk meningkatkan kapasitas sumber daya pemuda dan wawasan serta ilmu pengetahuannya untuk menatap masa depan yang serba kompetitif.
Rasanya, tanggung jawab untuk memimpin bangsa ini tidak mungkin dipikul oleh pemuda yang loyo, malas bekerja dan berusaha, tidak produktif, tidak punya ilmu pengetahuan, tidak punya keahlian dan wawasan. Apalagi sudah terlibat pada perbuatan yang melanggar hukum.
Misalnya, sebagai pemakai dan pengedar barang haram. Maka dapat dibayangkan apa jadinya bangsa ini. Bangsa ini akan melegalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Meskipun cara-cara itu melanggar hukum.
Kalau dilihat secara kalkulasi penduduk, data dibawah ini menunjukkan bahwa jumlah pemuda sangat banyak di Indonesia. Dari 220 juta penduduk Indonesia 80, 7 juta jiwa adalah pemuda atau sekitar 37, 2 persen. Dengan rentang usia antara 15 sampai dengan 35 tahun.
Dari jumlah tersebut 11, 11 persen adalah pengangguran dan sekitar 30 juta lainnya terjebak setengah pengangguran ( Singgalang, 10/8/2007 ). Dari data ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran cukup besar di kalangan pemuda. Pengangguran ini menjadi skala prioritas yang harus di tuntaskan penyelesaiannya. Perlu adanya niat baik seluruh pihak baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha untuk sama-sama mencari jalan keluar terhadap permasalahan pengangguran yang makin membengkak.
Pengangguran menjadi ancaman bagi keutuhan negara. Akan berdampak besar terhadap penegakan hukum dan ketenangan sosial masyarakat. Dengan menyandang predikat sebagai pengangguran, pemuda mudah terpengaruh untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Mereka rela melakukan apa saja asalkan mendapatkan uang. Misalnya, merampok, pengedar barang haram yang marak saat ini.
Bahkan, mereka tak segan membunuh korban dengan cara-cara yang tragis. Apabila keadaan ini secara bertahap tidak dapat diatasi, maka kejahatan akan merajalela, tingkat kriminal akan meningkat tiap tahun. Pada satu sisi memang penjahat itu salah akan tetapi pada sisi lain kita juga kasihan melihat mereka, untuk mendapat sesuap nasi mereka melakukan perampokan bahkan pembunuhan.
Menurut teori dalam ilmu kriminologi bahwa menangkap penjahat itu memang mudah, tapi yang sulit adalah membuat orang untuk tidak melakukan kejahatan.
Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap produktifitas pemuda. Dapat dibayangkan jika mereka hanya tamat SD, SMP pada kondisi sekarang ini apalah yang dapat mereka lakukan. Di tengah persaingan hidup yang serba kompetitif.. Kalau diibaratkan nasi sepiring diperebutkan oleh ratusan orang.
Data di bawah ini menunjukkan bahwa kondisi pemuda dilihat dari tingkat pendidikan. Sebanyak 13, 700 juta atau 34,4 persen adalah tamat SD, 15, 700 juta atau 39,5 persen adalah tamat SMP, 9,960 juta atau 24, 9 persen adalah tamat SMA dan 0,477 juta atau 1,2 persen adalah tamat Diploma dan Universitas. ( Setyo Heriyanto, 2007 )
Jika dilihat dari data ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pemuda Indonesia adalah masih rendah. Dan yang paling dominan jika dilihat dari data menunjukkan bahwa pemuda Indonesia mempunyai tingkat pendidikan sampai tamat SMA. Tingkat pendidikan juga menjadi persoalan utama pemuda dari data ini dan menjadi hal yang krusial yang harus di selesaikan.
Bagaimanapun tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap sikap, keahlian, pengetahuan, dan pendapatan seseorang. Jika para pemuda mempunyai pendidikan yang baik maka dapat menjadi pendorong bagi mereka untuk melakukan kegiatan usaha dan perbuatan melanggar hukum dapat dihindari.
Yang menjadi persoalan selama ini bahwa karakter dan budaya menjadi wirausaha belum terbentuk di tingkat pemuda. Selama ini baik keluarga, masyarakat belum menjadikan budaya wirausaha menjadi identitas/jati diri. Mereka lebih suka mengamen di jalanan, bus kota , terminal-terminal dari pada melakukan kerja terbaik untuk bekal masa depan.
