Terdapat puluhan nagari yang memiliki potensi konflik perbatasan dengan nagari sekitarnya di Sumatera Barat, data Kompas yang dikutip oleh Alfitri, sosiolog FISIP Unand dalam seminar Tata Informasi Geospasial Nasional hasil kerjasama PAC II DPD-RI dengan Universitas Andalas di Geduang Rektoral Unand 25 Mei 2009 lalu mengambarkan batas-batas alam, seperti aliran sungai, posisi bukit yang digunakan dalam menentukan batas-batas yang memisahkan beberapa nagari membuka ruang interpretasi sepihak sebagai bentuk potensi konflik.
Bentuk konflik akibat ketidakjelasan perbatasan nagari tersebut dapat dilihat dari konflik antara masyarakat Saningbakar dengan Paninggahan di Kabupaten Solok, Mei 2008 serta bentuk konflik serupa di beberapa nagari lain di Sumatera Barat.
Penetapan perbatasan regional maupun local, seperti perbatasan nagari, desa dan kecamatan berdasarkan garis lintang bumi (geospasial) dapat mengurangi potensi konflik antar masyarakat yang muncul dari penetapan batas-batas alam sebagai ukuran penatapan batas wilayah dalam masyarakat local Indonesia.
Perkembangan tata informasi geospasial nasional ini sudah berkembang menjadi beberapa tahap, diantaranya tahap pemetaan (map), tahap pemetaan digital, tahap pemetaan web, serta tahap pemetaan goggles sebagai perkembangan terakhir dari data-data geospasial.
Data-data geospasial yang terdapat di Indonesia belum memiliki sinkronisasi dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan data tersebut, seperti data geospasial yang dimiliki oleh Departemen Kehutanan berbeda dengan data geospasial yang dimiliki oleh Departemnen Pertambangan
Perbedaan data geospasial yang dimiliki oleh masing-masing instansi pemerintah yang terkait dengan data tersebut, serta kesulitan bagi masyarakat (public) atau stakeholders yang memerlukan data tersebut mengharuskan adanya sebuah Undang-Undang sebagai payung hukum yang mengatur penggunaan data geospasial.
Geo( bumi) dan Spasial (ruang) merupakan bentuk pemetaan sebuah wilayah, pemetaan tersebut bisa bersifat tematik sesuai dengan tema-tema bidang yang dipetakan maupun bersifat umum menurut pembagian geoghrafis wilayah tertentu.
Instansi pemerintah memiliki peta wilayah secara umum, tetapi peta yang dibuat masing-masing instansi pemerintah ini hasilnya berbeda dari instansi pemerintah lainnya, seperti peta luasnya wilayah hutan yang dikeluarkan oleh Diunas Kehutanan berbeda dari peta luasnya pertambangan yang dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan.
Perbedaan data peta geospasial tersebut terkait dengan kepentingan masing-masing instansi tersebut, keragaman data-data geospasial yang mencerminkan egosektoral instansi pemerintah juga menutup ruang terhadap instansi lain atau masyarakat pengguna data tersebut untuk mengakses atau mengkonfirmasi terhadap data yang ada.
Penggunaan data-data geospasial ini menjadi penting pada saat adanya ketentuan UU yang mengatur bahwa dokumen data-data geospasial terhadap potensi yang dimiliki oleh sebuah daerah diperlukan untuk membuat Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah tersebut.
Pentingnya arti data geospasial tersebut menemaptkan data ini memiliki arti komersial, disamping arti strategis sebagai rahasia negara. Arti komersial dan strategis terhadap data geospasial ini mengharuskan adanya Unanda-undang yang mengatur penggunaan data geospasial yang saat ini sudah memasuki tahap II dari 4 tahap yang harus dilalui untuk menjadi sebuah Undang-undang, tahap II ini adalah tahap menyerap aspirasi masyarakat melalui uji kesahihan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dilakukan oleh PAC II.
PAC II DPD-RI yang membidangi sector sumberdaya alam ini merupakan pihak pengusul yang mencerminkan aspirasi masyarakat sebagai bentuk uji kesahihan terhadap RUU yang diusulkan tersebut.
Arti komersial data-data geospasial tersebut dapat dilihat dari harga sebuah data, data yang diperoleh dari foto satelit yang dibuat negara lain yang dibeli oleh pemerintah berharga 600 ribu rupiah untuk selembar (sheets), untuk memperoleh data geospasial pulau Jawa adalah dengan mengakses 900 lembar.
Data-data mentah yang diperoleh dari hasil pemotretan satelit ini harus diolah sesuai dengan kebutuhan instansi terkait, hasil pengolahan tersebut merupakan nilai tambah yang menjadi arti penting nilai komersial data geospasial.
RUU yang diusulkan hendaknya mencantumkan keterbukaan terhadap data geospasial, tetapi pengaturan nilai harga terhadap data ini ditentukan oleh jumlah nilai tambah yang diberikan oleh instansi terkait terhadap data mentah yang bersifat umum tersebut.
Kebutuhan terhdap data geospasial ini beragam, potensi alam yang dimiliki oleh sebuah daerah dalam data geospasial digunakan oleh pemerintah sebagai dokumen penting pendukung RPJM dan RPJP. BAPPEDA Sumbar memiliki tiga tema data geospasial daerah Sumatera Barat, diantaranya jumlah lahan, penggunaan lahan, serta hasil penggunaan lahan.
Pihak investor memerlukan data tersebut sebagai bahan kajian terhadap potensi sebuah daerah sebagai dasar untuk melakukan investasi di daerah tersebut, keragaman data geospasial yang dimiliki oleh masing-masing instansi pemerintah mempersulit beroperasinya investasi sebuah perusahaan di sebuah daerah, seperti izin operasional yang diperoleh oleh seorang pengusaha pertambangan ditolak oleh Duna Kehutanan disebabkan oleh kawasan pertambangan yang ditunjuk oleh Dinas Pertambangan ternyata memasuki wilayah Kawasan Hutan Lindung yang ditetapkan oleh Dinas Kehutanan.
Untuk melakukan sinkronisasi terhadap data geospasial nantinya akan dilakukan oleh sebuah Badan Nasional yang mengurus data geospasial, kewenangan terhadap penggunaan serta aturan penggunaan data ini dilakukan oleh Badan tersebut.
Kesulitan untuk memperoleh data geospasial yang muncul dari persoalan nilai tambah yang dihasilkan oleh sebuah instansi pemerintah, seperti kesulitan BAPPENAS yang menghasilkan data tersebut dari instansi pemerintah di daerah yang memberikan nilai tambah terhadap data tersebut akan dapat teratasi oleh adanya aturan Undang-Undang yang mengatur Tata Informasi Geospasial Nasional ini, disamping data ini juga terkait dengan rahasia negara yang harus dilindungi melalui pembatasan akses pihak-pihak yang terkait dengan kepentingan data tersebut.
* Penulis adalah Dosen dan Koordinator Program Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Unand, Padang. E-mai: tamrin@fisip.unand.ac.id