Unjuk rasa yang melibatkan ratusan bahkan ribuan pedagang yang biasa beroperasi di Pasar Raya Padang ke balaikota Padang dan juga DPRD Padang beberapa waktu lalu, menyisakan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat luas.
Di satu sisi, apa yang dilakukan pedagang adalah bentuk semakin meluasnya "ilmu demokrasi" di tengah masyarakat, namun sebaliknya, kehadiran ribuan pedagang tentu membutuhkan sebuah "ilmu manajerial" pula.
Jika menyigi kebijakan yang dilakukan Pemko Padang terhadap pedagang pascagempa 30 September lalu, sebenarnya sudah cukup bagus. Sebab, dengan hancurnya infrastruktur pasar raya, tentu areal tersebut tak lagi layak dijadikan sebagai tempat mencari nafkah.
Nah, Pemko Padang selaku abdi masyarakat, menyadari betul kesulitan yang dihadapi warganya itu. Maka lahirlah kebijakan untuk merelokasi pedagang untuk sementara waktu sampai areal yang biasa mereka tempati kembali dibangun.
Pemilihan Jalan Sandang Pangan dan Jalan Pasar Baru pun, sebenarnya telah melalui kajian dan observasi yang mendalam. Sebab, sebagai daerah yang masih berada di kawasan Pasar Raya Padang, tentu kawasan ini lebih memungkinkan untuk digunakan sebagai pasar sementara.
Selain itu, penggunaan kedua areal tersebut memiliki tingkat permasalahan atau perbenturan yang sangat kecil. Pemko Padang pun selaku penguasa daerah bisa memberikan izin langsung dan tanpa berbelit-belit.
Namun di sini pula letak permasalahannya, pedagang menyebutkan areal tersebut tidak layak digunakan sebagai tempat berdagang. Selain buntu, juga terhitung sesak dan sumpek.
Penolakan pedagang inilah yang berbuntut panjang dengan maraknya aksi pedagang agar mereka diizinkan berdagang di kawasan Imam Bonjol dan M Yamin.
Pemerintah yang telah menyiapkan rencana tata ruang wilayah (RTRW), tentu tak bergeming. Karena kalau kedua areal itu dipaksakan, selain akan melahirkan masalah baru seperti kemacetan, kebisingan dan juga kesemberautan di pusat kota, juga karena kawasan Imam Bonjol merupakan paru-paru kota.
Selain itu juga harus diingat, areal Lapangan Imam Bonjol yang sekarang telah berubah menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Imam Bonjol adalah milik institusi TNI.
Kalau Pemko Padang nekad mendahulukan kepentingan rakyat yang tengah "tegang", tentu pemerintah harus melalui sejumlah tahapan yang tidak mudah dilalui.
Jalan terbaik yang bisa dilakukan pedagang saat ini adalah tetap menjalankan aktivitasnya sebagaimana biasa di areal yang telah ditetapkan pemerintah.
Sebab, kalau pedagang tetap asyik turun ke jalan, selain berpotensi menimbulkan "chaos", juga akan membuat roda perekonomian Kota Padang tersendat. Dan bagi pedagang sendiri, tentu turun ke jalan berdampak langsung pada pendapatan mereka.
Pedagang dan asosiasi pedagang, boleh tidak setuju dengan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.
Namun, kalau penolakan terus dikedepankan, tentu berdampak pula pada hubungan yang kian tidak harmonis antara pemerintah dan pedagang sebagai bagian dari masyarakat luas.
Pedagang di satu sisi dan pemerintah di sisi lain, adalah bagian yang tidak terpisahkan dlam rantai demokrasi dan rantai ekonomi. Nah, akan lebih baik dan bijak rasanya kalau pedagang tetap menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya. Pemerintah pun menjalankan fungsi sebagaimana seharusnya.
Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana solusi penyelesaiannya ? Rasanya dengan mengirimkan sejumlah perwakilan yang diawasi secara ketat oleh pedagang ke pemko Padang, tentu akan dilahirkan sebuah kesepakatan baru.
Kota Padang yang telah porak poranda diguncang gempa, harus dibenahi secepatnya. Bagaimana caranya ? Caranya adalah dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya secara tepat dan didukung seluruh elemen masyarakat.(*****)
Penulis adalah mantan ketua KNPI Kota Padang