Budaya beberapa suku di Indonesia memang menagungkan profesi wirausaha sehingga banyak wirausaha yang lahir dan berdaya saing yang berasal dari suku itu. Namun, secara umum budaya masyarakat Indonesia masih mengagungkan profesi yang relatif “tanpa resiko”.
Misalnya, menjadi pegawai negeri, ABRI, atau bekerja di perusahaan besar. Jarang kita dengar sebuah keluarga yang begitu besar perhatian dan motivasi kepada anaknya untuk menjadi wirausaha, yang banyak selama ini anak diarahkan untuk menjadi abdi bangsa ini.
Kenyataan ini masih terjadi sampai sekarang. Ribuan orang yang melamar tiap tahun untuk menjadi PNS sedangkan yang lulus adalah puluhan orang. Untuk merubah kultur itu memang agak sulit, karena telah terdoktrin sejak lama.
Oleh karenanya perlu adanya perhatian dan pembinaan dari semua pihak dengan mengetahui akar permasalahannya. Selama ini pembinaan pada tingkat pemuda selalu diarahkan kepada tiga hal.
Pertama, masih dititik beratkan pada prestasi, terutama prestasi di bidang olahraga dan akademik. Kedua, pembinaan pemuda masih dititik beratkan pada dunia politik, Ketiga, sedangkan pembinaan pemuda untuk menggeluti dunia kewirausahaan masih kurang dilakukan secara sistemik.
Paling tidak, ada tiga faktor yang mendorong orang untuk menjadi wirausaha. Pertama, Confidence Modalities, adalah wirausaha yang yang lahir atau dibesarkan dalam keluarga yang memeliki tradisi yang kuat di bidang usaha, Kedua, Tension Modalities adalah sesorang yang berada pada kondisi yang menekan, sehingga tidak ada pilihan lain selain menjadi wirausaha, Ketiga, Emotion Modalities adalah seseorang yang memang mempersiapkan diri untuk menjadi wirausahawan.
Untuk Indonesia pendorong orang untuk menjadi wirausawahan adalah factor tension Modalities, ia berada pada kondisi yang menekan sehingga tidak ada pilihan lain selain untuk menjadi wirausaha.. Penulis yakin bahwa bagian terbesar dari pengusaha terkenal yang berasal dari ranah minang yang sukses menjadi di bidang wirausaha adalah karena faktor kondisi yang menekan ( tension modalities ).
Pemuda secara kuantitas cukup banyak, sebenarnya merupakan asset bangsa yang tidak ternilai harganya. Sudah saatnya orientasi dan pembinaan pemuda harus diubah dari pembinaan di bidang prestasi olahraga, organisasi politik menjadi pembinaan kearah dunia kewirausahaan secara sistemik.
Artinya, perlu adanya perubahan dalam orientasi pembinaan pemuda yaitu orientasi ke wirausaha baik berkelompok atau sendiri. Pembinaan pemuda itu harus didukung oleh semua pihak baik itu masyarakat, pelaku dunia usaha maupun pemerintah. Sehingga di harapkan adanya gerakan nasional kewirausahaan pemuda. Kita tentu ingin dengan adanya pembinaan itu kader-kader wirausaha di kalangan pemuda akan muncul di permukaan.
Untuk mewujudkan langkah itu perlu adanya strategi pembangunan karakter dan budaya wirausaha. Pertama, memasukkan kewirausahaan dalam kurikulum pendidikan dasar dan akademik, Kedua, pengembangan sistem magang baik di dalam maupun di laur negeri, Ketiga, mengembangkan tempat-tempat praktek usaha bagi para pemuda, Keempat, merubah budaya instant, Kelima, mendorong pemuda bergabung ke badan-badan usaha.
Dengan adanya strategi ini apabila dapat terlaksana dengan baik maka simbol yang dilekatkan pada pundak pemuda sebagai harapan bangsa dapat terealisasi dan berwujud dalam kenyataan. Bahkan kita pada suatu saat kita akan melihat bahwa pemuda akan ikut bertarung untuk berkompetisi dalam pilihan kepala daerah yang sekarang sudah dibuka pintu lewat jalur independen.
Sudah saatnya kaum muda yang memimpin bangsa ini. Hal ini telah dimulai oleh pasangan Gubernur Jawa Barat terpilih pada pilkada lalu. Memang untuk mewujudkan itu, pemuda harus mempersiapkan diri sejak dini. Semoga.
(Penulis adalah Wartawan LKBN Antara-sumbar.com Perwakilan Pasaman).