Pabrik biodiesel dengan nilai sekitar Rp12 miliar bantuan Kementerian Riset dan Teknologi sekitar 2007 untuk pemerintah Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel), hingga saat ini belum dapat dioperasikan karena masih belum mendapatkan aliran listrik. Bahkan, saat akan diserahterimakan ke KUD usai dibangun di Desa Telagasari, Kecamatan Kelumpang Hilir, pengurus Koperasi Gajah Mada menolak dengan berbagai alasan. "Kami tidak mau menerima sebelum pabrik itu benar-benar dapat dioperasikan dan menghasilkan biodiesel," kata Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Gajah Mada, calon pengelola pabrik biodiesel tersebut, I Ketut Yudiana. Menurut dia, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan agar pabrik biodiesel tersebut dapat beroperasi. Di antaranya, harus ada perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) yang memproduksi minyak sawit mentah/crude palm oil (CPO) yang menjamin ketersediaan bahan baku untuk biodiesel. "Karena jika tidak ada pabrik PKS yang menjamin kelancaran suplai bahan baku, dapat dipastikan pabrik tersebut tidak memperoleh bahan baku, meskipun di Kotabaru telah banyak berdiri pabrik minyak sawit mentah," ujarnya. Selain listrik dan jaminan bahan baku dari pabrik PKS, masalah air bersih untuk membantu proses pengolahan biodiesel juga belum tersedia. Padahal, air bersih sangat penting untuk membantu proses produksi biodiesel. "Begitu juga dengan sumber daya manusia yang akan mengoperasikan pabrik biodiesel juga belum dilatih," katanya. Ketut mengaku pihaknya baru siap menerima penyerahan pengelolaan pabrik biodiesel itu melalui pemerintah daerah, jika kekurangan tersebut dipenuhi. "Kami siap menerima jika pabrik tersebut telah benar-benar dapat dioperasikan dan segalanya terpenuhi," katanya. Menurut dia, pabrik biodiesel tidak akan dapat dimanfaatkan jika masalah listrik, perusahaan penjamin bahan baku dan sarana air bersih belum tersedia. Yang lebih penting lagi, kata Ketut, saat ini harga CPO lebih mahal dibandingkan dengan harga BBM solar nonsubsidi, sehingga pabrik tersebut tidak ekonomis jika dioperasikan. Dia mengatakan, produksi biodiesel baru akan ekonomis jika harga solar jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga biodiesel. Cabut Subsidi BBM Menurut Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Kotabaru, Mahyudiansyah, pengoperasian pabrik biodiesel saat ini belum ekonomis dan hanya akan menjadi beban APBD Kotabaru. "Banyak persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu, sebelum pabrik biodiesel itu dioperasikan," kata dia. Selain masalah kelengkapan pabrik seperti listrik sekitar 150 KW, air bersih, dan jaminan bahan baku crude palm oil (CPO) dari pabrik kelapa sawit (PKS), juga soal tenaga teknis di lapangan. Pabrik tersebut baru akan layak memproduksi biodiesel, kata Mahyudi, jika subsidi BBM dicabut dan dialihkan untuk menyubsidi produk biodiesel agar harganya lebih rendah dari harga BBM di pasaran. Karena untuk memproduksi satu liter biodiesel, kata Yudi, diperlukan biaya yang cukup tinggi yakni sekitar Rp12 ribu per liter. Biaya tersebut untuk membeli CPO yang saat ini seharga Rp6.500/liter ditambah biaya membeli metanol, listrik, dan gaji karyawan. Sementara harga BBM solar subsidi saat ini hanya sebesar Rp4.500/liter, sehingga sebelum ada subsidi penggunaan biodiesel dan dicabutnya subsidi BBM, pabrik biodiesel tidak layak untuk dioperasikan. Terkecuali, ujarnya, jika harga solar lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksi biodiesel yakni di atas Rp12.000/liter. Menurut dia, bantuan pabrik biodiesel tersebut dimaksudkan untuk mengonversi BBM dari fosil kepada BBM berbahan baku nabati. "Karena deposit BBM dari fosil tersebut akhir-akhir ini mulai menipis dan tidak dapat diperbarui, sehingga pemerintah berupaya mencari solusi untuk memproduksi BBM yang dapat terbarukan seperti dari nabati," katanya. Oleh sebab itu, saat harga BBM melambung, sementara harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit dan CPO murah, pemerintah mencoba mencari alternatif untuk mengatasi ancaman kekurangan BBM di dalam negeri melalui berbagai cara. Di antaranya merancang bangun pabrik yang dapat memproduksi BBM yang dapat terbarukan, seperti dari nabati. Terdapat dua sasaran utama dalam merancang bangun pabrik tersebut. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan petani sawit, karena beberapa tahun lalu harga TBS dan CPO cukup rendah, sementara harga BBM cukup tinggi. Kedua, adalah membantu menyelesaikan ancaman kekurangan BBM untuk dalam negeri, sehingga layak untuk membuat pabrik biodiesel. Sejak saat itu, kata dia, pemerintah bersama anak bangsa membuat dua pabrik biodiesel yang kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatra Selatan, dan Kotabaru, Kalsel. Seiring dengan perjalanan waktu, di mana harga BBM terus turun dan harga TBS dan CPO terus membaik, maka pabrik biodiesel tidak layak beroperasi. Bahkan, yang lebih tragis lagi, di saat proses pembangunan pabrik biodiesel belum tuntas, dan harga TBS dan CPO mulai berangsur meningkat, maka operasional pabrik biodiesel sangat tidak ekonomis. Diganti bahan baku Agar pabrik biodiesel tersebut tidak mubazir karena telah menelan dana miliaran rupiah, perlu diubah bahan baku pabrik dari CPO menjadi jarak pagar (Jatropha curcas L. Euphorbiaceae). Seperti yang dilakukan oleh pemerintah OKU Timur, Sumatra Selatan, di mana pemerintah setempat telah mengoperasikan pabrik biodiesel dengan menggunakan bahan baku jarak pagar. "Hasil produksinya 10 persen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan 90 persennya untuk kebutuhan ekspor," katanya. Menurut dia, pasar Eropa lebih menerima biodiesel dengan menggunakan bahan baku jarak dibandingkan dengan bahan baku CPO. "Karena dalam suhu tertentu biodiesel jarak lebih tahan dingin dan tidak membeku dibandingkan dengan biodiesel CPO," ujarnya. Tidak demikian dengan Kotabaru, meskipun bahan baku pabrik biodiesel tersebut diubah menggunakan jarak, pabrik tersebut tetap saja tidak dapat dioperasikan, karena di Kotabaru masih belum ada kelompok tani yang dapat menghasilkan jarak secara besar-besaran. Menurut Mahyudianya, jika pemerintah Kabupaten Kotabaru ingin agar pabrik tersebut tidak mubazir, pemerintah daerah dapat menjadikan pabrik tersebut sebagai lahan penilitian/laboratorium tentang biodiesel. "Pabrik biodiesel tersebut bisa dijadikan lahan penelitian dari perguruan tinggi atau instansi terkait tentang biodiesel," katanya. Sebelumnya, Bupati Kotabaru H Sjachrani Mataja, mengatakan, pabrik biodiesel yang berkapasitas memproduksi bahan bakar pengganti solar sekitar 6 ton per hari tersebut direncanakan mulai dioperasikan pada 2008. Namun kenyataanya, hingga akhir 2009 pabrik yang bernilai puluhan miliar rupiah tersebut tidak dapat dioperasikan, alias mubazir.(***)

Pewarta : Imam Hanafi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024