Pagi adalah kabut yang seakan kian menudungi kampung di lembah Gunung Tigo, kurang lebih 150 meter dari permukaan laut. Orang-orang mulai bergegas usai adzan subuh dikumandangkan, mulai bekerja meskipun sebagian mereka tidak ada lagi yang bekerja atau memiliki pekerjaan. Namun apa yang bisa diperbuat Ismael, pemuda 23 tahun putra asli Korong Lubuk Laweh, Nagari Tandikek, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman dengan kaki yang nyaris lumpuh? Pemuda ini hanya bisa mendekam di dalam tenda darurat dan sesekali menyibak jendela terpal menghirup kabut. "Mau bagaimana lagi, rumah hancur ditimbun longsor, rumah darurat belum juga bisa ditempati, sedang tenda ini kalau hujan selalu kemasukan air. Hati selalu tidak tenang," ungkap Ismael kepada antara-sumbar.com saat ditemui pada peringatan 100 hari pasca gempa ditemani orangtua perempuannya. Gempa 30 September 2009 memang menjadi momok menakutkan bagi warga Sumatera Barat, khususnya warga yang mengalami dan menjadi korban guncangan gempa dan keganasan longsor. Gempa datang pada pukul 17.18 WIB dengan lokasi 0,84 LS – 99,65 BT kedalaman 71 km di 57,5 km Barat Daya Kota Pariaman. Di Kabupaten Padang Pariaman, 452 jiwa menjadi korban, puluhan orang terluka, bahkan 192 lainnya dinyatakan hilang karena tertimbun longsor yang kemudian ditetapkan sebagai kuburan massal. Ismael adalah salah satu dari korban yang selamat dari longsor yang menimbunnya selama 18 jam. Dia mengisahkan, saat gempa 7,9 skala richter mengguncang tanah Sumbar, dirinya tengah berada di dalam rumah. Dia menyaksikan langsung rumah-rumah di segala penjuru di dekatnya roboh seiring guncangan gempa. "Sekitar jarak 150 meter, batang pohon kelapa bergerak dan semuanya terangkat. Saya lalu lari ke belakang rumah, namun baru dua langkah tiba-tiba datang longsor. Saya terlempar sejauh 100 meter dan tertimbun sedalam 3 meter selama satu setengah jam," ceritanya sambil mengurut kakinya sendiri. Kepanikan luar biasa membuat dirinya tidak mampu berbuat apa-apa saat itu. Beruntung, sekitar pukul 19.00 WIB dirinya mendengar suara orang. Tanpa berpikir, Ismael langsung meminta tolong. Dia pun dapat menghirup udara dengan ditolong seseorang itu hingga sebatas pinggang. Dia patut bersyukur diberi kesempatan hidup, meski saat sudah dapat keluar dari timbunan longsor sebatas pinggang, dirinya harus menunggu pertolongan dari tim SAR hingga pagi hari. Kala itu semua gelap, tangis-tangis pecah seiring desis hujan yang turun melunakkan tanah-tanah yang menimbunnya. Orang yang berbaik hati itu (dia mengaku tidak kenal), dengan terpaksa meminta Ismael agar bersabar menunggu pertolongan lain karena tidak sanggup lagi menolong. Ismael pun harus menunggu di tengah hujan dengan tadahan seng sampai pagi menyinsing. Di kepalanya, ketakutan-ketakutan terus bercabang. "Sekarang kalau hujan datang saya takut, kalau angin kencang saya juga takut. Trauma gempa tidak bisa hilang dari pikiran saya. Saya ingin dipindahkan dari sini," lirihnya yang menganggap angin dan hujan sebagai hantu yang kerap menakutinya sepanjang hari. Ketakutan itu makin kuat ketika dia menyadari bahwa dirinya belum bisa berjalan, apalagi untuk berlari. Di pikirannya, kejadian serupa bisa saja terulang dan tentu itu akan lebih menakutkan. Minta Segera Ditransmigrasikan Ismael mengaku, ingin segera ditransmigrasikan dari Lubuk Laweh, ke mana pun seperti ke Dharmasraya atau Limapuluh Kota. Hanya itu yang dia inginkan. Betapa tidak, selain rasa trauma mendalam, di kampungnya tidak ada lagi yang bisa dikerjakan. Semua sawah dan ladang, kata dia, habis ditimbun longor. Kalaupun ada tersisa, banyak yang rengkah-rengkah dan kering kekurangan air. Menurutnya, hingga saat ini pasokan air ke kampungnya sangat sulit. Pihak NGO sudah pernah ada yang menggali sumur agar mendapatkan air, tetapi hasilnya nihil. Jalan lain, warga terpaksa menampung air hujan di sebuah bak, yang digunakan untuk minum, mandi, wudhu, dan mencuci. "Di sini tidak ada yang bisa dilakukan lagi untuk hidup. Semua hancur. Maka saya minta kepada pemerintah daerah agar dapat cepat ditransmigrasikan," pintanya. Trauma psikologis menjadi beban berat bagi Ismael, demikian pula warga lainnya di Lubuk Laweh yang rata-rata kehilangan anggota keluarganya akibat gempa dan longsor. Wali Korong Lubuk Laweh, Indra Dunianda menyatakan, bahwa mata pencaharian warga setempat adalah petani, salah satunya mengandalkan hasil pada. Sedangkan kini tidak ada lagi yang bisa digarap sebab sudah tertimbun longsor. "Di sini warga rata-rata mengandalkan hasil tani padi, kelapa, kulit kayu manis, karet, dan pinang. Akibat longsor, sekitar 20 hektar sawah masyarakat hancur tertimbun longsor, ditambah lahan pertanian lainnya," jelas Indra. Meskipun sudah tiga bulan lebih pasca gempa, sedikitnya sebanyak 25 Kepala Keluarga (KK) di Lubuk Laweh masih berada di tenda-tenda darurat sumbangan NGO dengan keadaan yang memprihatinkan. Hal tersebut diakibatkan pembangunan rumah darurat oleh sebuah NGO di Lubuk Laweh belum rampung juga. Kini Ismael bersama warga lainnya hanya pasrah menunggu. Dia tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kakinya masih sakit. Di kepalanya, saat mata terpejam masih terputar adegan-adegan menyeramkan saat Gunung Tigo menjatuhkan material longsor. Namun saat matanya dia buka, kenyataan dirinya masih berada di dalam tenda, bersembunyi dari hujan, angin, dan petir yang senantiasa bergemuruh di dadanya sepanjang hari. [*]

Pewarta : ggoy el Fitra
Editor :
Copyright © ANTARA 2024