Sungguh enak dizaman kemerdekaan sekarang, bisa hidup tenang dan bebas untuk berkarya sesuai dengan kemauan. Tapi tidak demikian halnya dengan Usman (86), mantan Romusha (pekerja paksa) dizaman penjajahan Jepang.
Pria tua asal Kecamatan Wadas Lintang Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, yang telah menorehkan jasanya buat bangsa dan negara ini, tidak dapat menikmati kehidupan yang layak setelah 64 tahun bangsa ini merdeka. Ia hidup hanya dari belas kasihan anak-anaknya nun dipelosok sana, tepatnya di Jorong Silukah Nagari Durian Gadang, kabupaten Sijunjung, Sumbar.
“Habis mau apalagi, memang begini nasib dan takdir yang telah ditentukan Yang Maha Kuasa, ya kita terima apa adanya,” ujar pak tua ini.
Ketika ditanya apakah dia dapat pensiun dari pemerintah atas jasa-jasa yang telah ia torehkan pada bangsa ini, dengan senyum penuh misteri Usman hanya menggeleng dan menjawab seadanya.
“Sampai sekarang saya belum pernah terima yang namanya uang pensiunan, meski sudah saya urus berkali-kali, tapi sampai sekarang tidak juga ada hasilnya,” jawab Usman dengan lirih.
Usman mulai menginjakkan kakinya di pulau Sumatera ini tahun 1942, ketika itu ia beserta 25 orang lainnya dari Kecamatan Wadas Lintang, oleh tentara Jepang dijanjikan akan disekolahkan di Sukabumi. Tapi kenyataannya, malah dibawa ke Sumatera dengan kapal.
“Waktu itu kami yang diangkut dengan ada sekitar 3000 orang, tapi saya tak tahu asal mereka selain teman-teman saya yang satu kecamatan,” terang Usman.
Sesampainya di pelabuhan Teluk Bayur, ke 3000 orang ini langsung dikirim ke Sijunjung untuk membuat jalan kereta api dari Muaro menuju Logas Kabupaten Kuansing Provinsi Riau.
Selama menjadi pekerja paksa, para pekerjaan asal Jawa ini mengalami penderitaan yang sangat pahit.
Makan hanya dijatah 1 Kg untuk tiga hari, itupun tanpa lauk pauk. Sedangkan untuk memasak karena tidak memiliki peralatan, para pekerja paksa ini terpaksa masak dengan tempurung kelapa atau kaleng bekas.
Karena tak adanya pasokan gizi, sementara pekerjaan yang mereka lakukan sangat berat, membelah bukit batu untuk dijadikan ruas jalan kereta api, serta mengangkut rel kereta yang akan dipasang. Akhirnya banyak pekerja yang sakit dan kemudian meninggal dunia.
Sementara bagi mereka yang masih kuat, untuk bertahan hidup terpaksa makan kodok dan terkadang juga bangkai yang hanyut di sungai. “Pedih rasanya, tapi apa mau dikata, waktu itu kita memang sedang terjajah,” kenang Usman.
Untuk meloloskan diri juga sangat tipis harapan, karena resiko yang akan dihadapi juga sangat berat. Meloloskan diri lewat sungai Kuantan takut akan menjadi santapan buaya, sedangkan melalui darat juga bisa diterkam harimau. Dan, kalau kedapatan oleh pengawal Jepang, maka siksaan berat yang akan diterima, bahkan bisa ditembak mati.
Begitu berat cobaan yang dihadapi Usman dan kawan-kawan waktu itu, tapi apa hendak dikata, memang begitulah nasib orang yang bangsanya sedang terjajah, terpaksa mengikuti aturan-aturan yang dibuat bangsa penjajah.
Setelah Jepang kalah oleh tentara sekutu, dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945, para pekerja paksa ini ditinggal begitu saja. Dibiarkan terlunta-lunta ditengah hutan belantara. Sebagian besar eks Romusha ini pergi meninggalkan Silukah dan Durian Gadang, dan sedikit yang menetap disana, salah satunya adalah Usman yang memilih menetap di Sikulah ketimbang kembali ke kampung halamannya.
“Mau pulang kampung dengan apa, uang kita tak punya, makanya saya menetap disini dan hidup sebagai sebagai petani,” ujarnya.
Pada tahun 1949, Usman menikahi gadis Silukah bernama Sinun, dari hasil pernikahannya itu, Usman memiliki tiga orang putri dan sembilan orang cucu.
Sejak terdampar di pulau Andalas ini tahun 1942, Usman baru sekali pulang ke kampungnya, yaitu tahun 2000 atas biaya anaknya serta salah satu saudaranya yang berada di Riau.
“Baru satu kali saya pulang kampung, itupun dibiayai anak serta saudara saya,” tuturnya.
Apakah masih ada keinginan untuk pulang kampung ?. “Ya jelas ada, saya kangen sama saudara-saudara saya yang berada di kampung. Tapi dengan saya mau pulang, uang saya tak punya,” jawab Usman sambil menggesekkan ibu jari dengan jari telunjuknya.
“Entah kalau pak bupati Sijunjung mau membantu saya, baru mungkin saya bisa pulang kampung,”ulasnya lagi dengan senyum penuh arti. (***)