Baru-baru ini kita menerima informasi dari Dinas Pedidikan, Pemuda dan Olahraga Propinsi Sumatera Barat melalui sebuah Blog News Letter bahwa nilai ujian pra UN 2009 mata pelajaran Matematika dan Fisika sangat anjlok. Terhadap fakta ini tentu kita tidak boleh mencari kambing hitam untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu, tetapi marilah kita mencari penyebab dan solusinya. Titik yang paling pas untuk disorot adalah proses belajar mengajar yang berlangsung dalam kelas yang dijalankan oleh seorang guru Matematika dan Fisika. Berikut ini adalah kenyataan umum yang terjadi di berbagai sekolah di Sumatera Barat. Suatu ketika kami berkesempatan mengunjungi sebuah sekolah menengah di Sumatera Barat dan kami mengajukan pertanyaan kepada guru IPA, “Mengapa Ibuk tidak menggunakan metoda eksperimen atau demonstrasi dalam mengajar IPA?” Ibuk guru memberikan banyak sekali alasan. Alasan-alasan itu adalah labor IPA dipakai untuk proses belajar mengajar karena kekurangan ruangan belajar jadi kami tidak bisa pratikum, alat-alat labor IPA tidak lengkap (alasan saja), di sekolah kami banyak anak-anak bodoh dan kepala sekolah yang kurang memperhatikan labor kami. Pertanyaan kami lanjutkan, pernahkah ibuk mendapatkan pelatihan tentang penggunaan alat dan bahan labor IPA? Ibuk guru itu menjawab sering dan terakhir kami dilatih oleh UNP dan Unand yang dibiayai oleh Indosat dan diinapkan pula di hotel berbintang. Ironis memang, alat labor lengkap dan guru sudah mendapat pelatihan tentang cara menggunakan alat labor itu, tapi mengapa Bapak/Ibuk guru kita lebih senang mengajar dengan metode ceramah ketimbang metode eksperimen atau demonstrasi? Inilah pangkal persoalan mengapa pelajaran IPA (Fisika, Kimia, Biologi) selalu menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar siswa seperti yang disimpulkan pada Seminar “Kampus Goes to Kampung” yang dilaksanakan oleh mahasiswa UI di Batusangkar beberapa waktu yang lalu. Persoalan ini tidak akan pernah selesai jika Bapak/Ibuk guru kita selalu menyalahkan berbagai pihak. Bapak/Ibuk guru adalah sentral kegiatan labor IPA di sekolah masing-masing. Guru IPA pada tiap sekolah harus berani melobi kepala sekolah agar mau mendukung kegiatan labor IPA. Guru IPA harus kreatif dan mau membuat inovasi dalam mengatasi kekurangan alat/bahan labor IPA. Menyalahkan siswa bukanlah solusi, justru siswa yang bodoh atau kurang mampu lebih senang belajar dengan metode eksperimen atau demonsrasi karena mereka berada pada tingkat kecerdasan kinetika. Mereka sangat muak atau mengantuk melihat guru yang selalu mengajar dengan metode ceramah apalagi menggurui. Metode ceramah adalah metode mengajar tertua dan tidak perlu banyak persiapan untuk melaksanakannya. Dan dengan alasan ini pulalah banyak guru memilih metode ini. Tetapi berdasarkan penelitian sangat sedikit materi yang dapat diserap oleh siswa terutama pada mata pelajaran IPA, karena siswa hanya mendengar. Oleh karena itu metoda ini seharusnya sudah ditinggalkan oleh guru dan diganti dengan metoda lain yang lebih melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Sekali lagi merubah sesuatu yang sudah mendarah daging pada guru adalah sangat sulit, jika tidak ada kemauan untuk berubah dari guru itu sendiri. Merubah paradigma seorang guru dari konvensional ke modern sudah dilakukan oleh pemerintah. Bermacam-macam pelatihan diberikan kepada guru, guru juga diberi kesempatan untuk menambah pendidikan, studi banding, guru dimagangkan ke luar negeri, sertifikasi dan lain-lain. Bahkan kurikulum sebenarnya sudah mengikat guru agar tidak lagi menggunakan metoda ceramah melulu. Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, KTSP, pendekatan CTL (contekstual teaching and learning) sudah diluncurkan pemerintah dengan biaya tidak sedikit. Tetapi kenyataannya di sekolah-sekolah tetap saja Bapak/Ibuk guru kita kembali mengajar dengan metoda ceramah, artinya pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada guru tidak berhasil merubah paradigma guru. Setelah kembali dari pelatihan atau pendidikan guru kembali pula mengajar seperti ketika sebelum mengikuti pelatihan alias menggunakan metoda ceramah. Pada tahun tujuh puluhan sampai tahun delapan puluhan guru yang hebat adalah guru yang hanya membawa satu batang kapur ke dalam kelas dan mampu menghipnotis semua siswa dengan metoda ceramahnya. Kelihatannya guru itu sangat menguasai materi pelajaran karena dia menyampaikan dengan sangat lancar. Tetapi komunikasi hanya berlangsung satu arah saja yaitu dari guru ke siswa. Berbeda dengan guru zaman sekarang, guru yang hebat bukanlah guru yang hanya membawa satu spidol saja ke dalam kelas. Guru ini tidak akan menarik perhatian siswa. Guru sekarang haruslah membuat persiapan yang matang sebelum dia mengajar siswanya karena siswa sekarang punya banyak sumber belajar. Bahkan siswa bisa lebih hebat dari gurunya, karena siswa bisa belajar dari buku pustaka, guru les, internet, dan lain-lain. Jadi kalau guru masih mengandalkan metoda ceramah saja dalam mengajar bisa diramalkan guru itu akan ditinggalkan oleh siswanya. Penggunaan metoda eksperimen atau demonstrasi pada pelajaran IPA sebagai pengganti metoda ceramah bisa memudahkan guru dalam menjalankan proses belajar mengajar. Setelah semua alat dan bahan disiapkan guru hanya mengontrol jalannya percobaan. Guru tidak perlu berteriak-teriak menghabiskan suaranya, mengigat-ingat materi apa yang akan disampaikan dan lain-lain. Hal umum yang paling berat adalah membuat persiapan sebelum mengajar dengan metoda eksperimen. Seorang guru membutuhkan waktu satu jam atau lebih untuk membuat persiapan. Inilah alasan yang paling banyak disebutkan guru. Dan hal ini pulalah yang kurang diperhatikan secara serius oleh unsur pimpinan di sekolah. Pada beberapa sekolah yang sudah agak maju kepala sekolah dan komite sudah membantu persoalan ini dengan menganggarkan sebagian uang komite untuk menambah kesejahteraan guru IPA (Fisika, Kimia dan Biologi), tetapi persentasenya sangat kecil. Jadi kita perlu mendorong unsur pimpinan sekolah dan komite agar memperhatikan dengan serius masalah penggunaan labor IPA dalam proses belajar mengajar. Perhatian bisa saja ditujukan terhadap sarana labor, kesejahteraan, proses pelaksanaan kegiatan pratikum, kebutuhan akan tenaga laboran, dan lain-lain. Jika semua unsur baik guru IPA, kepala sekolah dan komite memperhatikan kemajuan kegiatan labor IPA, maka apa yang menjadi kekhawatiran kita sekarang yaitu anjloknya nilai IPA pada UN insya allah tidak akan terjadi. (***)

Pewarta : Diwarman, S.Pd. M.Si, Guru SMAN 2 Batusangkar
Editor :
Copyright © ANTARA 2024